Arti dan Makna
Om Swastiastu
OM Swastiastu merupakan Salam Umat Hindu Bali. Namun bila dicari lebih dalam, bukan OM yang digunakan sebaga prenawa tetapi ONG, sehingga menjadi "Ong Swastiastu". Ong merupakan Aksara suci Tuhan menurut Gamabali, sama seperti Om yang merupakan prenawa dalam Weda.
Om Swastiastu, merupakan salam pembuka yang biasa diberikan oleh orang bali kepada seseorang yang ditemuinya. Dan saat ini UMAT Hindu di Indonesia, kalau saling berjumpa dengan sesamanya, umumnya mengucapkan Om Swastyastu. Salam umat ini sekarang telah menjadi salam resmi dalam sidang-sidang Dewan Perwakilan maupun pertemuan resmi lainnya, adapun maksud dari salam tersebut adalah sapaan sekalugus doa untuk lawan bicara agar orang tersebut selalu diberkahi oleh Tuhan YME.
Om Swastiastu
SALAM UMAT
Mendo'akan lawan bicara agar selalu Bahagia & Sejahtera
Salam yang digunakan oleh umat gama bali apabila membuka kegiatan ataupun bertemu dengan seseorang/kelompok adalah salam panganjali (pembuka) dengan mengucapkan:
"OM SWASTIASTU".
salam ini bermakna mendoakan yang ditemui atau lawan bicara agar selalu diberikan kerahayuan, kebahagiaan selama hidupnya. salam ini digunakan saat mengawali sebuah acara atau saat bertemu dengan seseorang/lawan bicara.Khusus dalam mengakhiri sesuatu kegiatan dapat juga memakai
"OM SANTI, SANTI, SANTI, OM" yang artinya semoga damai.
Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyogyanya memberikan jawaban dengan ucapan "Om Swastiastu" dengan sikap yang sama pula.
"Om" artinya Tuhan, "Su" artinya baik, "Asti" artinya berada, dan "Astu" artinya semoga,
jadi keseluruhannya berarti SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian maka pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa mendoakan satu sama lain.
adapun penjelasan mengenai kata tersebut, dapat dilihat dari percakapan Rsi dengan seorang suyasa. Setelah sang Suyasa memperbaiki cara duduknya.
Rsi Dharmakerti: | Anakku, tadi anakku mengucapkan panganjali: “Om Swastyastu”. Tahukah ananda apa artinya? Jika belum, dengarlah! OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Nanti akan Guru terangkan lebih lanjut. Kata Swastyastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU, Su artinya baik, Asti artinya adalah, Astu artinya mudah-mudahan. Jadi arti keseluruhan OM SWASTYASTU ialah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”. Kata Swastyastu ini berhubungan erat dengan simbol suci Agama kita yaitu SWASTIKA yang merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi. Dan dengan ucapan panganjali Swastyastu itu anakku sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi. |
Sang Suyasa: | Oh Gurunda, maafkan kalau hamba memotong. Hamba tidak mengira demikian luas maksud dari ucapan panganjali atau penghormatan hamba tadi itu. Betul-betul hamba tidak tahu artinya. Hamba hanya mendengar demikian, lalu hamba ikut-ikutan saja. |
Rsi Dharmakerti |
Memanglah demikian tinggi nilai dari ajaran Agama kita anaknda. Guru gembira bahwa anaknda senang mendengarnya. Ketahuilah bahwa kata SWASTI (su + asti) itulah menjadi kata SWASTIKA. Akhiran “ka” adalah untuk membentuk kata sifat menjadi kata benda. Umpamanya: jana - lahir; janaka - ayah; pawa - membakar; pawaka - api, dan lain-lainnya. Ingatkah anaknda apa yang Guru pakai untuk menjawab ucapan panganjali itu? Tidak mengapa anaknda, Guru akan jelaskan bahwa arti kata OM SHANTI, SHANTI, SHANTI itu ialah: Semoga damai atas karunia Hyang Widhi” Shanti artinya damai. Dan jawaban ini hanya diberikan oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda. Sedangkan jawaban atau sambutan terhadap panganjali “Om Suastiastu” dari orang yang sebaya atau dari orang yang lebih tua cukuplah dengan Om Swastiastu yaitu sama-sama mendoakan semoga selamat. Hanya yang lebih tua patut memakai Om Shanti, Shanti, Shanti terhadap yang lebih muda. Atau dipakai juga untuk menutup suatu uraian atau tulisan. |
Sang Suyasa | Gurunda, maafkan atas kebodohan diri hamba. Akan sangat banyak yang hamba tanyakan supaya benar-benar sirnalah segala kegelapan yang melekat di jiwa hamba. Gurunda, walaupun kedengarannya agak ke-kanak-kanakan maafkanlah jika anaknda bertanya apa arti agama itu sendiri. Selanjutnya perlu kita pahami bersama makna apa yang berada di balik ucapan Om Swastyastu tersebut. |
Umat Hindu di India umumnya mengucapkan "NAMASTE" kalau bertemu dengan sesamanya. Bahkan, ucapan itu dilakukan secara umum oleh masyarakat India. Para pandita maupun pinandita dalam memanjatkan pujastawa sering kita dengar menutup pujastawanya dengan "Om naamo namah". Inti semua ucapan itu pada kata "naama", yang dalam bahasa Sansekerta artinya "menghormat".
Dalam bahasa Jawa Kuno disebut dengan SEMBAH. Kata "sembah" dalam bahasa Jawa Kuno memiliki lima arti. Sembah berarti menghormati, menyayangi, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan diri. Karena itu, umat Hindu di Bali mengenal adanya Panca Sembah yang diuraikan dalam lontar Panca Sembah. Dalam tradisi Hindu di Bali ada sembah ke bhuta, ke manusa, ke pitra, ke dewa dan Hyang Widhi.
adapun posisi cakupan tangan yang biasa dipakai saat menyembah:
- Menyembah bhuta atau alam semesta tangan dicakupkan di pusar. Sembah seperti itu berarti untuk mencurahkan kasih sayang kita pada alam untuk menjaga kelestariannya.
- Menyembah sesama atau pitra, mencakupkan tangan di dada. Sembah seperti itu adalah untuk menghormati sesama manusia.
- Menyembah dewa tangan dicakupkan di selaning lelata yaitu di antara kening di atas mata.
- Menyembah Tuhan tangan dikatupkan dengan sikap anjali di atas ubun-ubun. Ini artinya hanya menyembah Tuhanlah kita serahkan diri secara bulat dan satukan diri sepenuh hati.
Biasanya penggunaan “Swastyastu” disertai dengan kata “Om” menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini lumrah digunakan sebagai salam awal, begitu juga dengan kata “Swastiprapta” (selamat datang). Namun di beberapa tempat di luar bali kata “Swastyastu” juga digunakan sebagai salam akhir perjumpaan atau percakapan. Itu yang membuat rasa ingin tahu saya semakin besar untuk mengetahui arti sebenarnya kata tersebut agar tidak menjadi sebuah kekeliruan yang membudaya. Memang pada dasarnya bahasa bersifat mana suka dan berlaku jika diakui dan digunakan oleh banyak orang. Dalam kesempatan ini saya mencoba menelaah kata tersebut dengan mencari artinya pada beberapa literatur kamus yang ada.
Salam Om Swastyastu yang ditampilkan dalam bahasa Sansekerta dipadukan dari tiga kata yaitu: Om, swasti dan astu. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Maha esa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Purana-lah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.
Dalam Bhagawad Gita kata "Om" ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.
Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti.
Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.
Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika.
Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.
- Kamus Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat.
- Kamus Kawi-Bali “Swastyastu berasal dari kata swasti yang berarti raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut, sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga selamat, semoga berbahagia
- Kamus Jawa Kuna-Indonesia “Swasti” berarti kesejahteraan, nasib baik, sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu” memiliki 2 arti yaitu:
1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan…..
2. Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?).
Kata "astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata “astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib baik, sungguh sejahtera. - Kamus Sanskerta-Indonesia “Svasti” berarti hujan batu es, salam, selamat berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”, “svastivacya”. Kata svastika berarti tanda sasaran gaib, tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair. Svastivacya berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji. Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpukan “svastiastu” berarti menyatakan selamat berpisah.
Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu:
- pengertian “Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat, semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tinggal
- kata “astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan.
Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan datang).
Dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang belakang).
Namun kini di kota-kota besar, kata “swastyastu” juga digunakan sebagai salam penutup atau akhir sebuah percakapan. Bagi orang desa seperti saya, terus terang saja ketika mendengarnya terasa aneh di telinga saya, sampai pada akhirnya saya penasaran tentang penggunaan kata tersebut sebagai salam penutup dan mencari arti kata tersebut dalam beberapa kamus-kamus yang ada. Jika dilihat dari pengertian arti katanya dalam kamus memang wajar kata itu dipergunakan sebagai salam penutup sesuai dengan artinya, namun jika melihat nilai rasa maka akan terasa janggal atau kurang pas (mungkin karena saya awam atau kurang terbiasa mendengarnya).
Dalam agama Hindu, sebuah awal adalah akhir dari semua yang terjadi, sedangkan akhir adalah sebuah awal sesuatu yang baru. Hal ini yang mungkin dijadikan patokan penggunaan kata “swastiastu” sebagai salam pembukaan dan salam penutup perjumpaan atau percakapan (selain mungkin penunjukan eksistensi terhadap agama lain bahwa agama Hindu juga memiliki salam awal dan akhir seperti halnya agama lain). Namun, jika melihat lagi pada nilai rasa, rasanya kedengaran janggal.
Beberapa padanan kata, yang mudah-mudahan tidak jauh berbeda artinya dengan “swastiastu” sebagai salam penutup perjumpaan atau percakapan. Beberapa kata tersebut antara lain:
- “swastimukha”, yang berarti permulaan (mukha) kesejahteraan, permulaan nasib baik, permulaan keselamatan;
- “swastisanti”, yang berarti ucapan selamat berpisah dan damai (santi), selamat jalan dan semoga damai.
Jadi, salam Om Swastyastu itu, meskipun ia terkemas dalam bahasa Sansekerta bahasa pengantar kitab suci Veda, makna yang terkandung di dalamnya sangatlah universal. Pada hakikatnya semua salam yang muncul dari komunitas berbagai agama memiliki arti dan makna yang universal. Yang berbeda adalah kemasan bahasanya sebagai ciri khas budayanya. Dengan Om Swastyastu itu doa dipanjatkan untuk keselamatan semua pihak tanpa kecuali.
_/l\_
Namaste
Namaste adalah ekspresi verbal, juga sikap tubuh (gesture) simbolik untuk saling memberi salam.
Namaste adalah ucapan salam Hindu yang paling populer, dilakukan dengan menyatukan kedua telapak tangan di dekat hati dengan kepala ditundukkan dengan hormat ketika seseorang mengatakan, "Namaste".
Wangsa Bharata yang beragama Hindu selalu menyapa satu dengan yang lainnya dengan kata-kata tersebut di atas, sambil mengatubkan kedua tangan dalam bentuk sembah. Ekspresi ucapan-ucapan ini sebenarnya penuh makna dan sangat bermanfaat bagi yang menyalami dan yang dialami.
Secara Terminologi, Namste berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari 2 kata
- "Namah" yang artinya menunduk, hormat, membungkuk dalam salam penuh hormat
- "Te" yang artinya padamu,
- Sedangkan “Namaha” berarti atas namamu, bukan punyaku.
Namaste merupakan cara yang lazim digunakan untuk menyapa atau memberi salam di Asia Selatan.
Seluruh tindakan ini menyampaikan pesan,
"tat twam asi"
engkau adalah aku
Engkau dan aku adalah satu
Aku menghormati, menghargai dan memuja Tuhan yang ada dalam dirimu
aku bersimpuh di hadapanmu yang merupakan bayangan kaca (mirror-image) dari diriku, dengan badan, pikiran dan jiwa
itu kesemuanya berkonotasi spiritual dan ditujukan kepada para dewa-dewi dalam pembacaan mantram-mantram, contoh: Om Namo Sri Ganeshya Namaha”, yang berarti “hanturkan puja-puji atas nama Sri Ganeshya yang kami muliakan.” Namaskar bermakna: "Saya menghormati Kesadaran Agung yang berada dalam dirimu". Dengan memahami makna Namaskar ini maka dengan pasti kesadaran dan pengertian spiritual orang yang mengucapkannya semakin dalam.
Ada juga yang manyatakan kata Namaste berarti : “semoga jalan pikiran kita selaras”. Sebenarnya pada zaman dahulu kata “namah” hanya ditujukan secara khusus kepada YME dan para dewata saja, dan pada saat ini rupanya Namaste telah berart “Semoga KaruniaNya memberkatimu”, sama dengan Om Swastiastu dan Om Asti Astu (Jawa Kuno).
Namaste digunakan oleh multi-agama dan lebih ditekankan pada representasi arti dari "Saya Menghormati Anda - menghormati Tuhan dalam diri anda”. Apapun yang terjadi dalam hidup kita, lakukan dengan penuh bhakti. Tidak saja kepada Hyang Widhi dan dewa-dewi kita penuh bhakti, ke manusia, ke mahluk lain, ke alam dan ke mahluk – mahluk alam bawah kita juga penuh bhakti. Hormati mereka setinggi kita menghormati Hyang Widhi, melalui kasih sayang, kebaikan, kesabaran, rendah hati, mengalah dan memaafkan. Ketika berbicara dengan orang lain, biasanya diikuti oleh gerakan mencakupkan kedua tangan di depan dada.
Tanda dengan mencakupkan tangan seperti itu disebut Anjali Mudra _/l\_. Ada satu simbol besar di balik ucapan salam ini. Kedua tangan menggambarkan dualitas (rwa bhineda, pen) seperti Yin dan Yang atau kekuatan positif dan negatif, dan menyatukan tangan bagi seorang Hindu berarti mengakui kesatuan atau Adwaita dari dunia.
Ajaran Hindu mengajarkan kita bahwa semua fenomena adalah adanya Brahman di setiap ciptaannya. Misalnya mahavakya : "Sarvam khalvidam Brahman" [Chandogya Upanishad III.14.1] atau "Brahman khalva idam vava sarvam" [Maitri Upanishad IV.6], yang berarti : semua yang kita lihat di dunia ini adalah Brahman.
Lihatlah semuanya sebagai Brahman, semuanya Tuhan
Dalam orang baik ada Tuhan, dalam orang jahat juga ada Tuhan, dengan wajah yang berbeda. Wajah Tuhan dalam orang baik yaitu salah satunya karena mereka membuat kita merasa sejuk, nyaman dan damai. Wajah Tuhan dalam orang jahat yaitu mereka sedang mengajarkan kita untuk menjadi sabar dan bijaksana. Dan sekaligus memberi kita acuan yang bagus sekali tentang seberapa jauh pertumbuhan dan kualitas bathin kita sendiri. Kalau "di dalam" masih ada perasaan tidak enak, apalagi membuat kita marah-marah, artinya bathin kita masih belum bersih.
Dalam kejadian yang baik ada Tuhan, dalam kejadian yang buruk-pun juga ada Tuhan, dengan wajah yang berbeda. Wajah Tuhan dalam kejadian yang baik yaitu salah satunya karena itu membuat kita bisa menikmati hidup. Wajah Tuhan dalam kejadian yang buruk yaitu karena kejadian yang buruk adalah kesempatan untuk kita membayar hutang karma. Dan sekaligus mengajak kita untuk merenungkan kembali makna dan perjalanan kehidupan kita.
Namaste dilakukan dengan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada (atau tepatnya di depan jantung), jari-jari tangan menunjuk ke atas, menutup mata, dan membungkukkan kepala. Sikap ini disebut Pranamasana, juga bisa dilakukan tanpa kata dan membawa arti yang sama.
Saat berdoa, tangan diposisikan sedikit lebih tinggi, atau di depan dada atas. Ekspresi tangan tertangkup di depan dahi menunjukkan sikap hormat kepada orangtua, guru, dan orang yang dihormati.
Filosofi Namaste lebih ke arah sifat diri yang rendah hati. Sebuah ungkapan yang dengan sangat elegan memberi penghormatan kepada siapa saja tanpa memandang atribut orang tersebut, apakah dia kaya, miskin, rupawan, buruk, terhormat, hina, sehat, sakit, dsb. Mendalami filosofi Namaste, mengajarkan saya untuk lebih mencintai semua ciptaan Tuhan. Tak akan ada niat untuk menindas, membunuh, menfitnah, mencaci-maki, ataupun sekedar menggosipkan orang lain di belakang. Tindakan-tindakan tersebut sangat melukai rasa penghormatan saya kepada sesama. Dan otomatis mencederai rasa bakti kepada Tuhan yang saya sembah.
Makna Namaste
- Sikap namaste merupakan keyakinan bahwa ada percikan Illahi di dalam setiap kita, yang bersemayam di Anahata-cakra atau Cakra Jantung. Gerakan itu adalah pengakuan jiwa dalam diri seseorang oleh jiwa di dalam diri orang lain.Walau secara harfiah namaste berarti “Saya membungkuk padamu” (nama = busur; as = saya; te = kau), namun kata ini lebih sering diterjemahkan sebagai “cahaya illahi dalam diriku menghormat cahaya illahi dalam dirimu” atau “Allah dalam diriku menyapa Allah dalam dirimu.” Namaste adalah pengakuan bahwa kita semua sama dan berbagi keilahian.
- Namaste dapat pula dilakukan dengan mula-mula menangkupkan kedua telapak tangan di depan Cakra Mata Ke-tiga atau Ajna-cakra, menundukkan kepala, kemudian membawa tangan ke jantung. Ini merupakan bentuk penghormatan yang mendalam. Di Barat namaste biasanya diucapkan sambil melakukan gerakan itu, sementara di India dipahami bahwa gerakan itu sendiri menandakan namaste, dan karenanya tidak perlu mengucapkan kata sementara membungkuk.
- Menangkupkan kedua tangan juga memiliki makna yang dalam. Pada tradisi India, tangan kanan adalah representasi “diri (self) yang lebih tinggi” atau “diri dalam kandungan Yang Illahi”, dan tangan kiri adalah representasi “diri yang lebih rendah” atau “diri duniawi.” Dengan menangkupkan kedua telapak tangan dan melakukan namaste, berarti kita menyatukan kedua aspek ‘diri’ itu, dan berupaya menyambungkannya dengan individu lain di hadapan kita.
- Ketika menangkupkan kedua telapak tangan di Cakra Jantung kita meningkatkan aliran Kasih Illahi. Membungkuk dan memejamkan mata membantu pikir berserah diri kepada Yang Illahi. Kita bisa melakukan namaste terhadap diri sendiri sebagai suatu teknik menditasi untuk masuk lebih jauh ke dalam diri.
- Namaste juga sebuah tradisi yang kerap dilakukan di kalangan praktisi yoga, untuk mengawali dan mengakhiri latihan. Dengan melakukan namaste, guru dan murid bersama-sama masuk ke medan koneksi energi yang bebas dari segala ikatan ego. Jika dilakukan dengan keikhlasan hati dan pikir, suatu ikatan spirit akan tumbuh dan mekar. Namaste dilakukan di akhir latihan, karena pada saat ini pikiran (mind) tidak terlalu aktif dan energi di dalam ruangan lebih damai (peaceful). Guru memulai namaste sebagai wujud syukur, dan murid membalas sebagai simbol penghormatan. Sebagai imbalannya, Guru mengajak para murid untuk terhubung dengan kanal yang memungkinkan kebenaran mengalir – yaitu kebenaran bahwa kita semua adalah satu ketika kita hidup dari hati nurani.
Menghormati orang lain sama dengan menghormati diri sendiri. Karena sejatinya, di dalam diri saya dan orang lain memiliki satu kesamaan yang agung. Yang Agung inilah yang disebut dengan "Jiwa". Dan Jiwa inilah "cahaya" Tuhan yang paling kecil yang berada di dalam diri kita yang harus kita berikan penghormatan tertinggi. Namaste…!
Jadi Namaste secara ringkas berarti "aku membungkuk kepadamu." Salam ini membuat seorang Hindu mengingatkan dirinya sendiri bahwa Tuhan ada dimana-mana dan dalam setiap mahluk yang kita temukan dimana saja dan kapan saja. Kalau bisa seperti ini, setiap moment, setiap gerakan nafas dalam hidup kita menjadi aktifitas mebakti (Bhakti Yoga).
Salam Om Swastyastu itu tidak memilih waktu. Ia dapat diucapkan pagi, siang, sore dan malam. Semoga salam Om Swastyastu bertuah untuk meraih karunia Tuhan memberikan umat manusia keselamatan.