Himsa Karma
Kewajiban Membunuh
Ajaran Agama tentu merupakan penuntun hidup untuk mencapai kualitas yang lebih baik. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, akan ditemui dualisme (rwabhineda) yang terlihat buruk tetapi untuk kebaikan ataupun terlihat baik tetapi untuk hal yang buruk. Seperti halnya HIMSA KARMA, banyak yang memandang miring perbuatan tersebut karena dianggap menentang AHIMSA. Tetapi, WEDA sendiri pada dasarnya juga menganjurkan Himsa Karma, yakni kewajiban untuk melakukan pembunuhan, kekarasan ataupun penyiksaan dalam rangka Yadnya/Korban suci (sacrifice).
HIMSA artinya Membunuh atau menyakiti.
Himsa karma boleh dilakukan dan dibenarkan dalam ajaran Agama Hindu, antara lain ;
- Untuk Yadnya, baik untuk Dewa Puja (persembahan kepada para Dewa), Pitra Puja (persembahan kepada para leluhur) ataupun Athiti Puja (suguhan makanan untuk para tamu)
- Untuk kepentingan dharma (berperang atau membela diri dan keselamatan orang banyak).
- Untuk bersedekah
adakah landasan hukum untuk melakukan Himsa karma itu?
berikut beberapa sloka yang mengulas, kewajiban Umat untuk menjalankan Himsa Karma.
Membunuh untuk Yadnya
dalam Yadnya ada 2 jenis korban suci (sacrifice) diantaranya:
devebhyaḥ kamavṛṇīta mṛtyuṃ prajāyai kamamṛtaṃnāvṛṇīta
bṛhaspatiṃ yajñamakṛṇvata ṛṣiṃ priyāṃyamastanvaṃ prārirecīt (Rig Veda X.13.4)
Dia rela mati, demi berbhakti kepada Tuhan, dan demi kemanusiaan, ia tidak menginginkan keabadian, mereka melaksanakan upacara korban suci dengan mengorbankan bhrahspati sang bijak, Yama merelakan badannya sediri yang sangat dicintai
indro dadhīco asthabhirvṛtrāṇyapratiṣkutaḥ
jaghāna navatīrnava (Rig Veda I.84.13)
Indra yang tak terkalahkan, dengan tulang-tulang dadhici, membantai kekuatan jahat (99 vrtra)
dari 2 sloka diatas memberikan gambaran tentang korban suci yang paling Utama, yaitu mengorbankan diri dalam rangka menunjukan rasa bhakti kepada Tuhan sebagai penyelamat Umat manusia.
Hal ini dicontohkan oleh Korban Suci yang dilakukan oleh Maharsi Dadhici, hanya dengan tulang beliaulah dewa indra dapat mengalahkan kejahatan. Dewa Indra menjadikan Tulang Maharsi Dadhici sebagai senjata yang dikenal dengan sebutan BAJRA. Tidak hanya Maharsi Dadhici yang pernah melakukan yadnya ini, Dewa Gana juga rela memotong taringnya untuk menaklukan kejahatan.
Konon ada ritual yadnya yang "tidak memakai hewan" karena bisa diganti dengan bahan lain yang bukan binatang. Ini akibat kurang teliti dalam menyimak ajaran AHIMSA. Nah, apakah itu yang benar atau apakah membunuh hewan untuk korban itu yang benar, ajaran Hindu tak memberikan pembenaran yang absolut. Semuanya ada rujukan dan umat silakan memilih sesuai keyakinan. Beragama itu berdasarkan “rasa hati” yang tentu saja pijakannya adalah keyakinan. Setelah itu baru keiklhasan dan ketulusan.
Dalam lontar Sunarigama disebutkan ada dua cara untuk melakukan ritual.
- dengan menghaturkan sesajen (banten), terutama bagi masyarakat umum.
- dengan tapa brata yoga samadhi, terutama untuk mereka yang sudah mencapai tingkat kerohanian tertentu dan “wruh ring tattajnana”.
Kedua cara tersebut sama-sama dengan tujuan mencapai suatu kesucian, baik suci lahir dan batin maupun suci pada lingkungan.
Dibali, sebagian besar ritual menggunakan korban suci binatang dan tumbuhan. Ritual persembahan dengan menggunakan Hewan, Binatang dan Tumbuhan serta segala hasil bumi termasuk hewan peliharaan itu memang diperbolehkan dalam ajaran Weda. Justru hasil bumi dan hewan yang dipakai persembahan itu akan tumbuh semakin baik dan hewan yang dibunuh akan “lahir kembali” dalam status yang lebih tinggi dari keadaan semula. Karena korban itu adalah “penyucian” maka buah yang dipetik dari pohonnya untuk persembahan akan membuat pohon itu berlipat buahnya pada musim selanjutnya. Dan hewan, termasuk burung dan ikan, akan menjadi “suci” sehingga pada kelahirannya kelak, statusnya lebih baik dari semula.
Dalam ritual Hindu di Bali pada tingkat caru yang lebih besar dengan menggunakan banyak binatang, ada upacara yang disebut mepepada. Ini adalah ritual untuk membuat hewan itu “suci” sebelum dijadikan korban. Pendeta yang memimpin ritual akan memberikan doa-doa sesuai dengan wujud hewan itu, apakah berkaki dua atau empat, apakah burung atau ikan dan seterusnya. Inti doa adalah agar roh hewan itu “menghadap” pada dewa sesuai dengan yang telah digariskan arahnya dan jika kemudian lahir kembali akan menjadi manusia, bukan lagi binatang. Hewan itu kemudian diberikan busana (dililitkan kain) di bawa berkeliling di tempat upacara sesuai putaran jarum jam, diperciki tirta (air suci) dan seterusnya disembelih dengan “penuh kasih sayang tanpa kebencian”. Begitu aturannya, bahwa pelaksanaannya mungkin tak terasa ada “kasih sayang” saat menyembelih itu soal lain.
Dalam sloka Manawa Dharmasastra V.39 sudah ditegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan hewan-hewan untuk tujuan upacara korban dan korban ini sudah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh bumi dan isinya. Dengan begitu unsur ahimsa tidak berlaku di sini karena baik hewan korban maupun umat yang beryadnya sama-sama untuk mencapai kesucian dalam ritual itu. Tata cara penyembelihan/pengorbanan ini prosesnya disebut sebagai Pujapati wenang sebagai mana tersurat dalam Wrhaspati tattwa, Yama Purana tattwa, dan Taru pramana, bukan sembarang menghilangkan nyawa apalagi dilandasi oleh nafsu membunuh. Inilah yang sering disebut “Nyupat “ hewan dan tumbuhan untuk membantu mahluk itu melakukan subhakarma.
berikut ini dasar sastra pembunuhan dan penggunaan hewan, binatang serta hasil bumi utuk persembahan (yadnya):
Yat te gatrad angina pacyamanad Abhi sulam nihatasyavadhavati
Ma tad bhumyam a srisan ma trnesu Devebhyas tad usadbhyo ratam astu (Rg Veda I.162.11)
apa yang menetes dari daging panggang, yang ada diatas panggangan, jangan dibiarkan tumpah. Persembahkanlah itu semua kepada Beliau (para dewata)
na vā u etan mriyase na riṣyasi devānideṣi pathibhiḥ sughebhiḥ
harī te yuñjā pṛṣatī abhūtāmupāsthād vājī dhuri rāsabhasya (Rig Veda 1.162.21)
Engkau tidak disakiti, engkau tidak dibunuh, engkau tidak mati, engkau akan pergi ke tempat para dewa melalui jalan yang benar dan indah.
sughavyaṃ no vājī svaśvyaṃ puṃsaḥ putrānuta viśvāpuṣaṃ rayim
anāghāstvaṃ no aditiḥ kṛṇotu kṣatraṃ no aśvo vanatāṃ haviṣmān (Rig Veda 1.162.22)
Engkau akan dijemput dengan kereta yang indah, yang ditarik oleh kuda-kuda milik Dewa Indra, kuda milik Dewa Maruta, dan kuda milik Dewa Aswin dan para Dewa juga akan menemanimu pergi ke sorga.
Osadyah pasawa wriksastir, yancah pakhanam praptah,
yajnartham nidhanam praptah, praapnu wantyutsritih punah. (Manawa Dharmasastra V.40)
Tumbuh-tumbuhan, pohon-pohonan, ternak, burung lainnya yang telah dipakai untuk upacara akan lahir dalam tingkat yang lebih tinggi pada kelahirannya yang akan datang
Membunuh demi kepentingan Dharma
kepentingan dharma disini erat kaitannya dengan hukum perang, bela diri ataupun melindungi diri dan orang lain.
membunuh musuh merupakan kewajiban seorang prajurit (ksatria), karenanya saat perang membunuh itu dibenarkan. Hal ini tidak hanya dijelaskan dalam Weda (sruti) saja, bahkan lahirnya bhagawadgita untuk memotivasi arjuna untuk membunuh musuh-musuhnya dalam perang bharatayudha.
berikut beberapa sloka tentang perang:
aghniriva manyo tviṣitaḥ sahasva senānīrnaḥ sahure hūtaedhi
hatvāya śatrūn vi bhajasva veda ojo mimāno vi mṛdhonudasva (Rig Veda 10.84.2)
Menyambar laksana api, wahai penakluk kemarahan, engkau dipuja, wahai yang Jaya, sebagai panglima perang, hancurkanlah musuh kami, bagi-bagilah kekayaan mereka, tunjukan kepahlawananmu, porak-porandakan mereka yang mencelakakan kami.
pretā jayatā nara indro vaḥ śarma yachatu
ughrā vaḥ santubāhavo.anādhṛṣyā yathāsatha (Rig Veda 10.103.13)
Majulah dan taklukkan, hai pahlawan, Semoga Dewa Indra (Tuhan) melindungimu. Berjuanglah dengan gagah berani, sehinga engkau tidak cedera.
Membunuh untuk Sedekah
membunuh hewan yang dijadikan sedekah dapat dibenarkan, seperti halnya membunuh hewan untuk suguhan kepada para tamu.
Landasan dan Dasar Hukum
Hukum Hindu adalah sebuah tata aturan yang membahas aspek kehidupan manusia secara menyeluruh yang menyangkut tata keagamaan, mengatur hak dan kewajiban manusia baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, dan aturan manusia sebagai warga negara (tata Negara). berdasarkan sloka diatas, urutan prioritas sebagai dasar hukum untuk menilai sebuah prilaku adalah:
SRUTI adalah Kitab POKOK agama hindu, yang kemudian disebut dengan kata Weda. Weda terdiri dari 4 kelompok yaitu kitab-kitab Mantra (Samhita) yang dikenal dengan Catur Veda (Rig Veda, Yajur Veda, Sama Veda atau Atharva Veda). Masing-masing kitab mantra ini memiliki kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad) yang seluruhnya itu diyakini sebagai wahyu wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang didalam bahasa Sanskerta disebut Sruti. SMERTI merupakan kitab-kitab penjabaran dan/atau penjelasan dari Kitab Sruti, sehingga apabila terjadi pertentangan dalam penjabarannya, maka yang dijadikan rujukan utamanya adalah kembali ke Sruti. Kitab-kitab Smerti ini terdisi atas Upaweda, Anggaweda, termasuk kitab Itihasa (sejarah) yang didalamnya termuat Bhagawadgita, Kitab Purana (mitologi kuno) dan Kitab Sarasamuscaya SILA yakni tauladan pada maharsi, yang termuat dalam berbagai Kitab Itihasa/purana serta Lontar Bali dan kitab lainnya. ACARA merupakan tradisi yang hidup yang ada dimana umat berdiam. ATMANASTUTI yakni kepuasan hati atas apa yang dilakukan/dilaksanakan. |