Menurut kitab Mahabharata, wafatnya Sri Krisna disebabkan oleh kutukan Gandari, kejadian ini tercatat dalam "Stri Parwa". Kemarahannya setelah menyaksikan kematian putera-puteranya menyebabkannya mengucapkan kutukan, karena Kresna tidak mampu menghentikan peperangan. Setelah mendengar kutukan tersebut, Kresna tersenyum dan menerima itu semua, dan menjelaskan bahwa kewajibannya adalah bertempur di pihak yang benar, bukan mencegah peperangan. Wejangan Kresna tentang kewajiban sebagai berikut :
”Lebih baik menjalankan kewajiban sendiri meskipun tidak sempurna, daripada menjalankan kewajiban orang lain dengan sempurna. Lebih baik mati ketika menjalankan kewajiban sendiri, karena menjalankan kewajiban orang lain itu bahaya”
Kurukan itu terbukti 36 tahun kemudian, dengan terjadinya kehancuran bangsa Yadawa dan berakhirnya hidup Sri Krisna, yang dtercatat dalam "Moksala Parwa", dimana seorang pemburu yang keliru melihat sebagian kaki Kresna seperti rusa kemudian menembakkan panahnya dan menyebabkan Kresna mencapai keabadian.
Kisah Kematian Sri Krisna berdasarkan Parwa inilah yang paling valid, karena secara umum, sosok Sri Krisna hanya ada dalam setting Itihasa Mahabharata. namun belakangan, setelah bangkitnya jaman Weda di india sesaat setelah dua kali dihantam arus perubahan besar yakni ajaran budha yang sempat mengikis ajaran weda dan kemudia diikuti oleh datangnya bangsa Mugal dengan ajaran Islamnya, para cendikiawan wedantis berupaya bangkit dengan terobosan-terobosannya, kemudian mulai dibangkitkannya purana. semenjak itu, mana Krisna muncul dalam beberapa purana, seperti Wisnu Purana dan Srimad Bhagawata atau Bhagawata Purana, yang diusung belakangan oleh kelompok Hare Krisna.
.
berikut ini alur cerita kematian Sri Krisna:
Stri parwa
berikut ini penggalan kisah dalam Stri Parwa versi: Ananda Marga, oleh: Srii Srii Anandamurti
Ketika dilangsungkan upacara pembakaran mayat, semua anak menantu Gandari telah menjadi janda dan menangis sedih di hadapan mayat-mayat suami yang telah tewas. Gandari juga ada di tempat itu. Para Pandawa dengan ditemani oleh Kunti dan Sri Krisna juga hadir di iringi oleh rakyat yang merasa sangat sedih karena kehilangan sanak saudara mereka. krisna menghibur Gandari, dan berkata, ‘Mengapa Ibunda menangis? Inilah dunia Ibupun pada suatu ketika akan meninggalkan dunia ini. lalu mengapa menangis?’. Gandari menjawab, ‘Kalau saja anda tidak merencanakan hal ini maka semua anak-anak-ku akan hidup, tidak terbunuh seperti ini. Krisna menjawab, ‘Perang untuk menegakan Dharma tidak dapat dicegah. Apa yang dapat kuperbuat, aku hanya suatu alat’. Lalu Gandari berkata, ‘Paduka ini Taraka Brahma. Apabila paduka menghendaki, paduka bisa mengubah pikiran mereka tanpa perlu melakukan pertempuran’.
Biarlah seluruh dunia melihat dan menarik pelajaran.
Selanjutnya Gandari mengucapkan sumpah, ‘Seperti halnya anggauta keluargaku mengalami kehancuran dihadapan mataku sendiri demikianlah hendaknya anggauta keluarga paduka mengalami kehancuran dihadapan mata paduka sendiri’
Krisna tersenyum dan menjawab, ‘Semoga demikian’. Krisna menerima sumpah itu. Ia ingin menunjukkan bahwa kekuatan moral itu mempunyai nilai dalam kehidupan dan kekuatan itu harus diakui adanya
Kutukan Gandhari menurut terjemahan dari Kisari Mohan Ganguli, tr (Striparva):
..."Gandhari berkata, O Krishna, baik ‘Pandawa dan Dhartarashtra, keduanya telah terbakar. keduanya terbasmi, O Janardana, mengapa engkau abaikan mereka? Engkau sangat kompenten mencegah pembantaian ini, Engkau punya sejumlah besar pengikut dan berkekuatan besar. Engkau sangat fasih berbicara, dan engkau punya kekuatan (untuk mewujudkan perdamaian). Karena dengan sengaja, O pembunuh dari Madhu, engkau acuh tak acuh terhadap pembantaian massal ini, oleh karenanya, O Senjata yang paling perkasa, engkau seharusnya menuai buah tindakan ini. Dengan kebaikan kecil yang telah aku dapatkan dari kepatuhanku melaksanakan kewajiban pada suamiku, dengan pahala itu yang begitu sulit diperoleh, aku akan mengutuk engkau, O pemilik cakram dan gada! Karena engkau telah mengabaikan para Kuru dan Pandawa sehingga saling membunuh satu sama lainnya, oleh karenanya, O Govinda, engkau akan menjadi pembunuh sanak-Mu sendiri! Pada tahun ke 36 sejak sekarang, O pembunuh dari Madhu, engkau, setelah menyebabkan pembantaian kerabatMu, teman-temanMu dan anak-anakMu, binasa dengan cara menjijikkan di padang gurun. Para wanita dari ras-Mu, kehilangan anak, sanak saudara, dan teman-teman, akan meratap dan menangis seperti para wanita dari ras Bharata ini!'"
Vaishampayana melanjutkan, "Mendengar kata-kata ini, Vasudeva Sang Jiwa utama, kepada Gandhari, mengatakan kepadanya kata-kata ini, dengan senyum tipis,"Tidak ada di dunia, yang menyelamatkan diri, yang mampu membasmi bangsa Vrishni. Aku tau ini dengan pasti. Aku akan wujudkan. Dalam mengucapkan kutukan ini, O ini kaulmu yang sangat baik, Engkau telah membantu aku menyelesaikannya. Bangsa Vrishni tidak mampu dibunuh oleh yang lainnya, baik itu para manusia atau dewa atau Danava. Bangsa Yadawa, karenanya akan musnah oleh tangan mereka sendiri." Setelah Ia dari ras Dasharha mengatakan ini, Pandawa menjadi terheran-heran. Dipenuhi dengan kecemasan, mereka semua menjadi hidup tersia-sia!
Mosala parwa
Mosala parwa atau Mausala parwa mengisahkan musnahnya para Wresni, Andhaka dan Yadawa, sebuah kaum di Mathura-Dwaraka (Dwarawati) tempat Sang Kresna memerintah. Kisah ini juga menceritakan wafatnya Raja Kresna dan saudaranya, Raja Baladewa.
berikut ini ringkasan kisah Moksala Parwa
Diceritakan bahwa pada saat Yudistira naik tahta, dunia telah memasuki zaman Kali Yuga atau zaman kegelapan. Beliau telah melihat tanda-tanda alam yang mengerikan, yang seolah-olah memberitahu bahwa sesuatu yang mengenaskan akan terjadi. Hal yang sama dirasakan oleh Kresna. Ia merasa bahwa kejayaan bangsanya akan berakhir, sebab ia melihat bahwa banyak pemuda Wresni, Yadawa, dan Andhaka yang telah menjadi sombong, takabur, dan senang minum minuman keras sampai mabuk.
Pada suatu hari, Narada beserta beberapa resi berkunjung ke Dwaraka. Beberapa pemuda yang jahil merencanakan sesuatu untuk mempermainkan para resi. Mereka mendandani Samba (putera Kresna dan Jembawati) dengan busana wanita dan diarak keliling kota lalu dihadapkan kepada para resi yang mengunjungi Dwaraka. Kemudian salah satu dari mereka berkata, "Orang ini adalah permaisuri Sang Babhru yang terkenal dengan kesaktiannya. Kalian adalah para resi yang pintar dan memiliki pengetahuan tinggi. Dapatkah kalian mengetahui, apa yang akan dilahirkannya? Bayi laki-laki atau perempuan?". Para resi yang tahu sedang dipermainkan menjadi marah dan berkata, "Orang ini adalah Sang Samba, keturunan Basudewa. Ia tidak akan melahirkan bayi laki-laki ataupun perempuan, melainkan senjata mosala yang akan memusnahkan kamu semua!" (mosala = gada)
Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Sang Samba melahirkan gada besi dari dalam perutnya. Atas perintah Raja Ugrasena, senjata itu kemudian dihancurkan sampai menjadi serbuk. Beberapa bagian dari senjata tersebut sulit dihancurkan sehingga menyisakan sepotong besi kecil. Setelah senjata tersebut dihancurkan, serbuk dan serpihannya dibuang ke laut. Lalu Sang Baladewa dan Sang Kresna melarang orang minum arak. Legenda mengatakan bahwa serbuk-serbuk tersebut kembali ke pantai, dan dari serbuk tersebut tumbuhlah tanaman seperti rumput namun memiliki daun yang amat tajam bagaikan pedang. Potongan kecil yang sukar dihancurkan akhirnya ditelan oleh seekor ikan. Ikan tersebut ditangkap oleh nelayan lalu dijual kepada seorang pemburu. Pemburu yang membeli ikan itu menemukan potongan besi kecil dari dalam perut ikan yang dibelinya. Potongan besi itu lalu ditempa menjadi anak panah.
Setelah senjata yang dilahirkan oleh Sang Samba dihancurkan, datanglah Batara Kala, Dewa Maut, dan ini adalah pertanda buruk. Atas saran Kresna, para Wresni, Yadawa dan Andhaka melakukan perjalanan suci menuju Prabhastirtha, dan mereka melangsungkan upacara di pinggir pantai. Di pantai, para Wresni, Andhaka dan Yadawa tidak bisa menghilangkan kebiasaan buruk mereka, yaitu minum arak sampai mabuk. Dalam keadaan mabuk, Satyaki berkata, "Kertawarma, kesatria macam apa kau ini? Dalam Bharatayuddha dahulu, engkau telah membunuh para putera Dropadi, termasuk Drestadyumna dan Srikandi dalam keadaan tidur. Perbuatan macam apa yang kau lakukan?". Ucapan tersebut disambut oleh tepuk tangan dari Pradyumna, yang artinya bahwa ia mendukung pendapat Satyaki. Kertawarma marah dan berkata, "Kau juga kejam, membunuh Burisrawa yang tak bersenjata, yang sedang meninggalkan medan laga untuk memulihkan tenaga".
Setelah saling melontarkan ejekan, mereka bertengkar ramai. Satyaki mengambil pedang lalu memenggal kepala Kertawarma di hadapan Kresna. Melihat hal itu, para Wresni marah lalu menyerang Satyaki. Putera Rukmini menjadi garang, kemudian membantu Satyaki. Setelah beberapa lama, kedua kesatria perkasa tersebut tewas di hadapan Kresna. Kemudian setiap orang berkelahi satu sama lain, dengan menggunakan apapun sebagai senjata, termasuk tanaman eruka yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Ketika dicabut, daun tanaman tersebut berubah menjadi senjata setajam pedang. Dengan memakai senjata tersebut, para keturunan Wresni, Andhaka, dan Yadu saling membunuh sesama. Tidak peduli kawan atau lawan, bahkan ayah dan anak saling bunuh. Anehnya, tak seorang pun yang berniat untuk meninggalkan tempat itu. Dengan mata kepalanya sendiri, Kresna memperhatikan dan menyaksikan rakyatnya digerakkan oleh takdir kehancuran mereka. Dengan menahan kepedihan, ia mencabut segenggam rumput eraka dan mengubahnya menjadi senjata yang dapat meledak kapan saja. Setelah putera dan kerabat-kerabatnya tewas, ia melemparkan senjata di tangannya ke arah para Wresni dan Yadawa yang sedang berkelahi. Senjata tersebut meledak dan mengakhiri riwayat mereka semua.
Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna. Hanya para wanita dan beberapa kesatria yang masih hidup, seperti misalnya Babhru dan Bajra. Kresna mampu menyingkirkan kutukan brahmana yang mengakibatkan bangsanya hancur, namun ia tidak mau mengubah kutukan Gandari, Ia mengetahui bahwa tidak ada yang mampu mengalahkan bangsa Wresni, Yadawa dan Andhaka kecuali diri mereka sendiri. Bangsa itu mulai senang bermabuk-mabukan sehingga berpotensi besar mengacaukan Bharatavarsa yang sudah berdiri kokoh. Setelah menyaksikan kehancuran bangsa Wresni, Yadawa, dan Andhaka dengan mata kepalanya sendiri. Kemudian Balarama pergi ke hutan, sedangkan Kresna mengirim utusan ke kota para Kuru, untuk menempatkan wanita dan kota Dwaraka di bawah perlindungan Pandawa; Babhru disuruh untuk melindungi para wanita yang masih hidup sedangkan Daruka disuruh untuk memberi tahu para keturunan Kuru bahwa Wangsa Wresni, Andhaka, dan Yadawa telah hancur. ke hadapan Raja Yudistira di Hastinapura.
Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya. Kresna menemukan kakaknya duduk di bawah pohon besar di tepi hutan; ia duduk seperti seorang yogi. Kemudian ia melihat seekor ular besar keluar dari mulut kakaknya, yaitu naga berkepala seribu bernama Ananta, dan melayang menuju lautan yang di mana naga dan para Dewa datang berkumpul untuk bertemu dengannya.
Setelah menyaksikan kepergian kakaknya, Kresna kemudian duduk disebuah batu dibawah pohon di Prabhasa Tirta, mengenang segala peristiwa Ia tahu bahwa sudah saatnya ia ‘kembali’. Kemudian ia memulai menutup panca indrianya melakukan yoga dengan sikap Lalita Mudra. Bagian dibawah kakinya berwarna kemerah-merahan.
Saat itu ada seorang Vyadha (pemburu) bernama Jara, setelah seharian tidak mendapat buruan, melihat sesuatu berwarna kerah-merahan, Ia pikir, ‘Ah, akhirnya kutemukan juga buruanku’, Ia memanahnya dengan panah yang berasal dari sepotong besi yang berasal dari senjata mosala yang telah dihancurkan kemudian panah itu diberi racun. Ia memanah dan panah itu tepat mengenai benda kemerah-merahan itu. Jara, sang Pemburu segera berlari ketempat itu untuk menangkap mangsanya dan dilihatnya Shri Krisna yang berjubah kuning sedang melakukan Yoga namun dengan tubuh kebiru-biruan akibat menyebarnya racun panah itu. Jara kemudian meminta ma'af atas kesalahannya itu.
Sri Kresna tersenyum dan berkata,
"Kesalahan-kesalahan sedemikian ini banyak dilakukan manusia. Seandainya aku adalah engkau tentu akupun melakukan kesalahan itu. Kamu tidak dengan sengaja melakukannya. Jangan di pikir. Kamu tidak tahu sebelumnya aku berada di tempat ini. Kamu tidak dapat dihukum secara hukum maupun moral, Aku mengampunimu. Aku sudah menyelesaikan hidupku".
Ketika Daruka tiba di Hastinapura, ia segera memberitahu para keturunan Kuru bahwa keturunan Yadu di Kerajaan Dwaraka telah binasa karena perang saudara. Beberapa di antaranya masih bertahan hidup. Setelah mendengar kabar sedih tersebut, Arjuna mohon pamit demi menjenguk Basudewa (Sri Krisna). Dengan diantar oleh Daruka, ia pergi menuju Dwaraka.
Setibanya di Dwaraka, Arjuna mengamati bahwa kota tersebut telah sepi. Ia juga berjumpa dengan Orang-orang tua, anak-anak, janda-janda yang ditinggalkan mati oleh para suaminya di dalam peperangan. Arjuna bersama para ksatria yang tersisa kemudian membawa pergi para Brahmana, Ksatria, waisya, sudra, wanita dan anak-anak Wangsa Wresni, untuk menyebarkannya di sekitar Kurukshetra. Kemudian Arjuna bertemu dengan Basudewayang sedang lunglai. Setelah menceritakan beberapa pesan kepada Arjuna, Basudewa mangkat.
Sesuai dengan amanat yang diberikan kepadanya, Arjuna mengajak para wanita dan beberapa kesatria untuk mengungsi ke Kurukshetra. Sebab menurut pesan terakhir dari Sri Kresna, kota Dwaraka akan disapu oleh gelombang samudra, 7 hari setelah wafatnya.
Dalam perjalanan menuju Kurukshetra, tibalah mereka di negara 5 sungai dan rombongan Arjuna dihadang oleh ribuan ksatria Abhira dari negara 5 Sungai yang mengetahui kedatangan rombongan tersebut. Para ksatria abhira tersebut melihat bahwa yang mengawal hanya Arjuna, sedangkan ksatria wresni telah kehilangan energinya. Saat mereka berperang, kekuatan Arjuna tidak berfungsi seperti biasanya dan menjadi lenyap, busurnya tidak dapat direntangkan, panah-panah saktinya tidak dapat dikeluarkan. Tidak banyak yang bisa dilakukan ksatria hebat tersebut.
Takdir kehancuran berjalan menurut aturannya, Para penyerang berhasil membawa kabur sebagian besar para wanita. Ia sadar bahwa takdir kemusnahan sedang bergerak. Akhirnya beberapa orang berhasil diselamatkan namun banyak harta dan wanita yang hilang. Arjuna menempatkan yang selamat bersama dengan sisa keturunan Kresna di kota yang baru, merekalah yang meneruskan tradisi pemujaan terhadap Hari (Krisna); Rukmini dan 7 Istri Kresna yang lainnya melakukan Sati (satya), membakar dirinya sendiri ke dalam api, dan yang lainnya menjadi pertapa atau pendeta. Di Kurukshetra, para Yadawa dipimpin oleh Bajra. Tepat Tujuh hari sesuai yang dikatakan Krisna, air lautan menyerbu dan membanjiri Dwaraka sehingga tidak ada lagi jejak-jejak yang ditinggalkan.
Versi Buddhis
dalam versi agama budha, wafatnya krisna tercatat dalam Jataka no.454, Ghaṭapaṇḍitajātakavaṇṇanā. Jataka di Khuddaka Nikaya hanya berisi syair, sedangkan narasi berasal dari atthakata
berikut ini alur cerita Jataka no.454, Ghaṭapaṇḍitajātakavaṇṇanā
Demikian caranya mereka menaklukkan seluruh India, tiga ratus enam puluh ribukota mereka bunuh para rajanya dengan senjata cakra dan Akhirnya mereka tinggal di Dvaravati. Nama Kesepuluh bersaudara kandung itu adalah yang sulung Vāsu-deva, yang kedua Baladeva, ketiga Canda-deva, keempat Suriya-deva, kelima Aggi-deva, keenam Varuṇa-deva, ketujuh Ajjuna, kedelapan Pajjuna, kesembilan Ghata-paṇḍita, dan yang kesepuluh Aṁkura.
Seiring dengan berjalannya waktu, mereka dikaruniai dengan putra dan putri.
Setelah waktu yang lama berlalu, di saat ia memerintah kerajaannya, putra dari Sepuluh Saudara tersebut berpikir: “Katanya, Kaṇhadīpāyana [Seorang Pertapa sakti] memiliki mata dewa. Mari kita mengujinya.”
Maka mereka mencari seorang pemuda dan memakaikan pakaian wanita kepadanya dengan mengikat sebuah bantal di perutnya, membuatnya kelihatan seolah-olah seperti ia sedang hamil. Kemudian mereka membawanya ke hadapan Kaṇha dan bertanya kepadanya, “Tuan, kapankah waktunya wanita ini melahirkan?”
Petapa Itu mengetahui bahwa waktunya telah tiba bagi kehancuran Sepuluh Saudara tersebut; kemudian dengan melihat batas waktu bagi kehidupannya sendiri, ia mengetahui bahwa ia akan meninggal hari itu juga.
Kemudian ia berkata, “Anak muda, apa hubungan pemuda ini dengan kalian?” “Jawab kami terlebih dahulu,” desak mereka.
Ia menjawab, “Pemuda ini di hari ketujuh dari sekarang akan mengeluarkan sejenis kayu akasia. Dengan itu, ia akan menghancurkan garis keturunan dari Vāsudeva walaupun kalian mengambil batang kayu itu dan membakarnya serta membuang abunya ke dalam sungai.”
“Ah, petapa gadungan!” kata mereka, “Seorang laki-laki tidak akan pernah dapat melahirkan anak!” dan mereka melakukan pekerjaan dengan tali dan benang tersebut, mereka membunuhnya dengan segera.
Raja memanggil keempat pemuda tersebut dan menanyakan mengapa mereka membunuh petapa itu. Ketika mereka mendengar semuanya, mereka menjadi ketakutan. Mereka melakukan penjagaan terhadap pemuda tersebut. Dan di hari ketujuh ketika ia mengeluarkan sejenis kayu akasia dari dalam perutnya, mereka membakarnya dan membuang abunya ke dalam sungai. Abu itu terapung-apung di air sungai dan tersangkut di satu sisi dekat pintu gerbang rahasia; dari sana muncullah tanaman eraka.
Suatu hari para raja tersebut mengusulkan agar mereka pergi bersenang-senang dan bermain-main dengan air. Maka mereka datang ke pintu gerbang rahasia tersebut, sebelumnya mereka telah menyuruh orang untuk membangun sebuah paviliun yang megah. Di dalam paviliun ini mereka makan dan minum. Kemudian dengan bercanda mereka mulai main tangan dan kaki, dan terbagi menjadi dua kelompok, yang akhirnya menjadi perkelahian.
Salah satu dari mereka, yang tidak dapat menemukan benda yang lebih baik lagi untuk dijadikan pemukul, mengambil sehelai daun dari tanaman eraka itu, yang sewaktu dicabut langsung berubah menjadi batang kayu akasia di tangannya. Ia kemudian menggunakannya untuk memukul banyak orang. Yang lainnya pun mengikuti tindakan yang satu ini, dan benda itu sewaktu mereka mencabutnya tetap langsung berubah menjadi batang kayu akasia. Dengan kayu itu, mereka saling memukul sampai akhirnya mereka terbunuh.
Di saat mereka ini sedang menghancurkan satu sama lain, hanya empat yang melarikan diri dengan naik ke dalam kereta kuda—Vāsudeva, Baladeva, adik perempuan mereka Putri Añjanā, dan pendeta kerajaan, yang lain semuanya hancur.
Keempat orang tersebut melarikan diri dengan kereta itu ke hutan Kāḷamattikā. Di sana pegulat Muṭṭhika telah mengalami tumimbal lahir menjadi yakkha, seperti yang dimintanya. Ketika mengetahui kedatangan Baladeva, ia menciptakan sebuah desa di tempat itu. Kemudian dengan mengubah wujudnya menjadi seorang pegulat, ia berkeliaran di sekitar sana dan melompat- lompat sambil meneriakkan, “Siapa yang mau bertarung denganku?” dan membunyikan jari jemarinya.
Sewaktu Baladeva melihatnya, ia berkata, “Saudaraku, saya akan mencoba satu pertarungan dengan orang ini.”
Vāsudeva berusaha dengan segala daya upaya untuk mencegahnya melakukan hal itu, tetapi ia tidak mendengarkannya, turun dari kereta dan mendekati pegulat itu sembari membunyikan jari jemarinya juga. Pegulat itu langsung memiting kepalanya dan kemudian melahapnya seperti memakan lobak. Vāsudeva yang mengetahui bahwa ia telah mati, langsung pergi dengan adik dan pendeta tersebut, sampai matahari terbit mereka tiba di sebuah desa perbatasan.
Ia kemudian berbaring di semak-semak pepohonan, sementara ia menyuruh adik dan petapa itu masuk ke dalam desa, mencari dan membawa makanan kepadanya. Seorang pemburu (namanya adalah Jarā, atau Usia Tua) melihat semak-semak itu bergoyang.
“Kemungkinan besar itu adalah babi,” pikirnya.
Ia melempar tombaknya dan itu menusuk kaki Vāsudeva. “Siapa yang telah melukaiku?” teriak Vāsudeva.
Pemburu tersebut yang baru mengetahui bahwa ia telah melukai seseorang, langsung berusaha untuk lari karena ketakutan. Raja yang mengetahui siapa pelakunya, bangkit dan memanggil pemburu tersebut, “Paman, kemarilah, jangan takut!”
Ketika ia kembali. “Anda siapa?” tanya Vāsudeva.
“Namaku adalah Jāra, Tuan.” Raja berpikir, “Ah, Luka yang disebabkan oleh Usia Tua akan mengakibatkan kematian, demikian yang dikatakan pepatah kuno. Tidak diragukan lagi saya akan meninggal hari ini.”
Kemudian ia berkata, “Jangan takut, Paman. Mari tutup lukaku ini.”
Luka tersebut kemudian diikat dan ditutup olehnya dan raja membolehkan ia pergi. Rasa sakit yang amat sangat mulai menyerang dirinya. Ia tidak bisa memakan makanan yang dibawakan oleh kedua orang tersebut. Kemudian Vāsudeva berkata kepada mereka: “Hari ini saya akan meninggal. Kalian adalah makhluk yang lembut dan tidak akan pernah dapat mempelajari apapun untuk bertahan hidup; jadi belajar dariku tentang ilmu pengetahuan alam ini.”
Setelah berkata demikian, ia mengajarkan ilmu pengetahuan alamnya kepada mereka dan menyuruh mereka pergi. Kemudian ia pun menemui ajalnya. Demikianlah satu per satu dari mereka meninggal, kecuali Putri Añjanā.
Yang menarik dari beberapa versi catatan kematian Krisna, yang kemudian ditafsirkan oleh banyak kalangan yang menyebutkan bahwa Krisna adalah sosok TUHAN yang menjelma sebagai "manusia". nah, dari kata sebagai manusia, itu membuktikan bahwa Krisna bukan Tuhan, tetapi manusia seutuhnya yang memperoleh pencerahan sebagai akibat karma positif yang menyelimuti sebelumnya, silahkan baca Bhagawad Gita IV.5, yang mengindikasikan Krisna hanyalah Manusia yang tercerahkan, bukan tuhan yang dikonfirmasi dalam Mosala Parwa. hal ini juga dterkonfirmasi dalam Aswamedha Parwa, dimana Sri Kresna dikisahkan lupa dengan Wejangannya sendiri (Bhagavad Gita) ketika Arjuna ingin mengulanginya lagi.
kemudia ada yang memaksakan menafsirkan sebagai berikut:
Bangsa Yadawa terkenal tidak terkalahkan sehingga menjadi sombong, arogan kasar dan gemar mabuk-mabukan dan di sekitar hutan saat itu, justru sedang terjadi perang dashyat yang berujung musnahnya bangsa Yadawa.
bagaimana mungkin ada seorang Pemburu yang begitu santainya tak terusik dan masih berburu?
ingatlah, dan baca ulang kisahnya di mosala parwa...
"...Akhirnya para keturunan Wresni, Andhaka dan Yadu tewas semua di Prabhasatirtha, dan disaksikan oleh Kresna..... Sri Krisna kemudian pergi ke hutan tempat dimana Balarama menunggunya... Kresna kemudian duduk... Kemudian ia memulai menutup panca indrianya..."
itu setting cerita setelah usai perang, dan tentu saat seperti itu beliau pasrah... dan tentu saja ini buah dari kutukan sebagai jalan kematian krisna, krisna itu sosok manusia seperti para maharesi sebelumnya, yang bisa terlahir kedunia dan pasti mati kemudian untuk menutup hidupnya.
pertanyaan kedua,
Sebagai seorang pemburu rusa, tentunya ia mengerti prilaku rusa yang sangat waspada dan gampang terkejut, maka bagaimana mungkin masih terdapat rusa disekitar perang besar bangsa Yadawa tersebut?.
ingat setting ceritanya di hutan...
sudah tentu banyak kemungkinan yang terjadi, mungkin saja pemburu sedang mengejar buruannya, tetapi yang jelas pemburu melepaskan anak panahnya ke arah sasarannya. dan ternyata yang terkena itu krisna. ini namanya hukum karma, apapun bisa terjadi dan ingat hukum karma itu universal, jangankan sosok manusia krisna, para dewa saja terkena lingkar hukum universal ini. silahkan simah kembali Adi Parwa, bagaimana para dewa Wasu di hukum, begitu pula dewa-dewa lainnya dalam purana.
nah, pertanyaan berikutnya,
Satu kebetulan menarik lainnya adalah arti nama Jara adalah usia tua, Sehingga ada pendapat juga bahwa kematian Krisna yang di panah pemburu bernama Jara adalah sebuah metaphora? yaitu wafat karena usia tua.
bila sebuah kejadian di Parwa adalah metafora, mungkinkah parwa lainnya bukan metafora...?
bila kejadian wafatnya Sri Krisna dianggap sebuah kiasan, maka kelahirannya juga merupakan kiasan, dan semua kejadian dalam Mahabarata juga merupakan kiasan. jadi Itihasa bukan sejarah yang beranr-benar terjadi, karena isinya hanyalah metaforik. ini membuktikan bahwa segala asumsi untuk menyatakan Ketuhanan Krisna tidak valid. sebab Itihasa itu bukan kiasan, tetapi realita sejarah.