Kisah Sang Naga
Naga yang paling dekat dengan gama bali yang sering dilihat di bagian atas Padmasana adalah Naga Taksaka. Naga bersayap ini merupakan simbolisasi dari angkasa dalam literatur Hindu Bali. Dalam sebuah babad konon ia berkontribusi dalam menyelamatkan Bali dengan menerbangkan sebagian Gunung Mahameru yang diturunkan di Bali.
Sebagaimana disebutkan juga dalam Catur Eswarya Dala, Hyang Naga Takasaka bersama Ida Bethara Sambhu berstana di pura pengubengan. Naga Taksaka penjelmaan Dewa Iswara menjadi Bethara Tengahing Segara seperti yang disebutkan dalam babad Bali tentang Goa Lawah.
Selain sebagai penguasa alam, Naga Taksaka disimbulkan dalam sebuah Daksina sebagai simbol penghubung antara Jiwatman sampai Pralaya.
berikut ini tentang Naga di Bali:
Naga adalah mahluk magis yang sangat populer hampir diseluruh belahan dunia, peradaban besar China, Viking, India, Maya, eropa sangat mengenal mahluk berwujud ular mistis, sebagai raja diraja ular. Warisan berupa patung, gambar, tembikar, cerita tentang naga telah menghiasi berbagai warisan peradaban dunia. Tetapi tidak banyak yang mengulas rahasia KELAHIRAN, asal usul NAGA secara jelas selain yang ditemukan pada peradaban SANATANA DHARMA yang kemudian mengalir indah dinusantara khususnya Bli menjadi GAMA-BALI, gama Tirtha. Bahkan sosok NAGA selain beragam bentuk rupa telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan metafisik dari mendatangkan hujan, sampai memikat lawan jenis.
Kisah eksotis ini berawal dari seorang Maha Reshi digjaya bergelar BHAGAWAN KASYAPA, sebagi murid sekaligus putra Bhatara WISNU. Pada teks sastra Gama Bali disebutkan ada empat orang suci yang sungguh termahsyur dan berperan mendidik umat manusia tentang berbagai hakikat sastra penting:
"Hana Bhagawan catur Wraspati, Mratyu kundha, Mradhu, KASYAPA, padha nrasti saya, nga, Bhagawan Wraspati anggawa agamma, mwah Adhigama, Bhagawan Mratyu Kundha, anggawa sarwa gleh, mwah leyak salwirnya, mwang gring, Bhagawan Mradhu anggawa angsariga, salwirnya, hana tutur shundari trus, sundari bungkah, ya nantaka, BHAGAWAN KASYAPA, manggawa USADHA, Kalimo sadha,nga", (Kanda Bhuana Alit 36a-36b).
Bhagawan kasyapa bukan hanya sebagai AYAH para naga tetapi secara khusus bertugas menjaga, membawa, mengajarkan sastra pengetahuan yang berhubungan dengan USADHA (pengetahuan pengobatan) disebut juga Kalimosadha. Dipertegas sastra USADHA sari bahwasnya BHATARA BRAHMA memiliki murid bernama BHAGAWAN MERCUKUNDA yang membuat berbagai penyakit sedangkan BHATARA WISNU memiliki murid bernama BHAGAWAN KASYAPA yang membuat segala jenis OBAT sedangkan BAHATARA ISWARA memiliki murid bernama BHAGAWAN WRASPATI yang menciptakan berbagai SASTRA yang dapat digunakan untuk membuat penyakit, membuat obat bahkan berbagai ajaran yoga.
Bhagawan Kasyapa diceritkan memiliki dua istri bernama DEWI KADRU dan DEWI WINATA, keduanya sungguh cantik, pintar namun memiliki karakter yang berbeda. Suatu ketika BHAGAWAN KASYAPA menggelar sebuah yadnya besar dan teramat penting, dari yadnya ini dipersilahkanlah kedua istri untuk memohon apapun sesuai kehendak hati. Dari kobaran api suci yang membumbung kelangit, niscaya apapun kehendak kalian akar terwujud, segeralah membuat permintaan, demikian sabda suci sang SUAMi. Pertama berucaplah Dewai Kadru sambil mencangkup kedua tangan, seraya berujar dengan lembut pelan bahwa dia menginginkan anak, bukan satu atau dua anak melainkan SERIBU ANAK, yang sangat hebat, melebihi para Dewa, yang bahkan hanya dengan tatapan mata mampu membakar musuh, hidup abadi. Bhagawan Kasyapa tersenyum kemudian diberikanlah SERIBU TELOR yang harus dijaga dengan baik, hingga kelak melahirkan anak sesuai harapan sang dewi. Selanjutnya Dewi Winata pun memohon angurah seraya menghaturkan bhakti, memohon cukup diberikan dua putra, yang kehebatannya menyamai ayahnya (bhagwan Kasyapa). Dari dua telor ini kelak akan lahir SANGHYANG ARUNA dan GARUDHA. Setelah dirawat dengan Baik lahirlah SERIBU EKOR ular NAGA yang tumbuh sangat cepat dengan berbagai kekuatan dahsyat.
Jadi secara SPIRITUAL-BIOLOGIS sosok NAGA lahir dari BHAGWAN KASYAPA dan DEWI KADRU, maka dari itu beliau seringkali dipuja untuk menyembuhkan berbagai penyakit berkaitan dengan WISYA (racun, bisa) melalui metoda khusus disebut PANAWAR:
"Nyan kaputusan bhagawan kasyapa, dewi (wi)nata muwah dewi Gandru, pawarah sang guru Dewa ya, saking Suargan, mijil saking Bali mrecapada, wenang Bhagawan Kasiapa anawar sangkaning upas, sa, toya asibuh, ma,
Ong upas putih mara upas ireng mati, upas amancawarna mara upas amancawarna mati, upas dekdek mara, upas dekdek mati, apan aku sang guru dyah putih, upas acucuk putih sakti, aku anawar sangkaning upas, poma, ong. mara, upas putih mati, upas abang mara upas abang mati, upas kuning mara upas kuning mati, upas ireng" (lontar suryyatiga. 11a)
BHAGAWAN KASYAPA sangat banyak disebut-sebut pada berbagai teks USADHA, mengingat bahwa beliau adalah murid dari Bhatara Wisnu dan diberikan tugas untuk menjaga membagikan AMERTHA SANJIWANI yaitu air suci yang dapat mengadirkan kehidupan. Selalu disandingkan dengan BHAGAWAN MERCU KUNDA yaitu putra Bhatara Brahma yang mengajarkan berbagai pengetahuan membuat penyakit, ilmu pangleyakan, aji ugig. Bahkan menurut sastra Kanda Bhuana alit untuk PANGRAKSA JIWA (penjaga diri) dari berbagai hal buruk berbahaya atau penyakit dapat dilakukan dengan merafal mantra rahasia yang disebut KAPUTUSAN BHAGAWAN KASYAPA;
"Iki pangraksa jiwa, nyan kaputusan Bhagawan kasyapa, balyan, nga, duk manusa katibanen, mreta sanjiwanni, nibena gring dennira bhagawan mratyu kundha, nga, Bhagwan Kasyapa balyan masiwa maring Sanghyang Wisnu, mawehana mrata sanjiwani", (Kanda Bhuana alit 58a-58b)
Gama Bali sangat melekatkan keberadaan naga dengan BUMI dan TANAH BALI, cosmolgi Purba Bali melalui Lontar Catur-Bhumi-Surya-Sangha mengguratkan bahwa proses GAIB penciptaan alam semesta BALI diawali dengan penciptaan ANRAWANG melahirkan langit dan ANRUWUNG melahirkan tanah. Tanah diwujudkan berupa SAPTA PATALA (tujuh lapis) yang dikuasai oleh sosok NAGA bernama SANGHYANG ANANTHA BHOGA, di abih oleh para widhyadhara--widhyadhari. Kemudian untuk melanjutkan penciptaan beryogalah Sanghyang Ananta Bhoga, munculah BADAWANG NALA (kurakura api raksasa) dililt oleh NAGA GOMBANG. Beryogalah kembali Sanghyang Anantabhoga munculah langit dan batu hitam sebagai dasar bumi Bali yang berada diatas punggung Bedawang. Hadirlah Bhatara Kaya diatas batu hitam tersebut, diemban dijaga oleh I Naga Basukih.
Pada seni arsitektur Bali tampak konsep ini diwjudkan NYATAKAN dengan lebih jelas melalui bangunan megah bernama PADMASANA sebagi tempat disthanakannya teologi tertinggi Gama Bali. Pada bagian bawah palinggih Padmasana, dibentuklah ornamen sakral berupa BEDAWANG ANALA (kura-kura api) sedang dibelit kuat erat oleh dua sosok naga bernafas api yaitu NAGA WASUKI dan NAGA ANANTABHOGA. Pada puncaknya bertengger dengan gagah sosok NAGA BERSAYAP, sengaja dibuat sepasang untuk kepentingan estetika, bernama NAGA TAKSAKA. Bangun indah nan megah Padmasana merupakan miniatur JAGAT RAYA lengkap berbagai komponennya, yang dibagi menjadi TRILOKA. Pada bagian bawah disebut BHUR LOKA, berbentuk ornement BADAWANG GNI sebagai niasa inti Bhumi berwujud magma pijar, KALA GNI RUDRA, yang sangat bergejolak, bergemuruh.
Untuk menstabilkan KURA-KURA API (inti bumi) hadirlah dua naga yang memiliki kekuatan BANDHA (belitan) sangat dahsyat, mengikat, memegang kura-kura dari dua sisi. Naga WASUKI dan ANANTA BHOGA merupakan niasa lapisan bhumi yang terdiri dari unsur PADAT (tanah batuan) dan unsur CAIR (air) diwakili oleh NAGA WASUKI, layaknya lapisan tanah yang mengikat initi bumi. Lapis BHUWAH berada dipermukaan bumi berwujud berbagai macam tumbuhan disimbolkan dengan berbagai patra ukir, bunga dan daun. Pada lapis palih ini juga terdapat berbagai binatang, diniasakan dengan bentuk karang gajah ataupun karang kedis goak. Pada lapis tertinggi atau SWAH LOKA, pada puncak Padmasana berbentuk parba seperti tempat duduk, dengan ruang ksosong sebagi niasa langit, lapisan udara diwujudkan sebagai sosok nagat terbang bernama NAGA TAKSAKA.
Dimasa lampu ketika mayoritas penduduk Bali daratan adalah MEGAMA PACUL (bertani) keberadaan naga bukanlah sebatas mitos melainkan tercatat rapi pada berbagai tesk lontar. Diantaranya SRIPURANA TATTWA sebagai acuan lelaku bercocok tanam, menyebutkan kisah penting peranan ketiga naga untuk JAGAT BALI. Pada suatu masa ketika jagat mengalami masa sulit, berbagai tumbuhan mati, akibat TANAH mengalami pencemaran, berdampak langsung kepada, binatang dan manusia. Begitu juga unsur AIR sebagai element terpenting berbagai kehidupan telah sangat tercemar sehingga berubah menjadi WISYA (racun). UDARA pun tidak layak hirup karena kandungan PRANA-nya telah tercemar. Bumi Bali dengan segala isinya mengalami kesengsaraan dahsyat, hingga menjelang PRALAYA. Berbagai tumbuhan dan hewan tiba-tiba kering mati tanpa sebab, Para Dewa merasa iba, bertindaklah Bhatara Siwa Guru mengutus BHATARA TIGA turun kebumi untuk membantu manusia.
BHATARA BRAHMA turun kebumi berubah menjadi naga berwarna merah, bernama SANGHYANG NAGA ANANTA BHOGA, bertugas membersihkan PERTIWI dari berbagai unsur racun pencemar tanah. BHATAR WISNU melayang turun kebumi, memurthi menjadi naga Ireng (hitam), bergelar SANGHYANG NAGA WASUKI, menukik masuk kelaut, danau, sungai membersihkan, memurnikan unsur JALA (air). Tidak lupa turunlah BHATARA ISWARA, melayang dari angkasa menuju Martya-loka (bumi) berwujud naga Petak (putih), bernama SANGHYANG NAGA TAKSAKA, menari diangkasa, menggelar berbagai wisesa membersihkan langit, menyucikan udara.
NAGA rupanya bukan hanya dijadikan figur utama dalam berbagai ritus magis PANGRAKSA, PANGASIH ataupun UGIG yang bersifat OFENSIVE (penyerangan) ataupun DIFENSIVE (perlindungan) melainkan ke ranah yang lebih halus berupa ritual KALEPASAN (pembebasan roh). Ketika manusia lahir lalu berkarma maka begitu banyak belenggu yang membelit, diantaranya bersumber dari KEINGINAN atas pemuasan INDRIA, berakibat menjadi beban pembelenggu sanghyang Atma. Bagi seorang Raja bebannya akan lebih berat karena bukan hanya tentang buah dari karma peribadinya saja tetapi BANDHA yang lebih kuat adalah berupa KEKUASAAN, tahta. Maka dari itu pada ritual kematian seorang RAJA-RATUning RAT, figur NAGA pun diwujudkan sebagai YANTRA rahasia KALEPASAN, guna mempermudah lepasnya Atman dari Bandha (belenggu).
Jika sang Raja telah mangkat selain usungan jenasah berupa BADE menjulang tinggi seakan menyentuh langit, ataupun LEMBU hitam besar. maka figur naga yang disebut sebagai SANG HYANG NAGA BANDA pun patut disiapkan. Setelahnya akan diPANAH oleh sang BHAGAWANTA sebagai simbol pelepasan Atman Raja melalui “pembunuhan” belenggu karma, ikatan duniawi yang disimbolkan sebagai sosok Naga Bandha.
Penggunaan yantra uparengga NAGA BANDA mulai populer diBali pada era kepemimpinan DALEM WATURENGGONG, pada abad ke 15, sosok raja yang telah suskses menghantarkan Bali-dwipa kepuncak keemasan. Diceritakan pada suatau masa atas keisengan Dalem Waturenggong yang mempertanyakan kehebatan Pedanda Buddha yang bernama Danghyang ASTAPAKA, sebagai keponakan sang Bhagwanta (penasehat spiritual) yaitu Danghyang Dwijendra. Maka dibuatlah semacam penjebakan, dengan memasukan seekor angsa kedalam sumur dekat istana. Suara lengkingan aneh seakan menggema dari tanah sumur kemudian dipertanyakan kehadapan sang pedanda Buddha apa gerangan yang berbunyi sungguh menyeramkan itu. Dengan serius Danghyang Astapaka menjawab bahwa itu adalah suara seekor NAGA. Sontak saja sang ratu tertawa, diiringi para pejabat kerajaan, dan menyimpulkan bahwa kesaktian beliau yang tersohor hanyalah sebatas bual kebohongan. Bahwa suara riuh dari tanah itu adalah seekor ANGSA yang sengaja dimasukan kedalam sumur kemudian ditutup.
Tak bergeming sedikitpun, Dengan senyum simpul Danghyang Astapaka tetap kokoh menyebut bahwa itu adalah seekor NAGA. Berupaya membuka kedok kebohongan sang Boddha maka diutuslah seorang prajurit untuk membuka penutup sumur, berharap mempermalukan beliau didepan umum. Tetapi seketika penutup sumur dibuka munculah sosok ular panjang mendesis bermahkota emas, sosok naga mahabara-krura maha dahsyat dengan pajang 118 depa keluar dari sumur mendesis menundukan kepala dihadapan sang maha Pandita. Perubahan ANGSA menjadi NAGA adalah sebagai bentuk kekuatan WAK-BAJRA Danghyang Astapaka, menjadikan sesuatu sesuai dengan UCAPAN.
Sontak saja raja melotot keheranan, bibirnya gemetar, tubuhnya kaku, langsunglah Danghyang Astapaka menenangkan dan memberikan nasihat sambil merangkul NAGA tersebut, bahwa mahluk ini disebut sebagai SANGHYANG NAGA BANDHA kelak inilah yang akan mengantar Roh sang raja beserta keturunannya kembali kealam Siwa-buddha. Dalem Waturenggong mendapat wejangan kerohanian dari Dang Hyang Asthapaka tentang ajaran Buddha Mahayana. Saat itulah Tutur Kamahayanikan diwejangkan kepada Dalem Waturenggong, rajapun menjadi tentram hati dan jiwanya.
Walaupun pada kenyataannya penggunanan figur NAGA BANDHA sangat ketat sebagai norma SESANA MANUT LINGGIH (etika aturan berdasarkan setatus), hanya untuk golongan Raja saja, tetapi teks sastra indik tirtha pangentas menyebutkan secara rahasia tentang tirta Pabersihan Utama yang keutamaanya menyamai penggunaan NagaBandha, diperbolehkan untuk umum. Ritus ini untuk mempercepat proses pembebasan Roh dari berbagai belenggu, terutama bagi yang kematiannya TAN SAREH (tidak wajar), Salah pati, ngulah pati dll, Sarananya sangatlah sederhana tetapi mensyaratkan penggunaan AIR pancoran yang harus ditunas dengan uang kepeng sejumlah tertentu. Yang mapinunas pun harus lah orang yang sangat paham sastra ataupun diwakilkan oleh anak kecil yang masih sangat polos.
Keutamaan tirtha pabersihan ini melalui permohonan kehadapan Bhagwan Gangga-Bhagawan Ganggi maka fungsinya akan sama dengan penggunaan NAGA BANDA, sebagai pembebas belengu Sanghyang Atma. Pancuran selalu diidentikan dengan NAGA adalah dengan sangat umumnya penggunaan figur NAGA sebagai BHUJAGA-JALA-DWARA (saluran air berwujud Naga). Figur naga sebagai Jaladwara adalah mewujudkan sosok Naga WASUKI (naga Air) yang berfungsi untuk MEMURNIKAN AIR dari berbagai unsur MALA (kotor), sejalan uraian sastra Sripurana Tattwa bahwa Bhatara Wisnu mamurthi berwujud NAGA HITAM, turun kebumi untuk menyucikan seluruh air di Martyapada.
Teks sastra indik Kajang pun seakan memperkuat fungsi NAGA sebagai sarana pembebasan Roh melalui figur naga yang dijadikan rajah ulon. Sosok Sanghyang ATMA digambarkan sedang diterbangkan oleh SANGHYANG NAGA menuju PITRA LOKA. Begitu juga dengan salah satu KAJANG PANDE dirupakan dengan figur NAGA lengkap dengan berbagai aksara suci, untuk membebaskan warga pande dari berbagai ikatan belenggu karma, sekaligus sebagai identias niskala.
Sastra indik pengabenan tidak ketinggalan mengurai berbagai banten yang sangat penting saat prosesi pangabenan bertujuan untuk mempercepat proses pembersih sanghyang Atma. Diantaranya adalah melalui banten PENGADANG NGADANG dan pemahaman tentang tingkahing bedawang Nala ring raga (pengetahuan kura-kura api dalam diri) juga menyebut berberapa sosok naga berada pada tubuh yang dapat menghambat perjalanan sang roh :
"Iki tingkahing badawang nala, ring raganta, ng, maring tlapakan suku, kebo raja, nga, jeriji, NAGAWILUT, tundun batis, lembu sana sowan batis,ng, Dhusasana, swan batis kiwa, Lembu Drawi, ng, tunggak batis. NAGA WINTYA betek batis, NAGA PTULE, ring lulud" …..(kanda bhuwana alit 27b-28a),
nampaknya NAGA bukan hanya dibawa oleh para penyiar agama luar, namun sebuah ide purba yang telah amat mengakar khususnya di nusantara. hingga ketika SANATANA Dharma berkunjung, dengan berbagai paham tentang Naga-pun diterima dengan mudah.
berikut adalah salah satu teks purba Batak yang memuat figur naga.
Stabi Berlin Hs. Or. 13 979. Mahluk yang ada di sebelah kiri adalah Naga Situldang Bosi sedang yang di kanan Ompu Raja ni Aji Padua Tamba Tua (mungkin sama dengan Naga Padoha). Kedua naga itu menjadi penghuni dunia bawah bersama dengan tiga naga lainnya.
Demikianlah sekilas tentang Kisah Sang Naga di Bali. semoga bermanfaat.