Sanggah Kemulan

Sanggah Kemulan
Hampir setiap karang perumahan di Bali, pada bagian hulu atau udiknya terdapat sebuah “sanggah”. dimana palingih disebut “Sanggah kamulan” untuk golongan tertentu disebut juga “Sanggah Kemimitan”. Sanggah Kamulan ini banyak memiliki peran dalam kehidupan masyarakat di bali. Sanggah Kemulan merupakan gambaran umum pemeluk gamabali atau lebih dikenal dengan pengikut ajaran siwa-budha. Dalam perkembangannya Sanggah Kemulan atau dikenal dengan istilah Rong Tiga, karena pada sanggah ini memiliki tiga ruangan (rong).
Karena sanggah tersebut selalu letaknya pada udik atau hulu dari karang, maka disebut juga “Panghulun Karang”. adanya sanggah kamulan selalu berdampingan dengan Sanggah Taksu. sehingga dalam keseharian, masyarakat bali lebih failiar menyebut Pamerajan Alit dengan sebutan Sanggah Kamulan Taksu.
Belakangan ini, di kalangan generasi muda tidak sedikit yang mulai berpikir praktis, membangun Rumah untuk keluarga kecilnya tanpa membangun Sanggah Kamulan Taksu, Cukup dengan Padmasari (padmasana) saja, bahkan ada yang lebih ekstrem dengan hanya membuat kamar suci saja. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan, baik karena persoalan tanah (BTN 1 are), biaya, efesiensi dan masih ada seribu alasan untuk membenarkan tindakannya. itu semua tidak salah, namun keliru.
Melalui artikel ini akan dicoba membangun pemahaman betapa Pentingnya Sanggah kemulan Taksu ini. Bagi para pembaca yang berniat membuat sanggah untuk rumah barunya, sebaiknya membaca artikel sederhana ini.
Secara etimologi kata, Sanggah Kamulan terdiri dari dua buah kata yaitu:
- Sanggah, dan
- Kamulan.
Sanggah Kamulan adalah tempat pemujaan asal atau sumber, Hyang Kamulan atau Hyang Kamimitan.
Kamimitan berasal dari kata Wit, (huruf m adalah sekeluarga huruf W).
Kamimitan adalah lain ucapan dari kata kawiwitan, berasal dari kata wit, yang berarti asal atau sumber pula (Wikarman, 1998: 2). Dengan pengertian ini sebenarnya kita sudah dapat menarik atau menyimpulkan bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan itu tidak lain yang merupakan sumber atau asal dari mana manusia itu ada.
Asal usul Sanggah kemulan (rong telu) ini belum ditemukannya titik terang, ada yang mengatakan sebagai peninggalan dari ajaran budha yang bersumber dari kerajaan medang kemulan, dengan bukti digunakannya kata "kemulan" untuk menamai tempat pemujaan ini, ada juga yang menafsirkan bahwa Sanggah Kemulan didirikan pada masa Mpu Kuturan saat menggabungkan pemahaman 9 sekte/sampradaya yang pernah ada dibali lewat parum agung di pura samuhan tiga, gianyar.
Awalnya tidak ada tapi ada, tuhan disebut: Sat. Om tat sat.
Kemudian melalui yadnya, tuhan membentuk dirinya menjadi potensi penciptaan, pemelihara dan pelebur yang bersimbul ONGkara. inilah yang kemudian disebut SangHyang Kawitan (sumber penciptaan), Sang Hyang Guru (yang maha mengetahui dan guru utama), Sang Hyang Urip (Sumber Kehidupan dan semua yang bergerak).
untuk menciptakan tuhan mewujudkan dirinya menjadi Rwa Bhineda (yang dua merupakan tunggal) : Ang-Ah.
- ANG merupakan Sanghyang Meme (Predana, Ibu), merupakan Bumi (Ibu pertiwi), tempat berpijak.
- AH merupakan Sanghyang Bapa (Purusha, Ayah). merupakan Langit (Bapa Akasha), diatas kepala.
Inilah kemudian desebut Ardhanareswari. Ang-Ah menjadi star david ajaran yahudi, yang / brahman menjdi ajaran sarak selam.
Bersatunya Hyang Meme (predana) dan Hyang Bapa (purusha) mewujudkan Tri Kona: Utpeti-Stiti-Pralina, yang merupakan mekanisme umum penciptaan. ini kemudian menjadi Tri Murti, yaitu:
- Ang adalah Agni (api), simbolkan Penciptaan (Utpeti), yang dalam perkembangannya dikenal sebagai Bhatara Brahma.
- Ung adalah Undaram/Ugra (air), simbol Pemelihara (Stiti), selanjutnya disamakan dengan Bhatara Wisnu.
- MAng adalah MArut (Udara/Angin), simbol Pemurnian/pralaya (Pralina), selanjutnya dikenal sebagai Bhatara Iswara (Siwa).
Ongkara, Ang-Ah dan Ang-Ung-MAng inilah yang distanakan di kemulan, yang merupakan sumber dari sumber yang ada,
Dari tri murti, barulah dimulai penciptaan secara sekala,dimana manusia merupakan ciptaan yang sempurna melebihi ciptaan tuhan lainnya. adapun unsur pembentuk manusia adalah:
- purusha gunacitta merupakan aspek dualisme manusia, baik-buruk, tinggi-rendah, kaya-miskin dll
- Tri Guna yang merupakan sifat manusia yaitu Agresif (Rajas), Malas (Tamas) dan Tenang (Satwam).
- Panca Tan Matra yang merupakan unsur saraf manusia yaitu Rasa, Bau, Rupa, Sentuhan dan Suara
- Panca Mahabhuta yang merupakan pembentuk tubuh manusia yaitu: unsur padat (pertiwi), unsur cair (apah), unsur cahaya (teja), unsur panas tenaga (bayu) dan unsur pengikat unsur lainnya (akasha).
- Panca Tanmatra dan Panca Mahabhuta menyatu memunculkan Dasendria yaitu mata, hidung, telinga, lidah, kulit, mulut, tangan, kaki, dubur dan kemaluan
itulah 25 Guna yang membentuk manusia. 25 guna ini merupakan unsur/sifat material (prakerti) dari proses penciptaan. Akibat 25 Guna ini, Sang Atma (Sang Hyang Urip) yakni Tuhan dalam diri manusia terikat dan terpengaruh oleh maya, menyebabkannya keluar dari sifat aslinya. Sifat kemahakuasaan dan kekuatanNya (sakti) semakin berkurang. Dengan Kriya Sakti – Nya, energi Tuhan itu secara terus menerus mengalir pada ciptaannya. Dari energy yang paling halus sampai yang paling kasar, begitu sebaliknya, namun kita tidak pernah menyadarinya. Hal inilah yang menyebabkan manusia terbelenggu oleh ikatan duniawi dan jatuh pada jurang kesengsaraan. Untuk dapat kembali ke jati diriNya, maka manusia haruslah ingat dengan kewajibanNya (sesana). Dengan menjalankan Kewajibannya, saai itulah Manusia yang disebut Jatma menjadi soso Manusa (manut sesana). Saat itulah si Manusia disebuat Manusa Sakti. Jadi Manusa pada dasarnya berasal dari Hyang Guru yang diwujudkan lewat Sanggah Kemulan.
Pandangan ajaran siwaisme, Sanggah Kemulan merupakan simbol dari penyatuan tiga unsur, yaitu:
- Agni, yang artinya "Api", dengan aksara suci "A", kemudian menjadi ANG
- Udaka, yang artinya "Air", dengan aksara suci "U", kemudian menjadi UNG
- Maruta, yang artinya "Udara/angin", dengan Aksara "M", Menjadi MANG
dari tiga Aksara suci tersebut, muncullah pangringkes Tri Aksara "AUM" yang bersumber pada gabungan "Ang Ung Mang", dan apabila dilafalkan menjadi "OM". Dengan Memahami bahwa Sanggah Kemulan adalah Simbol Tri Aksara, maka Sanggah Kemulan dapat dijadikan tempat memohon obat"Usadha", karena dalam pemahaman gamabali, sumber penyakit juga ada tiga yaitu:
- Panes/Gerah (panas), yang bersumber dari unsur api
- Tis (dingin), bersumber dari unsur air
- Sebaa (antara panas dan dingin), merupakan kombinasi api dan air, faktor utamanya angin.
Pandangan Ajaran Budha, Sanggah Kemulan merupakan simbol tiga mustika sang budha yaitu Budha, Darma dan Sangha, yang perkembangannya disebut dengan stana Sang Tri Ratna, yang dikenal juga dengan istilah Ratnatraya atau Tiratana. Dalam pandangan ajaran budha yang sudah meresap dalam gamabali, Sanggah Kemulan merupakan stana dari sang buddha (guru) dimana:
- rong tengen, linggih Bodhisatva Avalokitesvara,
- rong kiwa, linggih Bodhisatya Vajrapani,
- madya, linggih Buddha Gotama
kemudian dalam perkembangannya, penstanaan sang budha menjadi:
- sisi kelod, linggih Vajrapani,
- sisi uttara,linggih Avalokitesvara,
- tengah, linggih Vairocana.
Umat Hindu, khususnya Gama Bali pada prinsipnya memuja Tuhan dengan segala manifestasinya seperti leluhur (Dewa Pitara). Dalam Kekawin Ramayana dinyatakan bahwa Prabhu Dasaratha sangat bhakti kepada Tuhan dan tak lupa beliau memuja leluhurnya serta menyayangi keluarganya yang merupakan titipan dari leluhurnya.
Sanggah Kemulan merupakan bangunan suci yang wajib dibuat oleh krama bali, karena mengacu pada dasar sastra gama bali, diantaranya:
- Lontar Siwagama
menyatakan bahwa "setiap keluarga yang menempati karang perumahan tersendiri wajib membangun Sanggah Kamulan". Jadi lontar Siwagama inilah yang merupakan dasar hukum bagi pendirian Sanggah Kamulan itu. Kamulan dimaksudkan untuk selalu ingat kepada sumber atau asal manusia. Manusia dalam bahasa Sanskrit berasal dari kata 'jatma' yaitu ' ja + atma '.- Ja berarti lahir,
- Atma artinya roh yang merupakan bagian dari Brahman.
Jatma atau manusia adalah roh yang lahir (reinkarnasi). Maka dapat disimpulkan bahwa manusia hidup karena adanya roh yang lahir. Jadi yang menjadi sumber asal manusia adalah roh itu sendiri. Lontar Siwagama adalah merupakan Pustaka suci bagian Smrti dari Sekte Siwa. Oleh karena itu ajaran Siwa seperti yang tercantum pada lontar Siwagama itu wajib diikuti oleh pengikutnya.
- Lontar Usanadewa dan Lontar Gong Wesi
menyatakan bahwa kemulan merupakan linggih Sang Hyang Atma (ayah dan ibu) yang berprabawa sebagai Sang Hyang Tuduh.
Dari Lontar tersebut, dijelaskan bahwa ke tiga rong tersebut, sisi kanan stana Sanghyang Bapa yang lebih dikenal sebagai sang paratma, dan sisi kiri stana Sang Hyang Ibu yang disebut sang Siwatma, dan ditengah Sang Hyang Urip, merupakan Sang Hyang Tunggal. Pada ruang tengah biasanya diisi buah kelapa yang masih bertampuk dan bertangkai serta kulitnya tiada bercacat, disebut: “Tahulan“. Tahulan ini dianggap sebagai sebagai simbul jiwa, Tapuk sebagai Lambang Siwadwara dan tangkai sebagai simbul rambut,sedangkan ruang kanan dan kiri sebagai simbul mata.
Dari dua kutipan lontar di atas jelaslah bagi kita, bahwa yang bersthana pada sanggah kamulan itu adalah Sanghyang Triatma, yaitu; Paratma yang diidentikkan sebagai ayah (purusa), Sang Sivatma yang diidentikkan Ibu (predana) dan Sang Atma yang diidentikkan sebagai diri sendiri (roh individu). Yang hakekatnya Sanghyang Triatma itu tidak lain dari pada Brahma atau Hyang Tunggal/ Hyang Tuduh sebagai pencipta (upti). - Lontar Purwa Bhumi Kamulan
menyatakan bahwa sanggah kemulan merupakan stana sang hyang atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara. - Lontar Tattwa Kapatian
disebutkan bahwa sanghyang atma (roh) setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada sanggah kamulan sesuai dengan kadar kesucian atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci, yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan”.
Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sanggah Kamulan adalah juga roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur lencang umat yang telah menyatu dengan Sang Penciptanya, yang dalam lontar Gong Wesi/ Usana Dewa sebagai Hyang Tuduh atau Brahma, yang merupakan asal muasal adanya manusia di dunia ini.
Kalau kita renungkan lebih mendalam, tentang Sanghyang Tri Atma seperti disebutkan pada Gong Wesi dan Usana Dewa, maka pengertian Hyang Kamulan sesungguhnya akan lebih tinggi lagi. Karena telah disebutkan bahwa Penyatuan Sanghyang Tri Atma adalah hyang Tuduh/Tunggal yang menjadi Brahma sebagai Sang Pencipta. Di samping itu, ketiga tingkatan Sanghyang Tri Atma itu juga ditinjau dari segi filsafat Siwa Tattwa, maka “atma” adalah yang menjadikan hidup pada mahkluk. Sivatma adalah sumber atma di alam nyata (sekala) ini. Sedangkan Paratma adalah sumber atma (roh) di alam niskala. Ia adalah atma tertinggi. Ia adalah Tuhan menurut sistim yoga. Ia adalah identik dengan Paramasiva dalam Siva Tattwa. Dalam sistim wedanta ia adalah Tuhan Nirguna Brahma. Dalam mantram “Sapta Omkaratma” disebutkan yang dimaksud dengan Tri Atma, adalah:
- Am, Atma dewanya Brahma,
- Antaraatma dewanya Wisnu, dengan wijaksaranya Um, dan
- Paramatma dewanya adalah Iswara dengan wijaksaranya Mang.
Ketiga dewa tersebut dalam sekte Siwa Sidhanta umum disebut Tri Murti. Ketiga dewa tersebut adalah merupakan roh alam semesta. Sebagai roh (atma) alam semesta ia adalah juga bergelar Tri Purusa atau Trilingga. Dikarenan Sanggah Kemulan adalah linggih Ida Hyang Tri Purusa, maka mantra pada saat memuja beliau di Sanggah Kamulan atau Kawitan adalah sebagai berikut:
Om Dewa-dewi Tri Dewanam
Tri Murti Tri Lingganam
Tri Purusa Suddha Nityam
Sarwa jagat Jiwatmanam.(Anandakusuma: 45)
Om Dewa-dewi yang bergelar Tri Dewa, adalah Tri Murti (Brahma, Wisnu, Iswara) yang juga Tri Lingga, Tri Purusa yang suci selalu, adalah roh (atma) atau semesta beserta isinya (jagat).
Sesungguhnya yang merupakan jiwa (atma) atau roh dari jagat kita ini termasuk mahkluk hidup utamanya manusia adalah beliau yang bergelar Tri Murti., Tri Purusa dengan wujud Trilingganya. Sebagai roh (atma) dengan sendirinya beliau itu adalah Ida Hyang Widhi, yang didalam penunggalan-Nya adalah Ida Hyang Widhi, yang di dalam lontar Usana Dewa dan Gong Wesi disebut Hyang Tuduh / Hyang Tunggal atau Brahma sebagai pencipta alam dengan isinya termasuk manusia.
Siwa adalah Tuhan dalam dimensi imanen (sakala), Sadasiwa adalah Tuhan dalam dimensi sakala-niskala (Ardenareswara), sedangkan Paramasiwa adalah Tuhan dalam dimensi niskala (transcendental). Siwa dalam ketiga wujud di atas, dalam lontar Siwagama digelari Batara Guru, karena beliau (Siwa) menjadi “Dang Guru ing Iswara” di jagat kita ini. Konon gelar Batara Guru dihaturkan oleh murid beliau terpandai yakni Dewa Surya, setelah Dewa Surya dianugerahi gelar Siwa Raditya oleh Siwa sendiri sebagai Dang Guru (Wikarman, 1998: 12). Oleh karena Siwa beraspek tiga, sebagai Tri purusa maka Guru pun ada tiga aspek pula, yakni Guru Purwam, Guru Madyam, Guru Rupam. Guru purwam, guru dalam dimensi niskala, Guru Madyam, guru dalam dimensi sakala-niskala, sedangkan Guru Rupam, adalah guru dalam dimensi sakala. Tri Guru, dalam mantram “ngaturang bakti ring kawitan” juga merupakan objek yang dipuja, seperti dinyatakan:
Om Guru Dewa Guru Rupam
Guru Madyam Guru Purwam
Guru Pantaram dewam
Guru Dewa Sudha nityam. (Anandakusuma, Dewayadnya: 45)
Om Guru Dewa, yaitu Guru Rupam (sakala), Guru Madya (sakala-niskala) dan Guru Purwa (niskala) adalah guru para dewa. Dewa Guru Suci selalu
Jadi melihat uraian dan kutipan mantra di atas, jelaslah bagi kita bahwa yang dipuja pada Sanggah Kamulan pada hakekatnya adalah Tuhan/Sang Hyang Widhi, baik sebagai Hyang Tri Atma, yang sebagai roh (atma) alam semesta dengan isinya (jagat) yang dewanya adalah Brahma, Wisnu dan Iswara, yang merupakan aspek Tuhan dalam bentuk horizontal dan Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa, aspek Tuhan dalam bentuk vertikal (Tri Purusa). Sebagai Tri Purusa beliau juga disebut Guru Tiga. Oleh karenanya umum juga menyebutkan bahwa Sanggah Kemulan “sthana” Bhatara Guru/Hyang Guru.
Dengan demikian pengertian Kamulan atau Kawitan sesungguhnya mengandung pengertian yang sangat tinggi, yang merupakan asal muasal manusia yang tidak lain dari Ida Sang Hyang Widhi sendiri dengan semua manifestasinya.
Dalam Lontar Siwagama Sargah sepuluh menyatakan sba:
"...kramania Sang Pitara mulihing batur Kamulania nguni..."
Karena itulah sang Pitara Sang Pitpara pulang ke asal Kamulannya dulu. Hal yang menyatakan lebih tegas lagi bahwa Pelinggih Kamulan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Atma adalah Lontar Purwa Bumi Kamulan. Lontar ini menguraikan tata cara upacara Nuntun Dewa Hyang di Kamulan. Lontar ini menguraikan amat rinci tentang tata cara menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan.
Dalam Lontar Gayatri dinyatakan saat orang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah melalui prosesi upacara ngaben roh tersebut disebut Pitra. Setelah melalui upacara Atma Wedana dengan Nyekah atau Mamukur roh itu disebut Dewa Pitara. Upacara ngaben dan upacara Atma Wedana digolongkan upacara Pitra Yadnya. Sedangkan upacara Ngalinggihang atau Nuntun Dewa Hyang dengan menstanakan Dewa Pitara di Pelinggih Kamulan sudah tergolong Dewa Yadnya. Roh yang disebut Dewa Pitara itu adalah roh yang telah mencapai alam Dewa. Karena Sang Hyang Atma yang sudah mencapai tingkatan Dewa Pitara diyakini setara dengan Dewa.
Menstanakan Dewa Pitara di Kamulan juga dinyatakan dengan sangat jelas dalam Lontar Purwabhumi kamulan, Lontar Pitutur Lebur Gangsa dan Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa.
dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara,
“… iti kramaning anggunggahaken pitra ring kamulan …” (Rontal Purwabhumi Kamulan, lembar 53).
Dalam Lontar Pitutur Lebur Gangsa dinyatakan sbb:
"...muwang ngunggahang dewa pitara ring ibu dengen ring kamulan.."
Sedangkan dalam Lontar Sang Hyang Lebur Gangsa dinyatakan sbb:
"...muwah banten penyuda mala karahaken pitra ngarania angunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengen muang ring Kamulan ngaran..."
Ketiga lontar tersebut menyatakan bahwa menstanakan roh suci leluhur yang disebut Dewa Pitara di Kamulan dengan istilah muwang ngunggahaken Dewa Pitara ring ibu dengan ring Kamulan. Ngunggahang Dewapitara pada kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau "mensthanakan” dewa pitara itu. Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah: roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yadnya, baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.
Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisan lawan dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Sivatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir Agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan paratma). Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana kanda dari ajaran Agama Hindu.
Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan, adalah bermaksud mengabdikan/melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja, mohon doa restu dan perlindungan. Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal :
“… iti kramaning ngunggahakan pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa wales, dinanya, sawulan pitung dinanya…”
“… Ini perihalnya menaikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada 12 harinya, atau 42 harinya…”
Jadi upacara ngalinggihang Dewapitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa, sehingga disebut Dewapitara, maka upacara ini tidak tergolong pitra yadnya lagi, melainkan tergolong Dewa yadnya.
Dari uraian di atas itu, jelaslah bagi kita, bahwa Sanggah Kamulan tempat memuja Sang Hyang Urip, yang menjadikan semua ini ada (hyang Widhi) dan tempat memuja Kawitan yang bergelar Sanghyang Ibu (ibunta) dan Sanghyang Bapa (bapanta) yang kemudian lebih dikenal dengan tempat memuja leluhur yang telah menunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan).