Dina Penampahan Galungan
Hari Selasa (Anggara), Wage, Wuku Dungulan, atau 1 hari sebelum Dina Galungan. Ini adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat kita di Bali karena dirayakan dengan melakukan acara masak-memasak yang sangat meriah. Memotong babi sebagai acara utama merupakan hal yang lumrah dilakukan. Pada hari ini semua anggota masyarakat Hindhu akan berusaha sebaik-baiknya untuk menyiapkan hidangan yang akan disantap di hari Galungan keesokan harinya.
Penampahan Galungan merupakan hari turunnya Sang Bhuta Amangkurat yang menggoda manusia lebih-lebih kuat lagi untuk berbuat adharma. Amangkurat dalam Bahasa Kawi artinya berkuasa. Bhuta Amangkurat adalah sifat manusia yang ingin berkuasa.
Kegiatan pada Dina Penampahan Galungan:
adapun kegiatan pokok di Dina Penampahan Galungan ini diantaranya:
secara umum arti ngerebas itu "menyembelih". tetapi sehubungan dengan kemajuan jaman dan sisi ekonomis karena menyembelih Babi tersebut memerlukan biaya dan tenaga tidak sedikit tradisi ngerebas ini beralih menjadi tradisi mepatung atau sering juga disebut mepayon yang artinya menyembelih binatang dengan berkelompok. Bagi yang tidak mempunyai kelompok mepatungan otomatis membeli daging olahan di pasar.
Saat dina penampahan inilah dibuat Ulam Banten persiapan ritual esok harinya. Prosesi ini baru dimulai membuat lawar untuk ulam banten serta untuk dikonsumsi. setelah itu membuat sate yang merupakan simbol dari senjata dewa, dalam prosesi utamaning nista cukup menggunakan 5 macam sate yang merupakan simbol senjata Panca Dewata, diantaranya:
- sate Lembat (simbol Gada),
- sate Kuwung (simbol Cakra),
- sate asem (simbol Panah Nagapasa),
- sate Jepit Babi (simbol Bajra) dan
- sate Lepit Balung (simbol Padma).
dalam ngrebas ada prosesi "Bhuta Yadnya" yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu menghaturkan:
Banten Bakaran
Bakaran biasanya dihaturkan berkenaan dengan proses menyembelih dalam rangka Yadnya. Isi persembahan canang bakaran ini adalah Canang, Tanding Bakaran, Dupa dan Tirta.
adapun isi bakaran tersebut adalah Hati, Jantung, Paru-Paru, Usus dan Darah, semua dalam keadaan mentah. mengenai lokasi dihaturkan canang Bakaran ini yaitu:
- di tempat ngeruawak / ngrebas (biasanya di dapur)
- di Natar Sanggah
- di Natar Rumah
- di Natar Pelinggih Siwaraksa (bagi yang memiliki) atau Natar Pelinggih Dugul Pengijeng (Ratu Ngurah Sedahan Karang)
- di Lebuh (depan angkul-angkul)
prosesi ini tetap dilaksanakan dengan alasan kita tetap ngrebas daging mentah di areal rumah dalam rangka upacara yadnya.
Banten Segeh Agung
Banten ini dihaturkan di natar (halaman) rumah.
adapun isi Kawisan diantaranya: sebagai dasar adalah 5 macam lawar (lawar putih, barak, kuning, jukut dan anyangan hati), dengan brengkes (pepes), muluk babi, kulit babi, garam dan sambal serta sate 14 katih. Untuk Sate, bagi yang membuat sate lengkap maka sate untuk kawisan adalah 7 sate lembat (sate lilit) dan 7 sate asem (sate tusuk). Namun bila tidak membuat sate lengkap, sate kawisan menggunakan 14 sate lembat saja
![]() Dasar Kawisan |
![]() Bungan Kawisan |
![]() Ulam Kawisan dan Bakaran |
![]() Segeh Agung dan Kawisan |
Ulam kawisan ini dihaturkan di Natar Rumah, dilengkapi dengan Banten bakaran, api takep, Nasi Gibungan, peras daksina, canang sari dan Segehan mancawarna/sasahan beserta arak berem air penglukatan, sebagai persembahan kepada Sang Hyang Kala Tiga Wisesa, yakni:
- Sang Bhuta Galungan. Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
- Sang Bhuta Dungulan. Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
- Sang Bhuta Amangkurat. turun di hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).
Banten Saiaban
menurut aturan peyadnyan, saiban (yadnya sesa) ini dihaturkan di 5 tempat saja, diantaranya:
- Tempat Api, dalam hal ini "tunggu api" (cangkem pawon) bila tidak memilikinya dapat dihaturkan di kompor saja.
- Tempat Air, dalam hal ini "Grombong" (tempat air bali kuno di sebelah dapur), bila tidak memiliki di keran air.
- Tempat Beras istilah balinya "Ampik" dan Menumbuk dalam istilah bali disebut dengan "Lesung dan Luu"
- Tempat Memotong, dalam hal ini "Talenan dengan Pisaunya"
- Alat Pembersih rumah, Sapu dan serok
tetapi karena kebiasaan di beberapa tempat, banten saiban ditambahkan lagi di setiap pelingih rumah, bangunan rumah dan beberapa tempat yang dianggap perlu. setelah menghaturkan saiban ini barulah dipersilahkan untuk "ngunggahin" alias makan.
lebih lengkap tentang Saiban silahkan baca artikel "Banten Saiban"
ini merupakan sesi akhir di hari penampahan galungan.
sedikit tentang penjor. Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”.
Penjor Galungan ditancapkan pada Hari Selasa/Anggara wara/wuku Dungulan yang dikenal sebagai hari Penampahan Galungan yang bermakna tegaknya dharma. Penjor dipasang atau ditancapkan pada lebuh didepan sebelah kanan pintu masuk pekarangan. Bila rumah menghadap ke utara maka penjor ditancapkan pada sebelah timur pintu masuk pekarangan. Sanggah dan lengkungan ujung penjor menghadap ke tengah jalan. Bahan penjor adalah sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga. Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.
Tujuan pemasangan penjor adalah sebagai swadharma umat Hindu untuk mewujudkan rasa bakti dan berterima kasih kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa. Penjor juga sebagai tanda terima kasih manusia atas kemakmuran yang dilimpahkan Ida Sang Hyang Widi Wasa. Bambu tinggi melengkung adalah gambaran dari gunung yang tertinggi sebagai tempat yang suci. Hiasan yang terdiri dari kelapa, pisang, tebu, padi, jajan dan kain adalah merupakan wakil-wakil dari seluruh tumbuh-tumbuhan dan benda sandang pangan yang dikarunia oleh Hyang Widhi Wasa.
Penjor Galungan adalah penjor yang bersifat relegius, yaitu mempunyai fungsi tertentu dalam upacara keagamaan, dan wajib dibuat lengkap dengan perlengkapan-perlengkapannya.
Dilihat dari segi bentuk penjor merupakan lambang Pertiwi dengan segala hasilnya, yang memberikan kehidupan dan keselamatan. Pertiwi atau tanah digambarkan sebagai dua ekor naga yaitu Naga Basuki dan Ananta bhoga. Selain itu juga, penjor merupakan simbol gunung, yang memberikan keselamatan dan kesejahteraan. Hiasan-hiasan adalah merupakan bejenis-jenis daun seperti daun cemara, andong, paku pipid, pakis aji dll. Untuk buah-buahan mempergunakan padi, jagung, kelapa, ketela, pisang termasuk pala bungkah, pala wija dan pala gantung, serta dilengkapi dengan jajan, tebu dan uang.
Didalam Lontar “Tutur Dewi Tapini, Lamp. 26”, menyebutkan sebagai berikut :
Ndah Ta Kita Sang Sujana Sujani, Sira Umara Yadnva, Wruha Kiteng Rumuhun, Rikedaden Dewa, Bhuta Umungguhi Ritekapi Yadnya, Dewa Mekabehan Menadya Saraning Jagat Apang Saking Dewa Mantuk Ring Widhi, Widhi Widana Ngaran Apan Sang Hyang Tri Purusa Meraga Sedaging Jagat Rat, Bhuwana Kabeh, Hyang Siwa Meraga Candra, Hyang Sadha Siwa Meraga “Windhune”, Sang Hyang Parama Siwa Nadha, Sang Hyang Iswara Maraga Martha Upaboga, Hyang Wisnu Meraga Sarwapala, Hyang Brahma Meraga Sarwa Sesanganan, Hyang Rudra Meraga Kelapa, Hyang Mahadewa Meraga Ruaning Gading, Hyang Sangkara Meraga Phalem, Hyang Sri Dewi Meraga Pari, Hyang Sambu Meraga Isepan, Hyang Mahesora Meraga Biting
Oleh karena itu, membuat sebuah penjor sehubungan dengan pelaksanaan upacara memerlukan persyaratan tertentu dalam arti tidak asal membuat saja, namun seharusnya penjor tersebut sesuai dengan ketentuan Sastra Agama, sehingga tidak berkesan hiasan saja. Sesungguhnya unsur-unsur penjor tersebut adalah merupakan symbol-simbol suci, sebagai landasan peng-aplikasian ajaran Weda, sehingga mencerminkan adanya nilai-nilai etika Agama. Unsur-unsur pada penjor merupakan simbol-simbol sebagai berikut:
- Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
- Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
- Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
- Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
- Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
- Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
- Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
- Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
- Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti.
Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Sebagai penutup ritual di Dina Penampahan Galungan adalah natab Sesayut Penampahan atau Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan
Makna Dina Penampahan Galungan
Penampahan Galungan dalam wujud ritual dirayakan dengan upacara Natab Sesayut Penampahan atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan. Pelaksanaan hari raya ini merupakan wujud ritual / yadnya yang dirayakan dengan upacara Natab Sesayut Penampahan atau disebut dengan Sesayut Pamyak Kala Laramelaradan.
Makna dari prosesi ritual ini adalah untuk mengingatkan umat agar membangun kekuatan Wiweka Jnana atau membangun kekuatan diri untuk mampu membeda-bedakan Rwa Bineda, yaitu :
- Mana yang benar dan mana yang salah.
- Mana yang baik dan mana yang buruk.
- Mana yang patut dan mana yang tidak patut.
Dengan demikian secara tegas dapat kita menghindar dari kesalahan-kesalahan yang dapat membawa kita pada kehidupan yang adharma. Jadi penyembelihan ayam dan babi itu sesungguhnya sebagai simbol untuk menyembelih sifat-sifat serakah suka bertengkar seperti sifat buruk dari ayam dan sifat-sifat malas pengotor seperti babi.
korban suci atau Yadnya merupakan salah satu kewajiban umat Hindu kepada Tuhan, karena manusia hidup berutang kehidupan kepada Beliau Sang Pencipta, maka sebagai tanda syukur kepada Beliau maka umat manusia wajib melakukan kurban suci termasuk menyembelih hewan pada hari tertentu
Karena binatang itu juga memiliki sifat-sifat baik secara instingtif. Tentunya akan menjadi mubazir kalau perayaan hari Penampahan ini kita rayakan hanya dengan pesta-pesta. Hendaknyalah disertai renungan untuk dengan sungguh-sungguh kita berusaha untuk menyembelih sifat-sifat malas dan serakah yang mungkin masih melekat dalam diri kita.Dengan demikian saat Galungan berikutnya kita sudah menjadi lebih baik dari Galungan sebelumnya.
Salah satu sumber penderitaan umat manusia di dunia ini adalah karena sering dibelit oleh sifat malas namun serakah. Ingin hidup enak dan senang tetapi malas berusaha.Inilah musuh manusia yang sering menyelinap dalam dirinya.Dalam merayakan hari raya Galungan sebagai hari untuk mengingatkan umat manusia agar senantiasa menyadari dirinya sering kalah melawan kemalasan dan keserakahan.Sebagai akibatnya manusia pun menderita karena sering kalah melawan sifat malas dan serakah itu.Karena itu, dalam perayaan Galungan secara terus-menerus diingatkan agar selalu waspada pada dua sifat yang dapat menjerumuskan manusia pada kehidupan yang menderita.
Kemalasan dan keserakahan berasal dari Guna Tamas dan Guna Rajah. Sesungguhnya Guna Tamas dan Rajah itu akan menjadi positif apabila dapat dikendalikan oleh Guna Sattwam. Guna Tamas dan Guna Rajas itu akan menunjukkan aspek positifnya kalau ia berada di bawah kendali Guna Sattwam.
Karena itulah salah satu yang diingatkan dalam perayaan Galungan adalah melakukan Ngerebu saat upacara Sugian.Upacara Ngerebu menggunakan bebek sebagai lambang Guna Sattwam. Saat Sugian itulah umat diingatkan untuk memperkuat Guna Sattwam-nya.Selanjutnya saat Embang Sugian melakukan anyekuing jnana nirmalakna.Ini artinya menyatukan kekuatan dan kesadaran diri sendiri.Dari semuanya itulah kita dapat mengalahkan kemalasan dan keserakahan.
Selanjutnya marilah buktikan dalam perayaan Galungan ini kita menang. Bagaimana membuktikannya, cobalah mulai kita menangkan produk lokal untuk digunakan sebagai sarana upacara dalam merayakan Galungan. Meskipun kualitas dan kuantitasnya masih kalah dengan produk import. Penggunaan produk lokal itu akan mendorong kita untuk mengupayakan agar produk lokal hasil karya sendiri itu lebih diupayakan peningkatan mutu dan kuantitasnya. Gunakanlah sarana hasil daerah kita untuk merayakan Galungan seperti buah-buahan, bunga-bungaan, demikian juga sarana-sarana lainnya.
Buktikanlah selama perayaan Galungan makin kecil jumlah umat yang mabuk karena merayakan Galungan. Tidak ada yang kebut-kebutan di jalan raya saat Galungan.Bahkan kita mampu menunjukkan selama perayaan Galungan pelanggaran lalu lintas menurun drastis.Merayakan Galungan dengan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu, jelas suatu kekalahan.
Kalau masih merayakan hari raya keagamaan lebih menonjolkan pengumbaran hawa nafsu jelas angka-angka negatif akan lebih menonjol dari angka-angka positif. Misalnya setiap perayaan Galungan justru statistik pelanggaran lalu lintas meningkat.Jumlah orang berkelahi karena mabuk justru meningkat saat-saat merayakan Galungan.Jumlah pengotoran lingkungan semakin banyak.Usai hari raya Galungan justru lingkungan lebih kotor dari sebelumnya. Demikian juga orang masuk rumah sakit lebih meningkat saat Galungan karena pesta-pesta yang salah kaprah.
Merayakan Galungan untuk memenangkan Dharma justru harus diupayakan dengan sadar untuk membalik angka-angka negatif menjadi angka-angka positif.Demikian juga perayaan Galungan dijadikan momentum melakukan gerakan untuk mengatasi problem sosial.Misalnya gerakan untuk tidak menjadikan tempat suci sebagai arena judi, minum-minuman keras dan pesta-pesta pora yang berlebihan.
Penampahan Galungan banyak hewan (babi) disemblih. Dijadikan olahan lawar sebagai sarana persembahan dan sebagian dikosumsi.
Kenapa harus menyemblih hewan?
Ada memaknai sebagai simbolisasi pembunuhan terhadap sifat hewani dalam diri. Ada pemaknaan lain juga yang dihubungkan dengan tradisi pemujaan Tantra yang identik menggunakan darah dan daging. Semua kiranya sangat diterima sebagai sebuah kebenaran, tergantung dari makna memaknainya.
Termasuk juga memaknai penampahan Galungan sebagai salah satu bentuk kegeniusan leluhur Bali (saya menyebutnya Tantra Guru di Bali) dalam mengejawantahkan spiritual Tantra dalam tatanan realisasi diri. Pembunuhan hewan pada Penampahan Galungan bukanlah sekadar makna simbol dan pemujaan harfiah darah untuk memuliakan salah satu dewa, tetapi adalah sadhana laku diri yang tersembunyi di balik cara-cara ekstrim. Menyemblih hewan hingga darah memuncrat, jeritan hewan, ngeruak (memotong), mencincangnya, diolah dan dinikmati dipandang ekstrim oleh sebagian orang, tetapi semua itu sesungguhnya berhubungan dengan aktivitas neurosains yang rumit dalam lapisan pikiran.
Psikologis Tantra, memandang pikiran terdiri dari berbagai lapisan kesadaran atau pikiran. Salah satunya adalah pikiran naluriah (vrtti). Sigmoud Freud dalam teori Psikoanalisisnya menyebut Id, yakni lapisan kesadaran terluar dari pikiran yang berhubungan dengan hal-hal yang naluriah. Psikologis Tantra, melihat lebih daripada itu, bahwa lapisan pikiran naluriah ini diidentikan dengan insting hewani yang sering mendominasi pikiran bawah sadar dan sadar manusia. Olehnya, manusia terkadang memiliki kecendrungan hewani yang lebih menonjolkan insting dari pada sikap sadar. Manusia lapar ingin makan, terdesak membela diri, libido sexs tinggi muncul insting ngesex dst. Semua itu dilakukan pula oleh hewan. Bahkan dominasi dari pikiran naluriah ini manusia tanpa sadar telah berlaku selayaknya hewan, membunuh sesama, memutilasi dan sejenisnya.
Guru Tantra di Bali telah merekam aktivitas pikiran tersebut dengn baik, sehingga menemukan sebuah cara untuk memuaskan aktivitas pikiran itu dengan cara-cara unik, rahasia dan dibalut dengan kepercayaan serta ritus. Bukankah ini sangat genius? Sebab guru Tantra di Bali melihat aktivitas pikiran tak ubahnya seperti arus gelombang laut (terilhami yoga sutra patanjali). Gelombang harus ditenangkan melalui kanal-kanal dalam aliran arus yang tepat. Artinya, gelombang pikiran harus dibutkan kanal-kanal (aliran) sehingga arus pikiran mengalir dalam kanal yang tepat hingga menjadi tenang.
Penampahan Galungan adalah kanal dari arus pikiran hewani sesungguhnya. Sebab dalam kanal itu, aktivitas pikiran hewani disalurkan dan dilepaskan. Tidak diendapkan terlebih direpresi (ditahan). Merepresi pikiran tersebut, sewaktu-waktu ledakan pikiran terjadi, dan tidak jarang manusia bertindak seperti hewan. Namun, pada saat Penampahan semua aktivitas pikiran hewani di lepas dan segalanya tersalurkan dengan baik. Menyemblih hewan, mencingcang, memakan dagingnya, darahnya, dst akan dapat memuaskan pikiran naluriah sehingga menjadi tenang dalam saumnya. Jadi, penyembelihan hewan itu bukanlah hanya sekadar pembunuhan harfiah. Tetapi pelepasan segala hasrat dan insting hewani dalam diri.
Jadi, bagi mereka yang merayakan penampahan Galungan dengan menyemblih dan membuat lawar niscaya mereka telah melakukan somnya dalam diri dengan menyalurkan aktivitas pikiran naluriah dengan baik. Bunuhlah hewan, nikmati dengan sadar daripada menyemblih manusia menikmati dengan tidak sadar.
Kegiatan Nampah ternyata memiliki dimensi kepedulian terhadap sesama, maksudnya sisa persembahan atau kurban bisa kita nikmati sebagai Prasadam atau sisa persembahan atau surudan yang sudah diberkati orang suci dengan diberi mantram yang memberikan pengutan Kesradhaan kepada kita, ditambah lagi apa yang kita miliki, sebagian dibagikan kepada saudara dan kerabat bahkan kepada siapa saja yang membutuhkan makanan atau daging kurban.
disamping itu ada tradisi unik yang masih terlihat di berbagai daerah di bali, yaitu Tradisi Mepatungan. Tradisi mapatung atau mebat itu menyatukan segala perbedaan membentuk keharmonisan.Tradisi ini bukan sekadar masak-masak atau berfoya-foya. Di balik tradisi itu terselip makna menyomyakan kekuatan negatif dalam diri dan di luar diri. Secara nyata, orang mapatung atau mebat itu harus bersama-sama. Begitu juga secara simbolik itu bisa dilihat dari apa yang dihasilkan dalam mapatung, seperti lawar dan lainnya itu adalah perpaduan antara berbagai unsur dalam kehidupan. Itu menyatu membentuk rasa terbaik. tradisi mapatung memperkuat ikatan sosial di antara krama. Pasalnya, dalam tradisi itu, krama bisa saling berbagi rasa. Selain itu, bila mapatung, krama bisa mendapatkan bagian-bagian dari babi secara lengkap.
Sikap atau tradisi berbagi atau dalam bahasa Bali disebut "Ngedum (mebagikan daging olahan)" dan "Ngejot (membagikan lawar)", "Mepatung" (ngelawar/ngolah daging bersama/ramai-ramai) merupakan sikap komunal yang terpuji dan patut dipelihara dari waktu ke waktu karena sangat berdampak positif bagi peningkatan kerukunan inter dan antar umat beragama.
Penampahan Galungan juga dapat ditinjau dari segi kepentingan hewan kurban sendiri, selain diatas telah disebutkan sebagai upaya penyupatan menuju kepada kehidupan mendatang yang lebih mulia, hewan yang dikorbankan haruslah mendapat perlakuan yang baik, makan yang cukup, dijaga kesehatannya, mendapatkan kasih sayang serta perlakuan lain yang baik. Perlu diperhatikan, sebelum hewan kurban disembelih, ada beberapa hal yang mesti atau wajib dilakukan oleh umat Hindu.
- hewan korban harus diberi makan dan minum, kepada mereka diperdengarkan bacaan kitab suci Veda (Weda) atau nyanyian suci serta musik yang menenangkan.
- ketika penyembelihan, tukang tampah (tukang jagal) atau para eksekutor harus mengucapkan mantram penyembelihan hewan serta lakukan proses penyembelihan dengan pisau yang sangat tajam dan proses yang sangat cepat agar hewan mati dalam keadaan yang tenang. Semua ini kita lakukan sebagai wujud rasa kasih sayang kepada semua mahluk hidup dan sebagai tanda bakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
perayaan penampahan Galungan sebenarnya dititik beratkan dalam usaha untuk membasmi sifat hewani yang ada di dalam diri manusia, sehingga dalam perayaan Galungan keesokan harinya kita bisa terbebas dari sifat hewani tersebut. Ini merupakan perwujudan perang dharma (kebenaran) melawan adharma (kejahatan) ada dalam diri setiap individu. Adharma adalah semua sifat negatif seperti amarah, dendam, iri, dengki, serakah, sombong dan lain sebagainya. Sebaliknya, dharma adalah sifat baik atau positif seperti jujur, suka menolong, sabar, iklas, rendah hati, mau memaafkan, tulus dan lainnya.
Penampahan Galungan juga diikuti dengan acara natab byakala di sore hari untuk pembersihan diri. Saat ini arti filosofi dari penampahan Galungan secara perlahan-lahan sudah digantikan dengan arti harfiahnya yaitu pemotongan babi untuk persiapan Galungan. Ketidak mengertian ini bisa jadi akan menimbulkan efek samping yaitu diikuti dengan mabuk-mabukan dan lain sebagainya. Demikian sekilas tentang Dina Penampahan Galungan, semoga bermanfaat.