Sapi menurut Weda bukanlah Sapi biasa, bukanlah Sampi (sapi bali), bukan juga Banteng, Kerbau ataupun Bison. Sapi menurut Weda adalah Nandini, Lembu Putih yang dikenal sebagai wahana-nya Dewa Siwa. Lembu Putih inilah yang merupakan SAPI SUCI menurut weda.
Sapi menurut Weda yaitu Nandini (Lembu Putih) ini sangatlah disucikan, sangat disakralkan, bukan diharamkan seperti Babi dalam ajaran Islam. Pantangan menyakiti, membunuh, memakan dagingnya adalah dalam kaitan sujud bhakti kita ke hadapan Ida Bhatara Siwa (Tuhan Yang Maha Esa). Bagaimana mungkin setiap hari kita memuja-Nya, lalu di kesempatan lain kita memakan daging binatang suci kesayangan-Nya?
Sapi telah datang, dan dengan kedatangannya kita menjadi sejahtera. Sapi duduk di kandangnya dan memberikan kesenangan pada kita. Sapi-sapi yang dihiasi oleh aneka warna dan anak-anak yang sehat, memberikan susu yang melimpah ruah.
duhamasvibhyam payo aghnyeyam sa vardhatam mahate saubhagaya
(Rg Weda 1.164.27)
Sapi ini yang tidak boleh dibunuh, mempersembahkan susu kepada Dewa Asvini dan dia berkembang demi keuntungan kita.
Dengan memakan rumput yang baik, sapi menjadi beruntung, dan semoga dari sapi yang beruntung tersebut kita juga menjadi beruntung atau menjadi kaya. Wahai sapi yang tidak boleh dibunuh…, hendaklah engkau selalu memakan rumput utama dan di waktu pulang kandang hendaknya engkau meminum air bersih jernih.
Aturan-aturan mengenai tidak menyakiti, membunuh, dan memakan daging sapi ada dalam Parasara Dharmasastra (Smrti Kaliyuga) Bab IX
Sloka 37:
ia yang mendorong seekor sapi ke dalam kolam atau sumur atau menindih punggungnya dengan pohon atau menjualnya kepada penggemar daging sapi dinyatakan berdosa membunuh sapi
Sloka 62:
ia yang telah membunuh seekor sapi mencoba menyembunyikan dosanya dalam kehidupan ini setelah mati dicampakkan dalam kepedihan neraka KALASUTRAM
Sloka 63:
terlepas dari neraka itu ia dilahirkan sebagai seorang yang dikebiri (WANDU?) atau seorang penderita penyakit kusta (atau AIDS?) atau sebagai seorang yang miskin pada tujuh penjelmaan secara berturut-turut
Bagi seorang Pendeta/ Pandita (Brahmana Dwijati) tercantum dalam Bab XI
Sloka 1:
setelah (dengan tidak sengaja) makan daging sapi atau nasi seorang candala atau materi organik kotor seperti sperma dsb. seorang Brahmana harus melakukan upacara penebusan dosa Candrayana
Unsur-unsur sapi disakralkan dalam upacara pembebasan dosa antara lain tercantum dalam Bab XI
Sloka 27:
kesucian dan pembebas dosa adalah pancagavyam, yang merupakan campuran dari air kencing sapi, tahi sapi, susu sapi, susu sapi beku, mentega murni dari susu sapi, dan air cucian rumput kusa
Dalam lontar-lontar Kusumadewa dan Silakrama dicantumkan bahwa seorang Ekajati (Jero mangku) apalagi seorang Dwijati (Pandita) dilarang untuk: memegang tali sapi, melangkahi tali sapi, menginjak tahi sapi, dan kencing di atas tahi sapi, di samping larangan-larangan dalam Parasara Dharmasastra tersebut di atas.
Sikap kita adalah menjalankan swadarma sebagai pemeluk Hindu yang baik antara lain meyakini kebenaran sastra Agama tersebut.
Untuk kesehatan dan pertumbuhan badan masih banyak sumber protein selain daging sapi yang bisa dimakan. Susu, mentega, dan keju dari sapi boleh diminum-dimakan. Juga masih ada kambing, bebek, ayam dan hewan lainnya.
Bagi mereka yang sudah mewinten (Ekajati) dan yang sudah madiksa (Dwijati) selain daging sapi juga dilarang memakan daging babi, ayam, binatang melata, dan binatang lain yang tidak wajar dimakan dagingnya seperti anjing, kucing, tikus, dll.
Daging yang dimakan mempengaruhi perilaku yang memakannya, misalnya jika memakan daging babi akan menjadi malas seperti babi (tamas); jika makan daging ayam akan suka berkelahi seperti ayam (rajas); jika makan daging anjing akan terjangkit sipilis, dll.
Sesungguhnya menjadi vegetarian bagus, selain mencegah penumpukan kolesterol, juga menurut beberapa akhli kedokteran dikatakan bahwa manusia diciptakan sebagai mahluk yang tidak memakan daging karena susunan gigi dan sistem pencernaan ususnya tidak sesuai.
Yang cocok adalah makan biji-bijian (beras, ketan, injin, tahu, tempe, dll), umbi-umbian (kentang, ubi, wortel, dll), sayur-sayuran, buah-buahan, susu, dan madu.
Apakah kotoran sapi bersifat ‘leteh’?
bila berbicara Sapi menurut weda yaitu Nandini (Lembu Putih), sudah tentu kotorannya tidak bersifat leteh. Lembu dan kotoran lembu disakralkan, seperti yang terdapat di Pura Gunung Raung, Desa Taro, Gianyar; sedangkan kotoran Banteng jelas ‘ngeletehin’ termasuk kotoran binatang lainnya, misalnya ayam, anjing, kucing, dll. Karena itu usahakan memagari Pura walaupun hanya dengan pagar tanaman hidup atau turus.
Beda Lembu dengan Banteng
hendaknya dipisahkan antara LEMBU (sapi menurut weda ) dan BANTENG (sapi bali atau sampi)
Lembu adalah berwarna putih, yang bisa diperah susunya, merupakan/ dipercaya sebagai pelinggihan Ida Bhatara Siwa disebut Lembu Nandhini.
Sedangkan Banteng tidak bisa/ biasa diperah susunya untuk diminum manusia. Lembu banyak ada di India dan di Jawa, sedangkan di Bali adalah banteng.
Ketika Maha Rsi Markandeya datang ke Bali, beliau membawa beberapa Lembu dan sampai sekarang keturunannya dikeramatkan di Pura Gunung Raung, desa Taro, Tegallalang, Gianyar.
Lembu itu ‘mesengker’ di dalam Pura, tidak boleh keluar Pura, dan penduduk setiap hari ngayah memberi makanan rumput.
Bila ada upacara-upacara besar di Besakih dan Batur, lembu suci itu dituntun untuk ‘mapurwa daksina’ di dalam Pura Besakih dan Batur. Lembu itu tidak pernah dipotong.
Banteng yang berwarna hitam atau merah kecoklatan, tidak disakralkan sebagai pelinggihan Bhatara Siwa. Jadi yang digunakan untuk caru, belulangnya untuk wayang, gelungan tupeng, membajak sawah, dagangan, dan lain lain adalah BANTENG, bukan LEMBU.
Karena berwarna merah, sesuai dengan warna Bhatara Brahma, maka dalam pecaruan bayang-bayang banteng ada di Daksina.