Sekilas Evolusi Hindu di India
Pengertian Hindu bagi orang-orang asing yang datang ke wilayah india merujuk pada "orang-orang yang mendiami lembah sungai sindhu, termasuk keyakinan dan budaya yang mereka anut". Istilah "HINDU" pertama kalinya digunakan secara resmi dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja-raja yang memerintah Kerajaan Vijayanagar di India Selatan pada abad ke-15 Masehi. Istilah ini juga digunakan dalam catatan-catatan Raja Achaemenia dari Iran, sehingga semenjak itu istilah "hindu" menjadi umum dipakai oleh pengarang dan sastrawan Islam di India[1][2].
Peradaban lembah sungai Sindhu dibangun oleh penduduk India Kuno yaitu bangsa Dravida sekitar tahun 3.000 - 2.000 Sebelum Masehi[3][4]. Bangsa Dravida telah membangun sebuah peradaban kota dan juga beragama jauh sebelum bangsa Arya memasuki India. Para Ahli menyebut keyakinan tersebut dengan: Agama Bangsa Dravida (Dravidian Religion)[5], Agama Pribumi India (Aboriginal Religion)[6], Agama Asli India (Indegenius Religion) atau Agama Lembah Sungai Sindhu (Indus Religion)[7]. Agama Pribumi ini memegang peranan penting dalam perkembangan WEDA yang dibawa oleh bangsa Arya kemudian.
Kedatangan Bangsa Arya-lah yang membawa ajaran Weda ke India[8]. Ajaran Weda didasarkan sastra-sastra resmi yang sangat banyak jumlah dan jenisnya. Keseluruhan sastra itulah yang disebut Weda (pengetahuan)[9]. Sastra Weda tersebut disimpan secara rahasia dalam tradisi perguruan (parampara) dan dikomentari serta diinterpretasikan oleh para Maharsi. Hanya Merekalah yang memiliki otoritas untuk melakukan penafsiran[10].
Ajaran Weda dibangun dengan penerimaan bahwa setiap manusia memiliki Hak dan Kewajiban menurut "WARNA"[11]. Disamping itu, dalam ajaran Weda memandang penting sebuah pelaksanaan Yadnya (korban suci), pengucapan Mantra Weda, dan kepercayaan mengenai kehidupan serta kematian[12].
Seiring perjalanan waktu, tradisi Weda ini semakin memudar. Sebagian besar Ajaran Weda tentang Pemujaan dan praktek ritual keagamaan telah diganti dan diubah dengan wujud yang lebih modern[13]. Campur tangan pemikiran "yang lebih rasional" telah mewarnai perkalanannya[14]. Agama Weda digantikan oleh Agama Brahmana (Brahmanical Religion) yang berlangsung dalam kurun waktu tertetu, yang nantinya digantikan oleh Agama Purana (Puranic Religion). Hal ini menandai evolusi agama Hindu di India yang telah memasuki zaman Purana[15].
Dalam perjalanan sejarah berikutnya, terjadilah pembaharuan lagi, yang berawal dari munculnya mazhab atau sekte yang cukup banyak ragam dan jumlahnya. Bersamaan dengan itu, lahirlah ajaran Buddha yang memiliki pengaruh cukup kuat di India. Demikian kuatnya pengaruh Buddha yang tidak mengakui otoritas Weda, mendorong Sankaracharya melakukan pembaharuan besar dalam Agama Hindu di India. Oleh karena itu, jaman tersebut disebut Zaman Sankaracharya atau zaman Reformasi[16].
Zaman berikutnya ditandai dengan penjajahan Sultan-sultan beragama Islam ke India periode abad ke-12 hingga abad ke-19 masehi. Sultan Aurangzeb pernah ingin menjadikan India sebagai negara Islam. Hal ini yang menyebabkan ide-ide dan pemikiran-pemikiran Islam turut mempengaruhi pemimpin-pemimpin agama Hindu di masa itu. Inilah yang menimbulkan lahirnya Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) di kalangan umat hindu India. Gerakan ini terutama dipelopori oleh kelompok Waishnawa. Saat itu disebut sebagai zaman Gerakan Bhakti (Bhakti Movement)[17].
Setelah Penjajah Inggris menduduki India, Orang-orang inggris juga mendatangkan para misionaris-misionarisnya untuk mengkristenkan India. Hal ini menggugah para sarjana Hindu yang mendapatkan pendidikan di luar negeri untuk mengadakan suatu gerakan demi mempertahankan Hindu di India. Tujuannya untuk membangun agama Hindu yang berwajah baru dan modern. Jalannya dengan menggabungkan ajaran Hindu dengan ajaran Islam dan Kristen yang dipandang baik dan cocok dengan nilai-nilai modern. Gerakan ini disebut Gerakan Hindu Modern (Neo Hinduism)[18][19. Gerakan ini terus berlanjut hingga munculnya ajaran-ajaran yang mengatasnamakan Agama Universal (Universal Religion)[20]. Agama Universal ini merangkul semua pemeluk agama, dimana kedudukan Maharsi (pemimpin Agama) digantikan oleh seorang Baba atau Swami yang beragama Hindu.
Bumi pertiwi India (Bharatawarsa) melahirkan dan mewarisi tradisi intelektual dan spiritual yang luar biasa hingga saat ini. Di anak benua inilah agama-agama besar lahir seperti, Hindu, Buddha, Jaina, dan Sikh. Para penganutnya hidup berdampingan dalam suasana alam yang bersahabat dan suasana kehidupan yang dikembangkan di atas nilai-nilai perdamaian, cinta kasih, dan pengakuan terhadap kebhinekaan.
Peradabab lembah sungai Sindhu pada zaman pra-Weda merupakan cikal bakal perkembangan agama Hindu di India. Kemudian, peradaban ini bersintesa dengan agama Weda yang dibawa bangsa Arya ke India jauh sebelum Masehi. Pemuaan kepada dewi atau Shakti, prototype dewa Shiwa, Pasupai, dan Mahaogi merupakan cikal bakal berkembangnya agama Shiwa kemudian. Pemujaan kepada Shiwa dala wujud Rudra tercantum dalam kitab suci Weda dalam bagian Satarudriya.
Setelah masuknya bangsa Arya, India memasuki zaman Weda. Sejak itu terjadi proses evolusi berpikir pada tataran metafisika, etika, dan agama Weda (vedic religion). Agama Weda terus berkembang menjadi fase-fase dengan cirri dan karakter yang khas sebagai jawaban intelektual dan spritualitas para Maharsi India Kuno seturut dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Para Maharshi mengabdikan seluruh hidupnya untuk memahami ajaran Weda dan menguak tabir misteri alam semesta, membantu manusia-manusia lepas dari penderitaan (duhkha) dan mendapatkan pembebasan dari belenggu duniawi (moksa). Sejarah evolusi agama Hindu di India, sejak awal hingga sekarang mengimplikasikan peranan para intelektual India (rshi) sangat besar dan strategis dalam membangun peradabab spiritual India. Peradabab agama Hindu sejak awal dikembangkan berdasarkan nilai-nilai intelektual dan kesucian, cinta kasih, dan perdamaian.
Tiap-iap fase perkembangan tersebut membawa implikasi yang besar terhadap kehidupan agama, social, dan kebudayaan India sehingga wajah dan praktik agama Hindu pada fase-fase tersebut nampak.
Pengetahuan sejarah tentang Evolusi Agama Hindu penting untuk memahami agama hindu secara utuh dan komprehensif. Ini didasari asumsi bahwa satu agama tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarahnya. Oleh karena itu, pengetahuan sejarah, kebudayaan, sosial, politik, ekonomi, kesenian dan kesusastraan India mutlak diperlukan untuk memahami agama hindu secara holistik dan integral.
Tujuan mempelajari Sejarah ini
adalah agar umat Hindu dapat menemukan identitas kehinduannya. Identitas ini penting karena agama hindu terdiri atas ratusan mazab yang memiliki sistem ajaran dan praktek sendiri-sendiri. Walaupun setiap masab tersebut mengakui Weda Sruti sebagai otoritas tertinggi.
Peradaban Lembah Sungai Sindhu
Umumnya, sejarah India kuno dianggap sejarah agama Weda bangsa Arya (Vedic Aryan) saja. Akan tetapi, setelah Sir Jhon Mashall menemukan sejarah di Harappa dan Mohenjodaro pada akhir abad ke-20, semua itu terbantahkan. Penemuan tersebut menunjukan adanya bukti bahwa sebelum kedatangan bangsa Arya, di India sudah ada penduduk yang mempunyai peradaban tinggi. Penduduk tersebut dikenal dengan sebutan suku bangsa Dravida, yang memiliki ciri-ciri: berkulit hitam, berhidung pesek, berambut kriting dan berbadan pendek[21][22][23].
Situs harappa dan Mohenjodaro ini terletak di lembah sungai Sindhu, yang sebagian besar wilayahnya sekarang berada di negara Pakistan[24][25]. Bukti-bukti arkeologi di situs ini kemudian disebut peradaban Lembah Sungai Sindhu (Indus Civilization) atau peradaban Harappa (Harappa Civilization). Peradaban ini berlangsung sekitar tahun 3.000SM - 2.000SM[25][26]. Peradaban ini memberikan catatan penting bagi evolusi sejarah Agama Hindu, yang sangat mempengaruhi ajaran Weda, yang datang belakangan bersama bangsa Arya. Penemuan di situs ini, baik alat-alat upacara dan keagamaannya sangat mirip dengan pemakaian ritual dalam ajaran Weda[27]. Untuk menunjukan pengaruh peradaban ini pada ajaran Agama Weda (Vedic Religion), diuraikan dalam ciri-ciri penting Agama Pribumi India[28], diantaranya:
- Pemujaan kepada Dewi Ibu (Mother Goddess).
Pemujaan kepada Dewi Ibu (Mother Goddess) merupakan salah satu ciri yang menonjol di peradaban Lembah Sungai Sindhu[29]. Dewi ini digambarkan sebagai wanita telanjang dengan posisi mengangkang, tengkrap, terlentang dan berdiri. Gambar Dewi ini ditemukan di materai tanah liat (seals), tembikar dan jimat (amulet). Mother Goddess atau kekuatan Shakti merupakan sumber dari semua ciptaan[30][31]. - Pemujaan kepada Purusha (Male God).
Bukti ini ditemukan dalam salah satu Meterai (seal), dengan gambaran berwujud manusia bertanduk dua, memakai ikat kepala dan dikelilingi dengan binatang. Wujud dalam posisi beryoga/meditasi ini diangga prototipe Siwa Yogeswara atau Siwa Mahayogi, sedangkan dikelilingi binatang dianggap prototipe Siwa Pasupati. Artibut penting Siwa Pasupati adalah bermuka tiga (tri mukha) dan bersenjata Trisula[32]. Eksistensi pemujaan Siwa ini diperkuat dengan ditemukan bukti arkeologi sebuah Batu yang menyerupai Lingga[33]. - Pemujaan Lingga (Ithy-Phallicism).
Pemujaan ini merupakan penemuan penting dalam kebudayaan Lembah Sungai Sindhu. Kepercayaan ini dipandang lebih premitif dari pemujaan patung (iconic worship). Pemujaan ini ditandai dengan temuan batu berbentuk phallus (alat kelamin lelaki) yang berbentu krucut (conical) dan silinder (cylinder). Wujud ini masih digunakan umat Hindu sampai sekarang[34]. Penemuan ini mendukung pernyataan bahwa pemujaan kepada Siwa sudah dilakukan dalam peradaban ini[35]. - Pemujaan kepada Pohon dan Binatang.
Ditemukan pula simbol-simbol pemujaan yang menyerupai kepercayaan Animisme dan Dinamisme[36]. Batu, Tumbuhan dan Binatang itu dipercaya sebagai tempat roh halus, yang baik maupun yang buruk[37]. jenis pohon yang ditemukan dalam materai adalah pohon pipal, beringin dan akasia[38]. sedangkan binatang ditandai dengan temuan materai bergambar ular, lembu, harimau, kerbau, badak, gajah dan binatang aneh yang bertanduk satu (unicorn)[39]. ada beberapa penjelasan tentang temuan ini; (a) sebagai bentuk animisme dan dinamisme, (b) sebagai kendaraan dewa tertentu, dan (c) sebagai simbol yang berkaitan dengan dewa tertentu. misalnya Lembu merupakan wahana dewa Siwa, dan Harimau adalah wahana dewi Durga. - Pemujaan Patung atau Arca (Iconism).
Pemujaan ini mungkin tidak dikenal dalam ajaran agama Weda[40]. Bukti arkeologi adanya pemujaan Arca dengan ditemukannya sebuah patung yang menyerupai seorang Yogi, dengan ciri-ciri mata memicing melihat ke ujung hidung[41]. Mungkin ini juga merupakan prototipe pemujaan kepada Siwa seperti halnya temuan pada materai. - Upacara Kurban.
Ditemukannya materai yang bergambar seorang lelaki memegang sabit dan didepannya duduk seorang perempuan dengan posisi menyembah. Hal ini dipandang sebagai Upacara Kurban Manusia untuk meminta kesuburan[42]. Bukti lain yang ditemukan melukiskan: (a) seorang pemuja dengan sikap menyembah, (b) disebelah pemujaannya ada seekor binatang, (c) seorang lelaki membawa sabit, dan dibawah gambar tersebut ada tujuh perempuan berderet. lukisan tersebut dipandang sebagai bukti adanya kurban binatang[43]. Ditemukan juga adanya pengunaan Dipa, denganbukti ditemukannya benda berupa cangkir dengan noda hitam bekas jilatan api dipinggirnya. Selain itu ditemukannya adanya persembahan bunga, daun, buah dan air[42][43]. Adanya tiga sistem upacara kematian yaitu penguburan, penjemuran dan pembakaran mayat yang abu sisa pembakarannya dibuang ke sungai[44]. Upacara ini juga ditemukan dalam ajaran Weda dan masih digunakan hingga saat ini oleh umat Hindu.
Zaman Weda
Peradaban Lembah Sungai Sindhu dilanjutkan oleg orang-orang yang menyebutkan diri mereka sebagai Bangsa Arya. Mereka mentap diantara Lembah Sungai Sindhu dan Sungai Saraswati (doab). Wilayah tersebut sangat subur karena dilalui oleh sungai-sungai besar[45]. Ciri-ciri bangsa Arya adalah berkulit putih, tinggi, berhidung mancung dan sangat atraktif. Secara genetis mirip dengan orang-orang Inggris, Jerman, Iran dan sebagian India[46][47][48]. Bangsa arya dianggap sebagai penyebar ajaran agama Weda (Vedic Religion) di India.
bnyak teori yang menyatakan kedatangan bangsa Arya mendapatkan perlawanan dari bangsa Dravida, dan akhirnya bangsa Dravida berhasil dikalahkan[49]. Akibatnya banyak bangsa Dravida menjadi budak (das) dan lari ke pengunungan. Setelah beberapa waktu, bangsa Arya menyebar ke daerah utara dan timur, yaitu di daerah lembah sungai Gangga dan Yamuna serta menaklukan suku-suku lainnya[50][51].
Sekilas Tentang Weda
Kata "WEDA" berasl dari urat kata "Vid" yang artinya "pengetahuan" atau "memahami"[52]. Weda diyakini bersumber dari wahyu Tuhan yang didengar langsung oleh para Maharsi sehingga disebut SRUTI. Dengan demikian Weda Sruti bukanlah buatan manusia. Pewarisannya atau pengajarannya dilakukan seara lisan (Guruparampara). Weda Sruti ini berjumlah empat yaitu Rig Weda Samhita, Sama Weda Samhita, Yayur Weda Samhita dan Atharwa Weda Samhita. Selain itu ada kitab weda berupa Weda minor (Upaweda) dan badan-badan weda (Wedangga), yang kemudian kelompok ini disebut SMRTI[53][54]. Kitab Weda terdiri atas bagian-bagian sebagai berikut:
- Kitab-kitab Mantra Samhita dari Catur Weda.
berisikan kumpulan nyanyian pujian atau himne yang harus diucapkan untuk memuji kebesaran para dewa, memohon perlindungan serta anugrahnya. - Kitab-kitab Brahmana yang berkaitan dengan setiap Weda Samhita.
berisikan risalah (treatise) yang berhubungan dengan doa-doa dan upacara yadnya/ritual agama (korban suci), dimana tulisannya berbentuk prosa. - Kitab-kitab Aranyaka yang berkaitan dengan setiap Weda Samhita.
berisikan pemujaan, ajaran spiritual, perumpamaan-perumpamaan penting dari tata cara dan upacara keagamaan, serta makna-makna mistis dari kitab samhita. - Kitab-kitab Upanisad atau Wedanta yang berkaitan dengan setiap Weda Samhita.
Wedanta ini merupakan bagian akhir dari Weda[55][56]. Kitab Upanisad berisi filsafat mengenai Brahman (realitas tertinggi), Atman, Punarbhawa (Samsara), asal muasal semesta dan keajaiban semesta.
Kitab-kitab tersebut ditulis dalam bahasa sansekerta[57]. Kitab Tertua adalah Rig Weda. Weda pada mulanya diajarkan secara lisan, sehingga ada kemungkinan tidak tersusun secara sistematis. Baru kemudian pada zaman Maharsi Wyasa bersama empat muridnya, dilakukan kodefikasi Weda sehingga dikenal kodefikasi yang disebut Catur Weda Samhita. Diperkirakan Kodefikasi tersebut dilaksanakan antara tahun 1.500 SM - 1.000 SM. Zaman Weda dibagi menjadi dua periode yaitu Zaman Rig Weda atau Zaman Weda Awal (Early Vedic Period) dan Zaman Akhir Weda (Later Vedic Period)[58].
Zaman Rig Weda (Early Vedic Period)
Kalangan Sejarawan berpendapat bahwa Zaman Rig Weda diperkirakan berlangsung antara tahun 2.000 SM - 1.000 SM[59]. Adapun ciri-ciri jaman ini diantaranya:
- Konsep Ketuhanan Rig Weda
Konsep Ketuhanan yang dianut zaman Rig Weda adalah Henoteisme, Kathenoteisme, Politeisme, Panteisme, Monoteisme dan Monisme[60][61]. Bangsa Arya terdiri atas banyak suku dan setiap suku memiliki Dewa Tertinggi yang dipujanya. Banyaknya Dewa Tertinggi dalam Zaman Rig Weda sering disebut Henoteisme atau Kathenoteisme[62][63]. Dewa-dewa yang dipuja dalam Rig Weda adalah dewa-dewa Prakerti (Nature's God). Jumlah Dewa dalam zaman ini sejumlah 33 Dewa (Tribhir Ekadasai)[64].
Dyaus, Dewa langit (sorga) dan Prthiwi adalah dewi bumi, keduanya ini merupakan Dewa-Dewi Tertua.
Kemudian Kedudukan beliau digantikan oleh Dewa Baruna dan Dewa Indra. Dewa baruna adalah Dewa yang paling mulia, penguasa Alam semesta, kepadanyalah Manusia memohon pengampunan dosa[65] (kita di Bali memiliki tradii melukat/mandi kelaut), Dewa air, Pengukum yang bersalah, Dewa Alam Smesta, Dewa lautan Luas. Dewa Indra, merupakan dewa yang paling banyak dipuja, hampir 1/4 Rig Weda Samhita ditujukan kepada beliau. Dewa Indra dipuja sebagai penguasa hujan, sahabat manusia dan Dewa perang[66].
Juga ada beberapa dewa lainnya tapi tidak begitu diangap penting namun berperan antara lain, dintaranya:- Dewa Agni sebagai dewa perantara antara manusia dengan Tuhan (ingat fungsi pasepan/ agni homa), sebagi Wujud dari Pendeta/dewa pelaksana upakara, Dewa yang memperbaiki kesalahan mantra, dewa Agni sebagai saksi (Di Bali kita ingat fungsi hasep/dupa), dewa yang dapat melihat segala-galanya dengan memiliki banyak muka dengan banyak mata. Sebagai Dewa penolak roh jahat (ingat di Bali kita membikin dapur di dekat pintu pekarangan).
- Dewa Ludra sebagai dewa tumbuhan obat-obatan, dewa pembunuh mahkluk hidup yang bersalah dan Dewa Gunung.
- Dewa Aditya sebagai Dewa Matahari dipuja dengan berbagai wujud, misalnya sebagai Dewa mitra (Dewa yang bersifat dermawan), Dewa Surya (Dewa pemberi sinar), Dewa Sawitri (Dewa pemberi Gairah), Pushan (Dewa pemberi makanan), Wisnu (yang meresap disemua ciptaannya) dan Dewa Sawita, Ashwin dan Usada.
- Dewa Maruti yang disebutkan sebagai Dewa Angin Ribut,
- Dewa Wayu sebagai Dewa Angin,
- Dewa Parjanya sebagai Dewa Awan,
- Dewi Saraswati sebagai dewa Sungai dan dewa Ilmu pengetahuan pada zaman itu.
selain Memuja Dewa, ajaran Reg Weda juga mengharuskan untuk memuja Leluhur[67]. Leluhur memiliki kedudukan tersendiri di alam para Dewa[68]. walaupun secara umum Reg Weda dipandang sebagai Pantaisme, namun sloka terakhir dari Kitab ini mengarah ke Monoteisme bahkan ke Monisme[69]. Konsep Ketuhanan ini menjadi ciri penting dalam ajaran Rig Weda bahwa zaman itu telah meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapu juga percaya kepada banyak dewa dengan segala manifestasiNya[70].
- Ritual
Upacara SOMA merupakan pusat dari ritual ajaran Reg Weda. Soma merupakan persembahan minuman yang dapat menyenangkan hati (memabukkan)[71]. Selain itu, terdapat juga persembahan binatang yang disucikan, seperti Sapi[72][73][74][75], kambing, kerbau, binatang buruan, ular dan burung[76]. Sapi selain disucikan, juga dijadikan sebagai kurban suci[77][78][79][80]. Sloka mengenai kurban binatang termuat dalam Rig Weda I.162.21-22, yang diucapkan oleh pendeta sebelum ritual kurban binatang dilaksanakan.Mantra tersebut bertujuan untuk mendoakan roh binatang mencapai surga[81], mebebaskan dosa-dosanya sehingga dapat punarbhawa menjadi yang lebih baik[82], dan untuk membebaskan pelaksana yadnya dari dosa-dosanya.
Pada zaman veda ini ada berbagai macam yadnya besar yang dilakukan diluar rumah atau ditempat umum disebutkan dalam kitab Rig veda jenis upakara kurban itu antara lain:- Ashwanedha yadnya yaitu suatu persembahan binatang kuda termasuk persembahan manusia, ini sutu persembahan yang sangat utama. Dipersembahkan dengan cara disemblih atau dilepaskan, disebutkan upakara yang utama membutuhkan 609 jenis binatang baik binatang yang hidupnya di air, darat dan udara. Upakara seperti ini hanya boleh dilakukan oleh pejabat tinggi pemerintahan, kaum bangsawan/raja yang dilakukan selama kurun waktu satu tahun. Pada pelaksanaanya binatang kuda dihias dengan berbagai pernak-pernik yang mewah dan mahal kemudian binatang kuda itu dilepas bebas selama satu tahun namun diikuti oleh Putra Mahkota dan para prajurit kerajaan yang terlatih yang bertujuan memperluas wilayah jajahannya. Apabila kuda tersebut melewati wilayah lain tanpa mendapatkan perlawanan dari pemilik wilayah tersebut yang berarti wilayah baru yang dilaluinya menjadi miliknya. Setelah pelaksanaan upakara ini selesai maka kuda tersebut dipersembahkan dan disemblih.
- Agni Dheya yaitu: upakara persembahan pendahuluan sebelum mempersembahkan upakara yang lainnya, dini ditafsirkan sebagai caru berupa binatang.
- Raja Suya yadnya yaitu suatu persembahan untuk penobatan sebagai seorang raja dengan melakukan kurban binatang.
- Waja Peya Yadnya yaitu Kurban binatang untuk acara penobatan pendeta/orang yang disucikan pada saat itu.
- Sarwa Nedha Yadnya yaitu persembahan berbagai jenis binatang untuk kesuburan/mendapatkan berkah; dan yadnya kurban lainnya.
Mengenai Ritual kematian tersurat dalam Rig Weda X.15.14. Ritual kematian ada dua yakni dengan jalan dibakar (agni dagdha) dan dikubur (Anagni dagdha). Pemujaan kepada leluhur dilakukan agar memperoleh perlindungan, kesehatan, kekayaan dan keturunan[83]. Tidak dianjurkan untuk menyembahyangi patung/arca[84] ataupun membangun kuil, sembahyang dilaksanakan di altar atau tempat terbuka[85].
Zaman Akhir Weda (Later Vedic Period)
Zaman ini berlangsung antara tahun 1.000 SM - 600 SM[85][86]. Petunjuk keagamaan pada zaman ini dapat dijumpai dalam kitab suci Sama Weda, Yayur Weda dan Atharwa Weda termasuk juga kitab-kitab Brahmana, Aranyaka dan Upanisad[87]. Pada zaman ini, penyimpangan konsep catur warna yang berdasarkan profesi dalam Reg Weda berubah menjadi berdasarkan keturunan/warisan[88][89]. Pada zaman ini, mantra Reg Weda sudah dimodifikasi dengan mantra yang lebih baru, yang kemudian disebut Sama Weda[90]. Bangsa Arya sudah mulai menjajah ke wilayah lain, dan untuk mempertahankannya dikukuhkan dengan Yadnya. Kumpulan Ritual Yadnya dan Mantra-mantranya disebut dengan Yayur Weda. Karena Ritual Yadnya di zaman ini sudah semakin berkembang, kedudukan Brahmana sangatlah penting. Pendeta dizaman ini memiliki kekuatan magis, dapat memberikan kekuatan magis, bertugas mengesahkan kedudukan seorang raja, menjadi perantara manusia dan dewa, sebagai penuntun pelaksanaan upacara[91]. Pada zaman ini, untuk mencapai sorga/moksa dilakukan dengan melakukan ritual yadnya, membaca mantra weda, menghaturkan soma dan berbuat baik. Yadnya pada zaman ini sudah disesuaikan pada daerah-daerah setempat.
Zaman Atharwa Weda
Secara tradisi, dari zaman Sathapatha Brahmana hinga zaman Manu Samhita atau zaman Smrti, Kitab Atharwa Weda tidaklah diakui[92]. Kitab Atharwa Weda baru diakui pada zaman kebangkitan Hindu oleh Bangsa Maurya. Itu disebabkan oleh perdana mentri dari Raja Candragupta Maurya, yakni: kautilya atau Chanakya, meyakini dan menggunakan ilmu gaib serta ilmu hitam. Namun sesungguhnya, mantra-mantra Atharwa Weda sudah ada dari zaman Rig Weda[93]. Besar kemungkinan Atharwa Weda merupakan sinkritisme keyakinan agama arya dan dravida[94][95][96].
Atharwa veda yang memuat berbagai hal tentang nilai kemagisan/magic. Suatu kitab yang berisikanmantra-mantra penolak ilmu sihir/ilmu hitam, untuk melindungi orang sakit dan mantra untuk melawan penyakit itu sendiri. Dan juga di kitab Atharwa Veda ini berisikan mengenai upakara pemakaman Jenasah.
Pada saat upakara berlangsungnya upakara yadnya ketiga kitab suci Veda (Rig Veda, Sama Veda dan Yayur Veda) harus dibawa dibaca dan atau dinyanyikan oleh para pendeta(Brahmana) dan semua upakara yadnya mengacu pada petunjuk kitab veda suci Ayur veda. Pada kitab Ayur veda (mandala X) juga disebutkan adanya upacara yang dilakukan harus memakai selempot/selendang senteng (Mekhala) yang dililitkan sekitar pinggang, dan juga memakai destar atau ketu (Ushnisha) yang dipakai di kepala.
Pada zaman Veda ini ada berupa korban binatang dengan tujuan:
- Mengharmoniskan keadaan alam (Rta),
- Untuk mendapatkan kekuatan, kekuasaan, kemenangan,
- untuk memproleh kemakmuran, kesejahteraan, keselamatan, agar tanah subur,
- untuk mendapatkan pengampunan dosa, dan
- untuk mendapatkan sorga.
Pada zaman Veda ini (zaman agama Veda) penganutnya memuja Sinar atau Dewa dari Prakerti (Alam) yang mana sinar ini sebagai manesfestasi dari Brahma(Tuhan). Berasal dari kata Brh yang memiliki arti Tumbuh atau tercipta, dari kata Brhati yang memiliki arti penyebab sesuatu yang tumbuh atau yang tercipta. Orang-orang Arya sangat tertarik dan terpesona akan cahaya yang cemerlang keindahan dan kedahsyatan serta keagungan Prakerti yang kemudian dipuja sebagai Surya (Matahari), Indra (Halilintar) Wahyu (Angin), Agni (api), Pratiwi (bumi) dan lain sebagainya. Menurut suku bangsa Arya saat itu dewa-dewa yang terpenting adalah Dewa Indra dan Dewa Waruna. pada zaman itu orang Arya dan orang asli lembah Sindhu dan orang Dravida menyebut agama mereka berbagai nama, antara lain Agama Waidika, Tantrika dan juga Sanatana Dharma. Namun orang-orang Persia menyebutnya agama Hindu, karena menyebut kata Shindu dengan huruf S nya tidak bisa. Kemudian zaman Purana disebutkan orang Arya di lembah Sungai Sindhu memebri nama agama mereka Agama Purana, mamun ada lain yang menyebut agama Veda. Pada agama Veda diajarkan secara lisan dari mulut kemulut kemudian ditulis dikit demi sedikit. Kitab Veda ini berisikan pengaturan masalah-masalah keagamaan seperti upacara-upacara keagamaan dan ritual-ritual lainnya serta Yadnya yang mana semua ini wajib dilaksanakan oleh setiap orang dari masa di dalam kandungan sampai meninggal.
Di Veda ini disebutkan konsep Catur Ashrama sebagaai sebuah kerangka hidup yang berlaku. Serta di veda tersebut disebutkan kedudukan dan pelaksanaan Yajna, juga disebut pengucapan dan pembacaan sloka-sloka suci veda yang menemani hidup sampai mati adalah konsep penting menurut Veda, namun di India konsep ini sudah mulai punah bahkan di Bali seperti kita lihat sendiri nyaris punah karena masyarakat lebih cendrung mencari jalan pintas agar lebih efficient karena berharganya waktu dan kesempatan untuk berkarya memenuhi kebutuhan hidup yang lebih modern sesuai tuntutan zaman yang ada. Jadi Hindu yang berkembang sekarang ini sudah perpaduan antara Suku bangsa Arya, suku bangsa Dravida yang hidup di lembah Sungai Shindu dan combinasi dari evolusinya termasuk budaya dari suku bangsa-bangsa lainnya yang contak langsung dengan perkembangan Hindu sampai saat ini.
Zaman Kejayaan Agama Hindu ±1000 SM-600 SM
Periode Brahmana
Pada zaman ini merupakan zaman perluasan dan tersebarnya agama Brahmana (Brahmanaism atau Brahmanical Religion) dan kebudayaan Brahmana itu sendiri. Kehidupan masyarakat India pada saat ini cukup sejahtera dengan ekonomi yang kuat. Perdagangan dengan negara lainnya berkembang dengan sangat pesat. Pada zaman ini masyarakat sudah mulai memakai peralatan dari besi. Dan pada zam,an ini pula terjadi pembagian warna dalam arti Kasta. Dan tanah-tanah sudah dimiliki oleh kaum bangsawan.
Kegiatan upakara yang berupa yadnya dari sederhana, meningkat terus, pada acara-acara tertentu yang sifatnya khusus juga diadakan upacara yang besar dan rumit dan yang sifatnya mewah. Seperti upakara Rajasuya yadnya, Ashwameda yadnya, Wajapeya yadnya, sarwamedha yadnya dan lain sebagainya. Banyak para sejarawan menyebutkan bahwa kurban suci dilengkapi dengan beberapa binantang seperti kuda, kerbau, sapi dan lain sebagainya. Persembahan ini dipimpin oleh pendeta dan bisa berlangsung untuk beberapa hari bahkan bisa berbulan-bulan. Pada zaman ini mulai muncul kekuasaan dari para golongan Pendeta yang mengajarkan adanya beberapa golongan upakara ritual, process pelaksanaan. Para pemuka masyarakat dan para Pendeta di kota dan di desa sering diskusi mengenai upakara, tradisi-tradisi dan procesinya yang berlaku pada zaman itu. Setiap kegiatan upakara dihubungkan dengan arti dan makna mistis. Pada zaman ini ada suatu kitab yang terkenal diberi nama kitab Satapatha Brahmana. Dalam kitab ini ditemukannya pertamakali istilah Panca yadnya dan Tri Rna. Dikitab ini diuraikan dengan terperinci berbagai jenis upakara yadnya yang harus dilaksanakan baik oleh keluarga rumah tangga maupun masyarakat umum. Dalam lingkup upakara rumah tangga melingkupi rangkaian kehidupan manusia, mulai dari orang mengandung, melahirkan sampai meninggal. Dan juga upakara yang berhubungan dengan roh orang yang telah meninggal.
Pada zaman ini juga suku bangsa Arya menyebar ada ke daerah utara dan timur India dan pada akhirnya menyebar keseluruh India termasuk daerah India selatan. Mereka menyebarkan kebudayaan dan dan agama Veda, mereka juga mendirikan kerajaan-kerajaan dan mengusai tanah jajahannya. Pada zaman ini orang-orang Arya sudah mengenal system Kasta (Warna). Para kesatriya memiliki kekuasaan atas Negara secara keseluruhan. Dan para Brahmana sangat di hormati sebagai pendeta kerajaan sekaligus sebagai penasehat raja. Dalam zaman ini system kasta sangat ketat dan keras serta kaku, berlaku secara turun temurun. Kitab-kitab Brahmana yang ditulis berbahasa Sangsekerta Klasik mulai menggantikan bahasa Sangsekerta Veda mulai tersebar dimasyarakat India. Agama brahmana ini pun meyakini bahwa surge dan moksa (doktrin iman tentang kelepasan dan bersatunya Atman dengan Brahman) tergantungdan berdasarkan atas kesediaan Yadnya-Kurban (Karma-Kanda).
Periode Aranyaka
Para pendeta yang sudah usia lanjut meninggalkan kediamannya untuk mengasingkan diri ke hutan-hutan. Disana mereka banyak melakukan tapa-brata (Upasana) disamping merenungkan dan memikirkan dunia dan akhirat dengan jalan membaca, mempelajari kembali secara mendalam, dan meneliti kitab suci veda serta kitab-kitab Brahmana lainnya. Dari hasil perenungan, belajar dan kontemplasi ini mereka menemukan bahwa upakara, ritual dan kurban suci bukanlah satu-satunya jalan untuk mencapai “moksartham Jagaddhitaya” kebahagiaan dunia akhirat dan moksa. Sehingga mereka menulis sebuah pengalaman batin hasil tapa-brata mereka tersebut, dan menyimpulkan untuk mendapatkan sorga tidak cukup dengan melakukan yadnya upakara saja. Dan dari sini dikenal betapa penting juga Tapa-Brata-Samadhi atau yang kita kenal Meditasi (Etika dan spiritual) atau Upasana kanda. Maka muncullah suatu kitab baru yang diberi nama Kitab Aranyaka, Sehingga banyak kaum terpelajar mempelajari Kitab Aranyaka dan melakukan Tapa-Brata /meditasi sebagai pengganti upakara, Ritual, dan kurban Yadnya. Begitu yakinnya bahwa hal yang paling sederhana untuk mendapatkan surga dan moksa dengan Tapa-Brata di hutan , sehingga makin banyak orang-orang pergi kehutan, bukan hanya kaum usia tua tetapi beberapa kaum mudapun ikut termasuk para raja dan putra mahkota yang bergelimpahan kemewahan duniawi pergi kehutan untuk melakukan Tapa-Brata/meditasi. Dengan membaca kitab Aranyaka ini, orang-orang memutuskan meninggalkan keramaian kota dan mengasingkan diri. Lambat laun kekacauan muncul baik sosial, politik dan economi sehingga para Brahmana ini membuat suatu aturan yang dikenal dengan nama Catur Ashrama. Agar tidak semua meninggalkan rumah atau kerajaan untuk pergi ke hutan melakukan Tapa-Brata-Samadhi. Lalu konsep Catur Asrama ini mulai tersebar keseluruh India.
Periode Upanisad (± 800 SM-600 SM)
Para Brahmana yang melakukan Tapa-Brata-Shamadi merenung dan mempelajari lebih jauh tentang isi veda dan tentang kehidupan di alam ini, mereka menemukan ilmu tentang keberadaan Brahma, atman, Punarbawa, Samsara dan Moksa (panca Srada). Hasil penemuan ini kemudian dikondifikasikan kedalam kitab yang kita kenal dengan sebutan Upanisad (upa berarti dekat, Ni berarti di bawah, dan sad berarti duduk). Upacara kurban dan ritual mistik mulai berkurang namun ajaran moralaritas atau etika mulai meningkat. Dan kebanyakan orang percaya ini sebagai kendaraan untuk mencapai sorga. Para cendekiawan mulai penasaran melakukan penelitian kembali kitab suci Veda dan mengasilkan kitab-kitab Upanishad (Jnana Kanda) dan memproklamirkan bahwa sebuah kebebasan dari terang akal-budi bahwa ia mengetahui Tuhan, akan mencapai Tuhan dan ia sendiri adalah Tuhan. Ajaran upanisad muncul berbagai penafsiran mendalam dari isi kitab suci catur veda. Sebagian besar kitab upanisad ini membahas hakikat tentang Brahman, Atman, hubungan antara Brahman dan Atman, hakikat maya, widya dan kelepasan. Dalam ajaran ini disebutkan bahwa segala yang ada bersumber dari satu asas sebagai realitas tertinggi (Brahman) Brahman adalah asas pertama dari alam semesta, prinsip tertinggi yang tanpa perubahan, sumber dari segala penciptaan, dan pengendali seluruh hukum alam (Rta). Hakikat Brahman dan Atman tidak berbeda, Brahman adalah asas kosmis, sedangkan Atman adalah asas hidup manusia. Oleh karena akikat Brahman sama dengan Atman maka sifat dari Atman adalah kekal dan abadi (Nitya) dia tidak pernah terlahir atau mati. Akan tetapi karena Atman bersatu dengan tubuh (asas materi) maka seolah-olah mengalami ia mengalami process kelahiran dan kematian berulang-ulang artinya, setelah orang meninggal maka Atma-nya akan berpindah kebadan yang lain, dan seterusnya. Ajaran kelahiran berulang-ulang ini dikenal dengan samsara atau punarbhawa.
Dialam kitab upanisad dijelaskan bahwa setelah orang meninggal maka jiwanya akan pergi ke dunia nenek moyang melalui asap pembakaran. Perjalanan itu terjadi ketika matahari bergerak dari arah selatan ke utara (uttarayana). Didunia nenek moyang itulah perbuatan baik dan buruk dinikmati, setelah itu mereka akan menjelma kembali. Penjelmaan ini akan terjadi berulang-ulang sesui dengan hukum karma, sampai akhirnya Atma bersatu dengan Brahman atau Paramaatman. Keadaan bersatu ini yang disebut dengan Moksa. Jadi pada zaman upanisad ini ditafsirkan secara Jnana Kanda bahwa moksa itu tidak hanya dapat dicapai dengan upakara yadnya, etika, tapa brata, dan meditasi tetapi juga dengan pengetahuan mengenai Brahman (Brahma Widya). Oleh karena itu pada zaman ini tidak lagi hanya berkiblat keluar diri, kealam semesta saja namun mencari Brahman dalam diri sendiri melalui kosentrasi.
Zaman Kemunduran & Kebangkitan Kembali Hindu (± 600SM-300M)
Zaman Kemunduran Agama Hindu (± 600 SM-200 SM)
Pada abad ke-6 sebelum masehi, ajaran agama Brahmana ditandai dengan munculnya penafsiran terhadap kitab suci Catur Veda yang melahirkan kitab-kitab Brahmana, Aranyaka, dan upanizad. Namun demikian, penafsiran ini hanya dilakukan oleh para Rshi yang memiliki otoritas untuk dan berlangsung dalam tradisi perguruan (Guru Parampara) yang kuat dan kepercayaannya yang kuat. Meskipun upanizad berisi pemikiran filosofis dan spekulasi metafisis, tetapi ini merupakan ajaran rahasia yang berlangsung antara guru dan murid. Ini ditegaskan dengan kata “Upanisad” yang berarti “kedudukan dekat dengan guru” untuk menerima ahjaran-ajaran mengenai rahasia ke-Tuhan-an (Brahma rahasyam).
Pada Zaman ini, kitab catur veda dipelajari dan ditafsirkan dengan bebas oleh siapapun. Kebebasan ini menyebabkan timbulnya beberapa ajaran dan aliran yang berbeda-beda. Dan beberpa kalangan tidak mengakui sebagai otoritas veda sebagai kitab suci. Pada zaman itu ditentang oleh aliran Budha, Jaina, Charwaka, Ajiwika, Prawrajika, Nirgata dan lainnya. Mereka menolak otoritas dan kekuasaan kitab suci weda, juga seluruh upakara ritual yang bersumber dari kitab suci weda, sebaliknya mereka mendukung, mengajurkan etika (moralitas), mengagungkan nilai-nilai kehidupan, ahimsa, tapa brata yang keras, dan penebusan dosa dengan jalan yang luarbiasa untuk mencapai moksa. Ditekankan pada ajaran hidup yang tertinggi adalah kebebasan atman dari keterikatan duniawi yang sebagai penyebab penderitaan (dhuka). Hanya dengan mengetahui jalan duka dan mengatasi penyebabnya orang akan mencapai kebebasan dari kelahiran dan kematian yang disebut nirwana. Menentang kebenaran veda, mengutuk adanya korban binatang, menentang upakara ritual, menentang catur warna(kasta) dan menentang kekuasaan para pendeta.
Ajaran ini mampu menarik simpati masyarakat luas di India, karena caranya sangat sederhana. Ajaran Budha menyebar begitu cepat keseluruh India sehingga sebagian besar penduduk yang beragama Hindu (Brahmana) beralih agama ke agama Budha, sehingga orang yang masih taat ajaran Brahmana, hanya kaum bangsawan dan aristokrat yang masih bertahan. Zaman ini merupakan zaman keemasan agama Budha (the Golden age of Budhism) di India. Akibatnya agama di India pecah menjadi dua golongan yaitu golongan Ortodoks/Smarta/Karma Kandi (mereka yang masih menganut agama Brahmana) dan golongan rasionalis (golongan Bhuda, Jaina, dan sebagainya), dengan meluasnya ajaran aliran rasionalis ini maka agama Brahmana mengalami kemunduran yang luar biasa sehingga disebut zaman kemunduran agama Hindu. Hanya orang-orang Hindu yang masih taat saja yang tetap beragama Hindu dan sebagain besar hanya golongan Brahmana, golongan bangsawan dan aristocrat. Pada zaman rasionalis ini, dinyatakan bahwa Nirwana tidak dapat dicapai melalui yadnya, tapa brata ataupun Brahma widya, melainkan hanya dapat dicapai dengan melalui jalan spiritualitas, etika dan perbuatan baik. Aliran rasionalis mennetang kebenaran veda, menentang upakara yadnya yang banyak dan rumit, menentang agama yang bersifat aristocrat, menentang dengan adanya system warna (kasta), menentang penggunaan bahasa Sangsekerta, menentang pembunuhan binatang untuk pelaksanaan upakara yadnya namun menekankan ajaran ahimsa secara ketat serta menentang kekuasaan Brahmana dalam mengatur keperluaan spiritual masyarakat. Dan dari segi politik di zaman ini dipimpin oleh sorang raja beraliran Budha. Agama Budha ditetapkan sebagai agama negara, sehingga para raja-raja yang ada melarang melakukan ritual yadnya yang menggunakan kurban binatang. Pada saat itu dengan rajanya yang kuat yaitu kerajaan Magadha. Dan sampai-sampai kuil-kuil Brahmana diancurkan.
Zaman Kebangkitan Agama Hindu (± 200 SM-300 M)
Hari semakin hari berlalu, kaum Brahmana bangkit, mulai mengadakan pemberontakan melawan pemerintah kerajaan Magadha yang beragama Budha. Dari kalangan Brahmana dipimpin oleh Pushyamitra (Mahajan), dia adalah seorang Brahmana yang menjabat sebagai senapati dikerajaan Magadha. Pusyamitra berasil membunuh raja terakhir dari Dinasty Maurya yang bernama Brihadratha pada tahun 184 SM. Dalam kitab Harshacarita disebutkan bahwa saat raja Brihadratha sedang mengadakan pemeriksaan pasukan dalam sebuah parade, saat itulah ia dibunuh oleh Pushyamitra. Setelah itu Pushyamitra mampu merampas kerajaan Maurya, kemudian mendirikan dinasty Brahmana yang disebut Sungga.
Pada zaman pemerintahan Pusyamitra ini melarang masyarakat mengikuti aliran budha, bahkan pengikutnya tidak segan-segan dibunuh termasuk Bhiksu dan kuil-kuil budha (wihara) diancurkan. Pushyamitra adalah seorang raja Brahmana yang pantang mundur untuk melindungi, mempertahankan dan menyebarkan agama Brahmana. Dia menobrak dan mengancurkan penyebar agama Budha di India. Dia membangkitkan kembali ritual yadnya seperti upakara Aswamedhayadnya, yaitu suatu upakara yang terbesar agama Brahmana. Pada zaman ini masyarakat memuja Dewa Wasudewa disamakan kedudukannya seperti Dewa Wisnu dalam kitab veda. Para penganutnya memuja Lingga, yang merupakan warisan dari pemujaan di lembah Sungai Shindu. Pada zaman veda pemujaan lingga hanya dilakukan oleh orang-orang Dravida namun kemudian meluas pada orang-orang Arya. Ajaran ritual mulai berkembang (Karma kanda) yang bersumber dari kitab suci veda dan juga berdasarkan kitab-kitab Brahmana. Dewa Siwa diakui sebagi Dewa tertinggi yang kedudukannya disamakan dengan Dewa Ludra dalam kitab veda. Namun pada zaman ini bahwa nama-nama dewa yang disebutkan dalam kitab Veda seperti Dewa Indra, Waruna, Agni dan Aswin tidak dianggap sebagai dewa yang terpenting lagi yang digeser kedudukannya oleh umat Hindu di India, namun dewa lainnya yang zaman veda tidak penting seperti Dewa Wisnu, Shiwa dan lain-lainnya mendapat kedudukan cukup penting di zaman Pushyamitra ini.
Pada zaman ini untuk mengindari salah penafsiran kitab suci veda seperti pada zaman upanisad sebelumnya, maka dilarang masyarakat umum mempelajari kitab veda. Sehingga bermunculan penulisan sastra-satra suci oleh kaum Pendeta Brahmana yang disebut dengan nama Pancama Veda, seperti kitab-kitab itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Bhagavad Gita, Shwetaswatara, kitab-kitab purana, dan sebagainya. Kitab pancama veda ini boleh dibaca oleh masyarakat umum dan dikatakan kesuciannya sama dengan kitab suci veda. Pada zaman ini berkembang juga sistem filsafat Hindu yang bersumber dari kitab-kitab Upanisad. Seperti kitab-kitab Sutra yang menjadi sumber ajaran dari filsafat Hindu (Sad Dharsana yaitu Nyayasutra (Nyaya), Waisesika, Samkhya, Yoga(yoga sutra), Mimamsasutra dan Vedanthasutra). Isi dari sistem filsafat ini tentang uraian alam semesta, pencipta dan ciptaan-Nya, dan pertanyaan tentang hidup dan mati secara logis-filosofis.
Para pendeta Brahmana menyusun kembali tentang ajaran ritual yadnya agar mudah ditafsirkan, dengan kalimat-kalimat yang pendek-pendek sehingga disebut kitab Sutra. Seperti kitab kalpasutra yang terdiri dari Srautasutra yang berisikan mengenai upakara umum, Grihyasutra yang berisikan mengenai upakara dirumah tangga, Dharmasutra sulbasutra. Pada zaman ini terjadi pengakuan terhadap semua adat istiadat di daerah. Bahkan hukum sosial sudah dipakai sebagai hukum agama, sehingga siapa yang melanggar adat dianggap melanggar hukum agama. Pada zaman ini Dharmasastra menjadi kitab hukum Hindu yang juga menjadi sumber hukum sosial India pada zaman itu.
Berdasarkan uraian ditas dapat disimpulkan bahwa ciri penting pada zaman kebangkitan agama Hindu atau agama Brahmana ortodoks adalah: Kitab suci Catur Veda tidak boleh dibaca untuk umum, sebagai penggantinya ditulislah kitab-kitab pancama Veda, Itihasa (Ramayana dan Mahabaratha) dan kitab-kitab Purana; Munculnya pemujaan kepada Trimurti (Brahma, Wisnu, Shiwa); munculnya ajaran Sad Dharsana; semua adat-istiadat harus tetap jalan; munculnya perhitungan Yuga. Ajaran Brahmana Ortodoks (Brahmanisme) yang datang ke Indonesia sekitar abad pertama Masehi. Kemudian ajaran ini menyebar luas ke pulau jawa abad ke -5 Masehi, dan akhirnya berkembang ke Bali sampai sekarang, dengan dibuktikan oleh berbagai peninggalan arkeologis dan kesusastraan Hindu di Indonesia.
Zaman Purana
ZAMAN KEMASAN AGAMA DAN KEBUDAYAAN HINDU (±300 Masehi - 700 Masehi)
Pada akhir zaman brahmana (zaman kebangkitan agama hindu), kehormatan agama hindu, yang sempat hilang karena menguatnya pengaruh agama Buddha di india dapat di raih kembali. India kembali di perintah oleh raja-raja beragama hindu dari keturunan dinasti gupta. Perkembangan agama hindu (brahmanisme) pada zaman ini mendapatkan dukungan penuh dari raja dan seluruh apiratur kerajaan (tripathi, 1999 :255). Mereka semua aktif mengembangkan dan mengagungkan agama hindu. Upacara yang dahulu sudah tidak di laksanakan lagi, sekarang di laksanakan kembali dengan tertib dan khidmat (macmillan (ed), 2001 : 72). Dengan diperintahnya kembali India oleh raja-raja yang beragama Hindu maka agama dan kebudayaan Hindu tumbuh subur dan berkembang.
Walaupun demikian, agama dan kebudayaan hindu yang berkembang pada zaman ini merupakan kelanjutan dari zaman brahmán akhir (200 SM – 300M ). Salah satu cirri terpenting dari zaman brahmanan akhir (Revial of hindusim) adalah munculnya mazhab –mazhab dalam agama hindu. Secara teologis. Kemunculan mazab-mazab ini (testic religios) telah menggeser dewa-dewa yang semula di puja dalam kitab suci weda dan digantikan dengan dewa-dewa lain yang diyakini sebagai tuhan oleh mazhab tersebut (mahajan,2002:375;majumdar, 1998:171).
Dari sekian mazhab yang ada, mazhab waishnawa dan mazhab shiwa sangat terkenal pada zaman ini. Mazhab waishnawa mengagungkan dewa wasudewa yang disamakan dengan Dewa Wishnu dalam weda, sedangkan mazhab shiwa mengagungkan Dewa Shiwa yang disamakan dengan Dewa Rudra dalam weda (thapar,1979:161). Selain itu, juga muncul mazhab besar lainnya, yaitu shakta (pemujaan shakti), ganapatya (pemuja ganesha), dan sora (pemuja surya) (majumdar, 1998:171). Kelima mazhab disebut Panca Sakha atau Panca Upasakha, atau Panca Yatanapuja. Walaupun demikian, tidak ada perbedaan yang tegas antara kelima mazhab tersebut (Panca Sakha) Oleh karena itu lebih tepat disebut sebagai lima bentuk pemujaan kepada ista dewata. Ini penting dipahami untuk membedakan dengan mazhab-mazhab yang lahir pada zaman purana (historical tradition) (thapar, 1979:163).
Dalam hal kesusasteraan Hindu, zaman Brahmána akhir juga di tandai dengan ditulisnya kitab-kitab Pancama Weda. Kitab ini sebagai pengganti kitab suci Catur Weda yang pada masa itu tidak boleh dibaca masyaeakat umum. Ini menyebabkan setiap mazhab menulis dan mengagungkan satu atau beberapa Panca Weda, sebagai kitab yang paling disucikan dalam mazhabnya. Malahan, kesuciannya diyakini sama dengan kitab CaturWeda (mahajan, 2002:566; sulivan, 1998:5). Penulisan kitab-kitab ini terus berlanjut seiring dengan semakin berkembangnya mazhab-mazhab (pancha upasakha ) dalam agama Hindu.
Kesusasteraan Hindu yang penting pada zaman ini adalah kitab-kitab Purana. Secara tradisi, diyakini bahwa kitab Purana di tulis oleh Maharsi Wyasa dan umumnya disebut Pancama Weda (shastri, 1973:v) ada 18 (delapan belas) kitab purana mayor (mahapurana) dan 18 (delapan belas) kitab purana minor seperti misalnya, Shiwa Purana adalah salah satu kitab suci dari mazhab shiwa: brahmanda purana adalah kitab suci dari mazhab shakta : bhagawatam puranam adalah salh satu kitab suci dari mazhab waishnawa, dan lain-lain (mahajan,2002:376;majumbar ,1998:438; mani, 1984:617)
Bermunculannya kitab-kitab purana (Histirical Tradition) seiring dengan tumbuh-suburnya mazhab-mazhab dalam agama hindu sehingga zaman ini disebut zaman purana, zaman ini berlangsung dari tahun 300 masehi hingga 700 masehi (Kundra, 1968 : 187). Adapun agama hindu pada zamn itu disebut agama purana (Puranic religión) (Sharma, 2001 : 101 ; Luninya, 2002 : 190). Berbeda dengan agama Brahmana (Brahmanismeotodiks) yang menitik beratkan pada pelaksanaan upacara yajna dan persembahan kurban binatang, agama purana justru bersifat sektarian. Artinya, pada zaman ini muncul banyak sakte (mazhab) yang secara tegas berbeda antara sekte yang satu dengan sakte yang lain. Setiap sakte ini memiliki kekayakinan dan tata caranya sendiri ; adapun karateristik sebuah mazhab atau sekte, antara lain: memiliki nama Tuhan sendiri; memiliki kitab suci sendiri; memiliki sadhana sendiri; doktrin ajaran sendiri; memiliki ritual pemujaan yang khas; memiliki kosmologi dan kosmogoni sendiri; memiliki ajaran yoga-nya sendiri; memiliki kepercayaan moksa sendiri; dan memiliki sisitem filsafat sendiri (Rejeev, 1990).
Sebagai kelanjutan dari zaman Brahmana akhir, Mazhab Waishnawa dan shiwa juga semakin berkembang pada zaman purana ini. Akan tetapi, ajaran-ajaran dari mazhab waishnawa mengalami banyak perubahan Di bandingkan dengan ajaran awal pada zaman kemunculannya sekitar abad ke kedua sebelum masehi. Perubahan dalam mazhab waishnawa ini terutama karena di pengaruhi oleh agama budha. Ajaran-ajaran yang berasal dari agama budha seperti, ahimsa,vegetarian (Majumdar, 1998 : 431 ; Luniya, 2001 : 196), pemujaan patung, penolakan terhadap sistem kasta, dan pembangun kuil-kuil, pada akhirnya menjadi bagian dari ajaran mazhab waishnawa (Kundra, 1968 : 177; Luniya, 2001: 208). Pada zaman ini juga sapi mulai di sucikan, bahkan di puja terutama oleh penganut waishnawa, sedangkan lembu di sucikan oleh penganut shaiwa.
Perkembangan mazhab bhagawata waishnawa semakin pesat. Ini di tandai dengan munculnya sub-sub sekte yang intinya memuja dewa whisnu. Ajaran mengenai awatara yang muncul dalam kitab-kitab purana mulai di yakini oleh penganutnya (Sharma, 2001 : 101). Akhirnya muncul pemujaan kepada awatara dewa wishnu seperti , rama,khrisna, narasinga,dan lain-lain. Demikian pula pemujaan kepada dewa laksmi, radha,hanuman, dan garuda mulai berkembang dan mengakar dalam masyarakat (Tripathi, 1999:268-269). Mazhab Waishnawa menekankan tiga macam jalan untuk mencapai moksa, yaitu: pertama, melalui karmamarga (perbuatan), kedua, melalui jnanamarga (jalan ilmu pengetahuan) dan ketiga, melalui bhaktimarga (jalan berbakti). Dalam pelaksanaan karmamarga, cara-cara pelaksanaan upacara keagamaan secara tepat dan benar harus di lakukan (Macmillan (ed), 2001 : 78-79; Rajeev, 1990:21). Sebaliknya, mazhab shiwa tetap menjalankan ajaran ritual berdasarkan ajaran kitab-kitab brahmana. Mereka tetap melaksanakan upacara yajna, korban suci binatang, dan hidup non-vegetarian (boleh memakan daging) (Sharma, 2001:68)
Dengan adanya perbedaan ajaran yang mendasarkan dari kedua mazab ini, maka agama hindu pecah untuk kedua kalinya. Mazhab waishnawa disebut golongan rasionalisme atau golongan Jnana kandhi yang menerima kebenaran filsafat, rasio, dan logika. Mazhab ini menentang upacara kurban seperti yang disebutkan dalam kitab suci weda, menolak perbedaan warna,dan kekuasaan pendeta. Golongan rasionalis ini di sebut juga dengan nama golongan Wedantis (Sharma, 2001 : 68). Sebaliknya , mazhab Shiwa disebut golongan ortodoks atau golongan krama-kandi atau golongan mimamsaka atau umumnya disebut golongan tradisi. Mazhab shiwa ini mendasarkan pemikirannya pada pentingnya ritual, serta tetap mempertahankan tradisi seperti yang di ajarkan dalam kitab suci weda dan penjelasannya berdasarkan kitab-kitab brahmana. Mereka tetap mempertahankan dan melaksanakan upacara yajna sebagai dasar ajaran yang terpenting dan umumnya mereka tidak vegetarian (Sharma, 2004 : 68).
Mazhab waishnawa dan shiwa saling bertentangan untuk mempertaruhkan prinsip-prinsip kepercayaan masing-masing. Pada zaman ini pula muncul mazhab lain sebagai penengah yang di sebut mazhab brahmana atau mazhab smarta atau mazhab yang berdasarkan tradisi. Mazhab brhamana-smarta ini muncul pada abad pertama sebelum masehi. Mazhab ini mengajarkan penyembahan pada dewa trimurti, yaitu brahma, wishnu dan rudra ( Majumdar, 1998 : 177 ; Rajeev, 1990:21).
Selain mazhab waishnawa dan shiwa seperti yang tersebut di atas, masih banyak lagi mazhab dan sub-sub mazhab seperti, shiwa shakti,Ardhanareshwari, Harihara, dan lain-lain. Demikian pula, pemujaan ganesha, surya (sora), dan shakti tumbuh dengan pesatnya di kalangan masyarakat (Tripathi, 1999:269; Khanna, 1967 : 132; Rajeev, 1990:22-25). Pada zaman ini juga, mazhab trimurti yang sudah muncul sejak abad pertama sebelum masehi berkembang luas di kalangan masyarakat (Mahajan, 2002:375). Mazhab yang menyembah trimurti (brahma-wishnu-shiwa) ini ikut menyebar ke indonesia bersama dengan mazhab shiwagama dan waishnawagama. Zaman purana ini memang tepat disebut zaman keemasan agama hindu (The Golden Age Of
Hindusm) (Kundra, 1968 : 168). Mengingat agama hindu sudah mulai tersebar ke seluruh India, Bahkan juga tersebar keluar negara india termasuk ke Asia Tenggara dan indonesia, bahkan sejak abad pertama masehi (Kundra, 1968 : 187 ; Luniya, 202:189).
Perkembangan agama Hindu di India dan penyebarannya ke luar india, tiak dapat dilepaskan dari semakin berkembangnya ajaran tantrayana atau tantrisme pada abad ke-5 mashi (Thapara, 1979:16). Kitab-kitab tantrayana yang umum di sebut kitab agama atau kitab tantra. Banyak di tulis pada zaman ini. Kitab tantrayana ini di bagi menjadi dua , yaitu kitab daksinagama dan wamagama. Setiap mazhab dalam Tantrayana memiliki kitab-kitab sendiri, Shiwagama, shaktagama, Waishnawagama, dan lain-lain (Banerjee, 1988:367-468).
Kitab Waishnawagama berisi tentang teologi, atribut-atribut para dewa, mantra, cara mengucapkannya, cara meditasi, dan lain-lain. Hal-hal ini diuraikan secara panjang lebar dalam kitab tersebut. Kitab Waishnawa gama ada dua macam, yakni Pancharatra dan Waikanagama (Gupta, 2000:xv-xviii). Sementara itu,kitab Shiwa gama jumlahnya sebanyak 208 buah. Paling terkenal dari kitab Shiwa gama adalah Pasupata Sutra, Tattwa Sanggraha, Moksa Karika, dan lain-lain. Sedangkan kitab Saktagama berjumlah 64 buah dan yang terpenting adalah Sarada Tilaka, Mantra Maharnawa, dan lain-lain (Rao, 1999:168).
Pada zaman purana ini, mazhab shiwa juga berkembang pesat dan menyebar luas ke seluruh India. Mazhab shiwa pertama kali muncul pada abad pertama sebelum masehi. Pada zaman ini, mazhab shiwa memiliki banyak sub-sekte seperti misalnya, mazhab pasupata, kapalika, kalamuka,linggayat, dan lain-lain (Mahajan, 2002:532-538; Majumdar,1998:432-433). Menurut ajaran mazhab shiwa, moksa hanya dapat dicapai dengan jalan bhakti melalui samskara dan sadhana pancamakara (lima macam persembahan), dengan jalan yoga, dan setelah mendapat anugerah dari shiwa. Ajaran dan filsafat semacam ini disebut filsafat shiwa siddhanta (Law, 2000:1-17). Sementara itu, mazhab shiwa-bhairawa, kalamukha, dan kapalika, melakukan ritual pemujaan dengan persembahan berupa sadhana pancamakrama ( biji-bijian, daging, ikan, dan lain-lain) (Dutt, 1997:xx). Mazhab shiwa umumnya masih mempertahankan ajaran-ajaran upacara kurban sebagaimana diajarkan dalam kitab suci weda dan kitab-kitab brahmana (Thapar, 1979:160).
Tantrayana berpengaruh sangat kuat dalam masyarakat, bahkan mampu mempengaruhi seluruh mazhab yang ada dalam agama hindu (Sharma, 2001:328;nLuniya,2002:204). Tanpa kecuali juga mempengaruhi mazhab shiwa dan mazhab waishnawa, sehingga muncul mazhab shiwatantra atau shiwagama dan waishnawatantra atau waishnawagama. Mazhab tantrayana ini memusatkan pemujaan kepada shakti atau istri dari dewa-dewa. Seperti pemujaan kepada durga, prawati, sakti atau bhairawi sebagai shakti dari dewa shiwa. Demikian juga pemujaan kepada mahalaksmi sebagai shakti dewa wishnu, dan mahasaraswati sebagai shakti dewa brahma. Demikianlah pemujaan kepada shakti (istri dewa ) menjadi ciri penting ajaran tantrayana. Mazhab ini muncul dan berkembang pesat sekitar abad ke-5 masehi, tetapi bibit-bibit ajarannya sudah dapat di rujuk dalam agama dravida atau lembah sungai sindhu (Gupta, 2000: xviii-xix; Sharma, 2001:328).
Munculnya ajaran Tantrayana menjadi ciri penting pada zaman purana ini. Oleh karena itu perlu dijelaskan secara singkat ciri-ciri ajaran tantra. Menurut ajaran tantra, moksa dapat dicapai dengan sadhana(disiplin rohani)mempersembahkan semua pancatattwa, yaitu persembahan biji-bijian ( mudra), daging ( mamsa ), ikan ( matsya), minuman keras (mada), dan simbol-simbol lingga-yoni ( maithuna ) melalui bhakti yogatantra dan dengan mendapatkan anugerah shiwa (Dutt, 1997:81; Mahajan, 2002:668). Selain itu, ajaran tantrayana juga menganjurkan persembahan binatang kurban seperti kerbau, kambing,burung, dan lain-lain. Dalam ajaran tantra juga diajarkan tentang persembahan darah (bali : nyambleh). Pusat perkembangan ajaran tantrayana dan shakta trutama adalah di wilayah assam, india timur.
Apabila diamati lebih jauh bahwa hakikat ajaran tantrayana memiliki keserupaan dengan praktik agama hindu di indonesia. Ini dapat dibenarkan karena agama hindu yang datang ke indonesia sejak abad pertama masehi adalah semua mazhab yang muncul pada zaham purana terutama adalah mazhab shiwagama atau shiwatantra dan waishnawagama atau waishnawatantra. Kedua mazhab ini menekankan ajaran untuk melaksanakan yajna (korban binatang) dan panca tattwa sebagai salah satu sarana dan sadhana mencapai moksa. Lain dari pada itu bahwa agama hindu di indonesi juga mewarisi filsafat shiwa sidhanta yang berkembang di india selatan.
Ciri penting lainnya dari zaman ini adalah munculnya pemujaan pancayatana puja (bali : pengider-ider). Setiap mazhab bahkan memiliki pancayatana puja-nya masing-masing, seperti pancanana, shiwapancha, pancayatana, pancabrahma (shiwa); pancaratra, pancawyuha (waishnawa) pancaboddha,pancatatagatha (Buddha), Dig Palaka (Agama Purana) dan Panca Bedha (Tantra) (Gupta, 2000:xviii-xix; Sharma, 2001:328; Macmillan (ed), 2001 : 194).
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan ciri-ciri penting dalam agama purana (puranic religion) dan kebudayaan india pada zaman ini. Akan tetapi, beberapa ciri ini sudah mulai muncul sejak zaman brahmana akhir (Macmillan (ed), 2001:192-194; Mahajan, 2002:375-377), sebagai berikut
- Munculnya banyak sekte,dan kadangkala saling bertentangan;
- Golongan waishnawa mengambil-alih ajaran budha;
- Berkembangnya ajaran tantrayana;
- Kitab-kitab purana diakui sebagai pancama weda;
- Mulai munculnya tempat- tempat pemujaan (kuil);
- Mulai melakukan pemujaan patung (arcanam);
- Pertentangan antara kelompok vegetariandan non-vegetarian;
- Catur warna semakin kuat di pahami sebagai warisan atau keturunan;
- Munculnya kasta pariah di India;
- Ajaran catur asrama mulai dilaksanakan secara disiplin;
- Upacara-upacara besar dilaksanakan;
- Munculnya perhitungan tentang zaman (yuga);
- Munculnya pemujaan kepada awatara wishnu (termasuk buddha);
- Pemujaan dewa-dewa sebanyak 33.000.000 (33 lakh);
- Muncul perayaan hari raya agama hindu;
- Pemujaan pancayatana;
- Pendeta mendapatkan kedudukan penting;
- Hukum adat disamakan dengan hukum agama (Mahajan,2002:362-363; , 2002:299-302; tripathi, 1999:269).
ZAMAN REFORMASI HINDU
ZAMAN SANGKARACHARYA (700 M – 1.200 M)
Zaman purana menandai terjadinya evolusi aga Himdu di India, yaitu munculnya berbagai macam mazhab atau sekte. Meskipun demikian agama Purana (Puranic religion) mesih mewarisi konsep-konsep keagamaan dari zaman Brahmana. Keduanya sama-sama menekankan praktik agama yang penuh dengan upakara dan upacara yajna (Majumdar, 1998:455). Agama Brahmana dan agama Purana mementingkan upacara yajna sebagai jalan untuk mencapai moksa. Hal ini diuraikan secara teliti dan mendalam dalam kitab Mimamsasutra (Mahajan, 2002:11-12; Sharma, 2001:226-328). Ajaran yang mengajarkan pentingnya kedudukan yajna (Karma kandha) dalam agama Hindu ini dikembangkan dan diajarkan oleh para rshi pada zaman ini. Dengan pelopor-pelopornya antara lain, Rshi Prabhakaran, Rshi Kumarila Batta, dan masih banyak lagi. Ajaran ini rupanya mendapat sambutan yang luas di kalangan umat Hindu (Luniya, 2002:301). Agama Hindu yang berdasarkan yajna, sebagaimana muncul sejak zaman Weda, Brahmana, dan Purana ini umumnya disebut Hindu ortodoks atau agama Brahmana-Smarta (Kundra, 1968:220). Ajaran inilah yang menjadi agama rakyat India hingga akhir zaman Purana (sekitar 700 Masehi).
Akhir zaman Purana ditandai dengan terjadinya kekacauan di antara umat Hindu, akibat pertentangan yang hebat antara satu mazhab dengan mazhab yang lainnya. Setiap mazhab membenarkan prinsip-prinsip kepercayaan dan ajaran dari mazhab mereka sendiri dan menyalahkan kebenaran dari mazhab yang lain. Hal-hal yang dipertentangkan terutama mengenai ajaran Ahimsa (Mahajan, 2002:375). Di samping itu, juga mengenai upacara yajna, kurban binatang, vegetarian dan non-vegetarian, dan hal-hal prinsip lainnya. Pertentangan itu semakn memanas dan memuncak pada akhir zaman Purana. Selain itu, pertentangan antara pemeluk agama Hindu dan agama Buddha juga terus berlangsung (Kundra, 1968:220-221). Sebagai catatan bahwa meskipun raja-raja yang beragama Buddha sudah dapat dihancurkan oleh golongan Brahmana (Pusyamitra pada tahun 184 SM), tetapi pengaruh ajaran Buddha masih cukup kuat di India.
Pertentangan yeng terjadi pada zaman itu tidak terlepas dari semakin berkembangnya tradisi filsafat di India (darsana). Salah satu system filsafat yang penting pada zaman ini adalah Mimamsa. Inti dari filsafat Mimamsa atau Purwamimamsa adalah pengukuhan kesucian Weda bagian Brahmana yang menekankan pada upacara agama (Karma Kandha) (Rajeev, 1990:29). Ajaran filsafat ini bersumber dari kitab Mimamsa yang ditulis oleh Maharsi Jaimini. Kemudian dalam perkembangannya muncullah komentar terhadap Mimamsasutra oleh Sabaraswamin. Komentar ini diterangkan dengan cara berbeda oleh Rshi Kumarila Bhatta dan Rshi Prabhakaran sehingga akan muncul dua aliran (Sects), yaitu aliran pengikut Kumarila Bhatta dan aliran pengikut Prabhakaran. Meskipun demikian kedua aliran ini tidak memiliki perbedaan secara prinsip, kecuali pada ajaran-ajaran yang tidak begitu penting (Chaterjee dan Datta, 1954; Macmillan (ed), 2001:198).
Ajaran Mimamsa mengatakan bahwa satu-satunya jalan untuk mencapai sorga atau moksa adalah upacara yajna (Karma Kandha) dan persembahan kurban. Rshi Kumarila Bhatta (750 M) menyebarluaskan ajaran ini dan berusaha mempengaruhi Raja-raja Dinasti Gupta untuk membangkitkan upacara-upacara yajna yang ada di dalam Weda. Propaganda ini berhasil dilakukan sehingga Raja-raja Dinasti Gupta sudah melaksanakan upacara Aswamedhayajna lebih dari dua kali selama masa pemerintahannya (Kundra, 1968; Majumdar, 1998; Mahajan, 2002). Dengan berkembangnya filsafat Mimamsa ini maka pelaksanaan agama Hindu di India diwarnai dengan berbagai upacara yajna dank urban suci. Malahan, upacara-upacara besar kembali dilaksanakan terutama oleh raja-raja pada zaman itu. Pada masa ini, ritualisme menjadi agama nasional (Rajeev, 1990:29).
Hampir bersamaan dengan zaman ini, muncul aliran filsafat lain yang disebut Uttaramimamsa atau Wedanta. Berbeda dengan Mimamsa (Purwamimamsa), Sistem filsafat ini mendasarkan ajarannya pada kitab Upanisad. Filsafat Wedanta secara sistematis disusun dalam kitab Wedantasutra yang ditulis oleh Maharsi Badarayana. Dalam perkembangannya, kitab Wedantasutra ini mendapatkan komentar dari beberapa ahli yang kemudian menjadi pemimpin atau tokoh aliran Wedanta. Tokoh-tokoh itu antara lain, Sangkaracharya, Ramanuja, Madhwa, Wallabha, Nimbarka, dan banyak lagi yang lainnya. Semua tokoh ini memiliki cara pandang masing-masing sehingga aliran yang dilahirkan juga memiliki perbedaan-perbedaan yang sangat prinsipil (Chaterjee dan Datta 1954).
Kehadiran golongan Wedantis telah menyebabkan pembaharuan besar dalam keagamaan Hindu (Reformation of Hinduism) di India pada zaman itu (Rajeev, 1990:29). Golongan ini membuat gerakan untuk mensistematisasikan ajaran agama Hindu, secara rasional dan radikal. Dengan demikian kitab suci menjadi lebih mudah dipahami dan dapat diterima oleh msyarakat umum. Salah satu pelopor gerakan ini adalah seorang Brahmana asal Keladi Kerala, India Selatan yang bernama Sangkaracharya (788 M – 820 M). Dia memiliki kecerdasan yang luar biasa dalam biadang ajaran Shiwa Paksa. Sangkaracharya juga orang yang pintar dalam berdebat tentang filsafat dan ajaran-ajaran weda. Malahan, diyakini bahwa Sangkaracharya sudah berhasil menguasai ajaran Catur Weda dan susastra-susastra Hindu lainnya, ketika masih berusia lima tahun. Kecerdasan ini mampu mengalahkan pemimpin-pemimpin suatu aliran dalm diskusi-diskusi spiritual. Ini menyebabkan Sangkaracharya memiliki pengikut yang luar biasa di India pada zaman itu (Kundra, 1968:221).
Sangkaracharya juga berhasil memenangkan perdebatan dengan Bhiksu-bhisu Buddha. Melalui penjelasan tentang agama Hindu yang lebih sederhana, rasional, dan filosofis, Sangkaracharya berhasil melenyapkan agama Buddha di India (Thapar, 1979:185). Sangkaracharya menjadi pelopor berdirinya aliran filsafat Adwaita atau monisme-absolut. Dia juga menentang system-sistem, ajaran-ajaran, dan filsafat ritual dan upacara yajna yang dilakukan oleh umat Hindu (Rajeev, 1990:29). Kemudian menggantikannya dengan ajaran Wedanta. Sangkaracharya juga, menentang Rshi Kumarila Bhatta dan Prabhakara yang mengajarkan ritual dan korban yajna (Karma Kandha). Sangkaracharya juga berhasil menghilangkan semua upacara yajna yang memakai Pancatattwa seperti yang dilakukan mazhab Tantrayana, yajna yang dilakukan oleh golongan Brahmana-Smarta untuk pemujaan pada Dewa Shiwa, Dewi Shakti (Durga), dan lain-lain (Sharma, 2001:328; Rajeev, 1990:29). Pancatattwa adalah lima macam unsur persembahan yang terdiri atas:Mada (arak berem), Matsya (Ikan), Mamsa (daging), Mudra (Biji-bijian dan buah-buahan), dan Maithuna (Mahajan, 2002:668) (Simbol Shiwa-Shakti, di Bali digantikan dengan porosan).
Dengan semakin berkembangnya ajaran Sangkaracharya maka pada zaman ini agama Hindu mengalami perpecahan untuk ketiga kalinya. Agama Hindu pecah menjadi dua golonga besar (Thapar, 1979:261), sebagai berikut.
- Golongan Wedanta (Waidika-Dharma) yang dipimpin oleh Sangkaracharya dari mazhab Shaiwa dan Ramanuja dari mazhab Waishnawa. Golongan ini mendasarkan ajarannya kepada kitab Brahmasutra, Bhagawadgita, dan Upanisad (Wedanta). Ketiga kitab ini disebut Prasthanatraya (Klostermaier, 1988:107; Macmillan(ed), 2001:196). Golongan ini disebut juga golongan rasionalis (Wedantis).
- Golongan Tantrayana (Tantrika-Dharma) Atau golongan ritual yang dipimpin oleh Rsi Prabhakara, Rsi Madhana Misra, Rsi Kumarila Bhatta dari Mazhab Shiwa tantra dan Waishnawa tantra. Golongan mendasarkan ajarannya pada upacara atau ritual yang filosofisnya diambil dari kitab-kitab Brahmana, Mimamsasutra, dan kitab-kitab Tantra (Agama). Ajaran ini digunakan sebagai alat untuk melawan penganut agama Buddha dan juga untuk menghadapi golongan penganut ajaran Wedanta (Waidika-Dharma) atau golongan Wedantis (Kundra, 1968:220; Klostermaier, 1998:107). Golongan ini juga sering disebut golongan Hindu Ortodoks (Brahmanisme).
Sejak zaman ini terjadilah pertentangan yang hebat antara golongan Wedanta (Waidika-Dharma) dengan golongan Tantrayana (Tantrika-Dharma), bahkan sampai sekarang. Namun demikian gerakan yang dilakukan oleh Sangkaracharya dan pengikut Wedantis lainnya, tampak begitu gencar untuk mereformasi agama Hindu. Ini menyebabkan ajaran Wedanta tampak begitu menonjol pada zaman ini sehingga para ahli sejarah menyebut zaman ini sebagai zaman Reformasi Hindu atau zaman Sangkaracharya (Kundra, 1968; Majumdar, 1998; Mahajan, 2001).
Mula-mula, gerakan reformasi yang dilakukan Sangkaracharya adalah menentang ajaran agama Buddha. Sangkaracharya mengalahkan para pemimpin dan penganut agama Buddha melalui perdebatan filsafat. Setelah itu, dia menarik kembali para pengikut agam Buddha tersebut untuk kembali ke agama Hindu. Sejak saat itu agama Buddha perlahan-lahan lenyap dari tanah kelahirannya, India. Sisanya yang kebanyakan adalah penganut agamaBuddha Tantra (Wajrayana) lari menyelamatkan diri ke Tibet (Klostermaier, 1988:107).
Setelah Sangkaracharya mengalahkan agana Buddha maka mulailah ia melawan golongan penganut ajaran Shiwatantra yaitu para pengikut kumarila Bhatta. Sangkaracharya ingin menghilangkan semua sistim ritual dan upacara yajna yang dilakukan oleh mzhab Shiwatantra dan Waishnawatantra, kemudian menggantinya dengan ajran Wedanta, khususnya Adwaita Wedanta. Ajaran filsafat Adwaita Wedanta mengajarkan monisme-absolut. Sistem filsafat ini mengajarkan bahwa hanya ada satu Realitas Tertinggi, yaitu Nirguna-Ishwara atau Brahman. Hanya Nirguna-Ishwara (Brahman) yang nyata (sat), sedangkan yang lain hanyalah ilusi (maya) (Klostermanier, 1988:108; Luniya,2002:337).
Keberhasilan Sangkaracharya mengalahkan pemimpin-pemimpin agama Buddha dan rsi-rsi dari golongan Tantrayana menjadikannya sebagai pemimpin keagamaan yang sangat disegani di India. Selanjutnya, ia mengelompokkan semua mazhab dalam agama Hindu menjadi lima kelompok (Panca Paksa) yang disebut Pancopasana. Adapun lima macam keyakinan (Pancopasana ) itu adlah Shaiwa Paksa, Waishnawa Paksa Shakta Paksa, Ganapatya Paksa dan Saura Paksa. Sementara itu, Sangkaracharya sendiri menjadi pemimpin mazhab Shiwa Wedanta. Untuk mengajarkan dan menyebarkan ajaran ini maka ia mendirikan pusat pendidikan (Pitha/Matha) di lima penjuru India. Kelima pusat pendidikan ini adalah Saradha-Pitha di Shringeri, India Selatan; Jyoti-Matha di Badrinath India Utara; Kalika-Pitha di Dwarka, India Barat;Wimala-Pitha di Puri, India Timur; dan Rameswaram di India Selatan. Pitha/Matha ini menjadi pusat unruk mempelajari dan menyebarkan ajaran Shaiwa Wedanta dari India ke seluruh dunia sampai sekarang. Sampai sekarang, Pitha-Pitha tersebut melanjutka garis perguruan Sangkaracharya dan pemimpinnya juga dipanggil Sangkaracharya. Tujuannya untuk meneruskan dan menyebarluaskannya ajaran Shaiwa Adwaita Wedanta (Mahajan, 2001:566; Kundra, 1968:221).
Dalam kurun waktu berikutnya ajaran Adwaita-Wedanta yang diajarkan Sangkaracharya ditentang oleh pemimpin-pemimpin golongan Wedantis (Waishnawa Movement) dari mazhab Waishnawa (Thapar, 1979:217; Macmillan (ed), 2001:198). Penentangan ini dilakukan oleh Ramanuja. Ramanuja diperkirakan hidup pada tahun 1.050 Masehi sampai dengan 1.137 Masehi. Ajaran-ajaran Ramanuja sesungguhnya juga berdasarkan pada ajaran filsafat Wedanta. Akan tetapi, ia adalah golongan Wedantis dari mazhab Waishnawa dan mengajarkan filsafat Wisistadwaita. Ramanuja menentang ajaran-ajaran dari golongan Shiwa dan filsafat Awaita yang diajarkan oleh Sangkaracharya (Luniya, 2002:337). Perbedaan prinsip dari kedua system filsafat ini adalah pendangannya tentang Brahman, jiwa, dan alam semesta. Menurut Ramanuja, alam semesta bersumber dari Brahman dan benar-benar nyata (Luniya, 2002:337), bukan maya seperti pandangan Sangkaracarya. Alam semesta adalah Prakrti yang mengalami perubahan secara nyata (Parinamawada). Sebaliknya, Sangkaracharya meyakini bahwa perubahan itu hanya ilusi atau kelihatannya saja berubah (Wiwartawada), karena Brahman sebagai Realitas Tertinggi tidak pernah berubah (Charterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978).
Kemudian, filsafat Wisistadwaita juga ditentang oleh pemimpin golongan Waishnawa-wedanta lainnya yang bernama Madhwa. Madhwa menyalahkan ajaran monisme Sangkaracarya dengan filsafat Adwaita-nya dan filsafat Wisistadwaita yang didirikan oleh Ramanuja. Madhwa membangun system filsafat dualismenya sendiri yang disebut Dwaita-wedanta, berdasarkan atas kitab Bhagavatam Puranam. Menurut Madhwa, Realitas Tertinggi bukanlah Brahmanyang nirguna (tanpa sifat), tetapi tuhan yang Berpribadi dan memiliki sifat-sifat yang banyak sekali (Saguna). Jnana (pengetahuan tentang sifat-sifat Tuhan) akan menuntun orang menuju bhakti. Melalui Bhakti manusia akan mencapai tujuan akhir, yaitu melihat langsung Maha Wishnu atau Hari yang akan menuntun menuju moksa, kebahagiaan abadi (Chaterjee dan Datta, 1954; Hiriyana, 1978; Luniya, 2002:337).
Filsafat Dwaita-Wedanta ini juga ditentang oleh golongan mazhab Waishnawa-Wedanta lainnya, yaitu Nimbarka. Dia menyalahkan filsafat Dwaita dari Madhwa dan cabang filsafat Wedanta lainnya, serta membangun ajaran filsafat sendiri yang disebut Dwaitadwaita. Nimbarka mengajarkan pentingnya penyerahan diri secara tulus ikhlas (self surrender) dan pemujaan kepada Krishna dan Radha. Menurut ajaran dari mazhab Nimbarka, Krishna adalah Tuhan tertinggi (supreme lord) dari alam semesta (Luniya,2002:337). Akhirnya, Wallabha seorang dari golongan Waishnawa Wedanta tidak mau menerima ajaran filsafat dari Nimbarka dan majaran filsafat yang lain disebut Suddhadwaita (Pure non-Duality). Walabha mengajarkan penebusan dosa, tapa-brata yang sangat keras, meninggalkan keduniawian, dan penyatuan yang sempurna antara Atman dengan Paraatman (Krishna). Di samping itu juga mengajarkan bhakti secara tulus ikhlas kepada Krishna dengan menyerahkan segalanya (badan, pikiran, dan kekayaan) pada Krishna (Rajeev, 1990:31; Luniya, 2002:396).
Dengan demikian terjadilah perbedaan pendapat mengenai prinsip-prinsip filsafat dan perpecahan pun terjadi dalam golongan Waishnawa-Wedanta. Masing-masing golongan ini membangun garis perguruan yang disebut Sampradaya, dan memuja Krishna sebagai Tuhan (Mahajan, 2003:373). Mazhab Waishnawa-Wedanta memiliki empat Sampradaya, yaitu Sampradaya Shri- Waishnawa (mengikuti ajaran filsafat dari Waishnawa Ramanuja), Sampradaya Brahma (mengikuti ajaran filsafat Waishnawa Madhwa), Sampradaya Kumara (mengikuti ajaran filsafat dari Waishnawa Nimbarka) dan Sampradaya Rudra (mengikuti filsafat dari Waishnawa Wallabha) (Klostermaier, 1988:65; Luniya, 2002:300). Walaupun aliran ini menggunakan nama-nama seperti, Brahma, Kumara, dan Rudra, tetapi namanama tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan Shiwa.
Sementara itu, ajaran Tantrayana yang telah begitu kuat mempengaruhi mazhab Waishnawa, Shiwa, dan Buddha, akhirnya juga sedikit terpengaruh oleh ajaranWedanta (Thapar, 1979:261). Mazhab Shaiwa yang kena pengaruh ajaran Tantrayana (Shaiwatantra atau Shaiwagama), juga mendasarkan ajaran filsfatnya pada filsafat Adwaita (monisme-absolut). Dengan persatuan kedua ajaran ini maka muncullah beberapa variasi filsafat Shaiwa Siddhanta, antara lain: Shiwa Siddhata dari Tamil (India Selatan); Shaiwa Siddhanta dari Deccan dan Maysor (disebut Wira Shaiwa); Shaiwa Siddhanta dari Kashmir (India Uttara) (Singh, 1991:xv; Hariharan, 1987:493). Demikian juga dengan Shaiwa-Siddhanta dari Indonesia (Bali) juga menjadi varian dari perkembangan filsafat ini. Semua cabang dari ajaran Shaiwa ini mengakui kesucian kitab suci Weda dan meyakini tidak ada yang lebih tinggi dari Weda. Dari ajaran filsafat Siddhanta ini kemudian, muncullahajaran Shaiwa Bhairawa.
Berdasarkan Uraian di atas maka cirri-ciri terpenting dari zaman Reformasi Hindu atau zaman Sangkaracharya adalah sebagai berikut.
- Munculnya kelompok Wedanta yang mendasarkan diri pada Prasthana Traya (Brahmasutra, Bhagavadgita, dan Upanisad/ Wedanta). Ini merupakan system filsafat Wedanta baru (New System of Vedanta) karena sebelumnya Wedanta hanya mendasarkan diri pada kitab-kitab Upanisad.
- Munculnya perselisihan antara aliran filsafat, baik antara Mimamsa dengan Wedanta, maupun dalam aliran Wedanta itu sendiri.
- Munculnya Sampradaya Waishnawa.
ZAMAN GERAKAN BHAKTI
BHAKTI MOVEMENT (1.200 M – 1.800 M)
Sejak tarikh awal masehi, India sudah dikunjungi oleh orang-orang asing yang beragama non-Hindu. Orang-orang Kristen sudah memasuki India sejak abad pertama masehi dan aktif menyebarkan agamanya. Kemidian, disusul dengan kedatangan orang-orang Islam. Sejak abad ke-8 Masehi, India sudah mulai ramai dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab. Secara bergelombang, mereka masuk dari pantai Malabar wilayah kerajaan Chera (di India Selatan bagian barat). Orang-orang Arab itu mulai bertempat tinggal dan menetap di daerah-daerah pantai India Selatan. Mereka sangat disenangi oleh raja-raja Hindu di India Selatan karena mereka bertingkah laku ramah, baik, dan sopan. Oleh karena itu, banyak pedagang-pedagang dari Arab yang diberikan tanah-tanah kosong untuk tempat mereka berdagang. Selain berdagang, mereka juga diperkenankan untuk menjalankan ibadah agama mereka, yakni Islam. Pada waktu itu, orang-orang Arab tidak aktif menyebarkan agama Islam sehingga mereka hidup aman dan damai dengan penduduk Hindu di sana (Thapar, 1979:172; Luniya, 2002:304).
Berbeda dengan masuknya orang-orang Islam ke India Selatan, orang-orang Islam ternyata juga melakukan penyerangan ke India Barat. Pada tahun 712 M, seorang gubernur Arab Basra (Irak) yang bernama Muhamad Bin Qasim menyerbu daerah Sind di India Barat. Dengan kekuatan 6.000 tentara, 4.000 pasukan unta, dan 100 tentara cadangan, mereka berhasil menaklukkan dan menguasai daerah Sind dan meng-Islam-ka penduduk di sana (Mahajan, 2003:16; Luniya, 2002:305). Kemudian, dari tahun 1.000 M sampai 1.026 M, Sultan Mahmud Gazni dan tentara dari Turkhis (Turki) menyerbu India sebanyak 17 kali. Mereka menghancurkan kuil-kuil, merampas kekayaan kuil, dan menghancurkan kuil Krishna di Mathura dan di Dwarka, Gujarat (Mahajan, 2003:43-50).Selanjutnya, dari tahun 1.175 M – 1.205 M, Muhammad Ghori dari Iran-Afganistan menyerang India dan mendirikan pusat pemerintahan di Delhi (Luniya, 2002:306; Mahaan, 2003:65-85).
Selama pemerintahan sultan-sultan Islam, India mengalami masa paling suram pada masa pemerintahan Sultan Aurangzeb (1.658 M – 1.707 M). Pada masa pemerintahannya, orang-orang Hindu di India dijadikan penduduk nomor dua (secondary citizen) karena dianggap berdosa memberikan kedudukan yang sama antara orang Hindu dengan orang Islam. Untuk itu, Aurangzeb ingin secepat mungkin mengkonversi umat Hindu dan menjadikan India sebagai Negara Islam (Islamic State) (Mahajan, 2003:305). Untuk mempercepat proses peng-Islam-an India, maka Aurangzeb melakukan gerakan politik diskriminatif dan intoleran. Orang-orang Islam dilarang menggunakan nama-nama dan istilah-istilah Hindu; dilarang ikut merayakan hari raya Hindu; umat Hindu dilarang membangun kuil baru (Mahajan, 2003:306-307); kuil-kuil yang baru dihancurkan; memerintahkan menghancurkan kuil-kuil besar seperti, Mathura, Jagatnath, dan diganti dengan Masjid; ribuan kuil Hindu (tahun 1669 M) dihancurkan terutama yang berada di kota-kota suci, sepeti Haridwar, Badrinath, Benares, dan Mathura; ketika melakukan perjalanan kenegaraan (royal tour) maka seluruh kuil yang dilewati harus dihancurkan; umat Hindu harus membayar pajak jika mengunjungi tempat-tempat suci (tirthayatra); anti kaum Brahmana kerena sering melawan sultan; melarang umat Hindu membuang abu jenazah di sungai-sungai besar; orang Islam bebas bayar pajak; orang Hindu juga dibebaskan bayar pajak, jika mau masuk Islam (Mahajan, 2003:166-181; Luniya, 2002:376; Khana, 1976:258). Akibat kebijakan politik Aurangzeb inilah, hamper seluruh kuil kuno di India Utara dihancurkan dan juga sebagian kecil kuil-kuil di India Selatan. Ini menyebabkan kuil-kuil yang ada sekarang di India Utara khususnya, lebih banyak adalah kuil yang baru dibangun belakang.
Penjajahan sultan-sultan Islam di India baru berakhir pada akhir abad ke-19 masehi (Kundra, 1968:189). Dengan dikuasai dan dijajahnya India oleh sultan-sultan Islam hamper enam ratus tahun lebih namanya memerintah dari Delhi (1.200 – 1.857 Masehi), sehingga mengakibatkan perubahan yang signifikan dalam perkembangan agama dan kebudayaan Hindu di India. Banyak orang Hindu yang masuk Islam untuk menghindari pembayaran Jizyah (pajak) yang berat dan agar mendapatkan pekerjaan. Perempuan Hindu juga ikut-ikutan menjalankan system purdah (Jilbab) (Khanna, 1976:309; Luniya, 2002:325; Mahajan, 2003). Budaya ini masih dapat ditemukan sampai sekarang, yakni wanita India yang memakai ujung sari sebagai kerudung (di India Utara). Kemudian juga, mulai terjadi perkawinan usia dini di kalangan masyarakat Hindu. Orang-orang Hindu menggunakan bahasa Hindi, sedangkan orang Islam menggunakan bahasa Urdu dan Parsi. Dalam bidang seni dan arsitektur juga muncul perpaduan (assimilation and synthesis) kebudayaan Hindu-Islam yang disebut Indo-Saracenic atau Indo-Islam (Luniya, 2002:332).
Dalam bidang keagamaan, prinsip-prinsip dan ide-ide dari ajaran Islam begitu kuat mempengaruhi pemimpin-pemimpin Hindu, baik secara langsung maupun tidak. Ide-ide ajaran Islam mendorong tumbunya gerakan liberal dari pemimpin-pemimpin dan orang-orang suci (santa) yang beragama Hindu (Luniya, 2002:329-333). Gerakan keagamaan Hindu terutama adalah munculnya ajaran-ajaran yang sederhana, seperti ajaran tentang monoteisme (percaya kepada satu Tuhan), anti terhadap penyembahan patung, dan semua orang adalah saudara dengan hak-hak yang sama (bahasa bali:Manusa Pada) (Mahajan, 2001:368; Mahajan, 2003:166; Luniya, 2002:327-333). Di samping itu, ajaran-ajaran dan ide-ide dari golongan sifi juga mempengaruhi agama Hindu. Kebanyakan penganut ajaran-ajaran Sufi ini hidup dengan jalan mengasingkan diri, mengabdikan diri, dan mempersiapkan diri mereka untuk merealisasikan Tuhan dengan jalan Samadhi (Kundra, 1968:391; Mahajan, 2001:388; Luniya, 2002:328).
Meskipun demikian, tidak seluruhnya dari ide-ide dan ajaran-ajaran agama Islam diterima oleh pemimpin Hindu. Ajaran yang diterima, utamanya adalah prinsip-prinsip demokrasi dari ajaran Islam yang diterapkan dalam kehidupan social dan system agama Hindu (Mahajan, 2003:184; Luniya, 2002:329). Prinsip penting lainnya adalah ajaran Islam yang sangat sederhana, mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh masyarakat banyak. Hal ini sangat mempengaruhi pemikiran pemimpin Hindu untuk diterapkan dalan agama Hindu. Ciri agama yang demokratis dalam Hindu ditandai dengan munculnya gerakan menentang system kasta dan ajaran mengenai manusa pada (Universal Brotherhood), yaitu manusia sama kedudukannya di hadapan Tuhan. Sementara itu, cirri ajaran agama Hindu yang sederhana dan mudah dilaksanakan adalah percaya satu Tuhan (monoteisme), tidak menyembah patung, dan mengutamakan bhakti sehingga upacara-upacara yajnayang rumit tidak dilakukan lagi (Luniya, 2002:328-334; Mahajan, 2003:184).
Pengaruh islam lainnya adalah ajaran yang dianut oleh golongan Sufi (penganut mistisisme Islam). Golongan Sufi menekankan kepasrahan yang total kepada Tuhan. Penyerahan diri secara tulus ikhlas inilah yang disebut Bhakti. Bhakti yang sesungguhnya adalah kerelaan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ini dilakukan dengan menyebut berulang-ulang nama Tuhan (Whorship of the name) (dzikir) dan tafakur (meditasi). Untuk melakukan ini semua diperlukan tuntunan dari seorang “Satya-Pir” (guru spiritual/the true saint). Sufi adalah ajaran melihat ke dalam diri (self-realization) sehingga ia menolak pengikatan pada dogma agama secara berlebihan (Zaechner, 1994:7-8; Luniya, 2002:329).
Ajaran Sufi ini begitu kuat pengaruhnya terhadap ajaran bhakti (Bhakti cult) yang muncul pada zaman ini. Ini menyebabkan perpecahan dari golongan Waishnawa-wedanta yang melakukan gerakan bhakti. Sejak zaman ini, Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) umumnya dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu: pertama, gerakan yang semata-mata hanya berdasarkan pada ajaran agama Hindu dan social seperti yang dipimpin oleh Ramanuja, Ramananda, Basawa, Nimbarka, Wallabha, Chaitanya, Tulsidas dan lain (Luniya, 2002:334); dan kedua, adalah gerakan yang mendasarkan pada ajaran agama yang terkena pengaruh Islam misalnya, gerakan yang dipimpin oleh Nam Dev, Guru Nanak, Kabir, dan lain-lain (Mahajan, 2001:368; Mahajan, 2003:209). Gerakan Bhakti (bhakti movement) yang muncul pada zaman ini menekankan ajaraan mereka pada keamanan hak dan kedudukan dalam masyarakat (Manusa Pada) dan memegang teguh keyakinan bahwa martabat manusia tergantung pada tindakan mereka, bukan karena kelahirannya (Macmillan (ed), 2001:79: Luniya, 2002:334).
Pada kelompok Waishnawa golongan pertama, prinsip utamanya adalah percaya Tuhan Monoteis yang diterima sebagai Tuhan yang berpribadi, yaitu Wishnu, Hari, atau Krishna. Bhakti mendalam kepada Wishnu, Hari, Rama, atau Krishna (Tuhan) diwujudkan dengan menyebut nama-Nya berulang-ulang (kirtanam). Demikian juga dengan mempersembahkan pikiran, perbuatan, dan kekayaan hanya kepada Tuhan tersebut. Kedudukan seorang Guru, Swami, atau Baba juga sangat penting untuk menggantikan pendeta, sekaligus sebagai penghubung manusia dengan Tuhan. Sebaliknya kelompok Waishnawa yang terkena pengaruh Islam menolak kewajiban beryajna atau kurban persembahan karena dianggap sebagai tradisi agama yang palsu. Mereka juga menentang ajaran thirta yatra karena meyakini bahwa Tuhan dapat dicari dalam diri (Macmillan (ed), 2001396-397; Luniya, 2002:334).
Gerakan Bhakti yang hanya bergerak dalam bidang agama Hindu dan social terutama dilakukan oleh golongan Waishnawa-wedanta. Salah satu pemimpin Waishnawa dan reformasi yang paling terkenal adalah Chaitanya (1.458 – 1.513 masehi). Chaitanya menyebarkan ajaran cinta kasih dari Krishna bersama dua orang muridnya, yaitu Nityananda dan Adwaitananda (Luniya, 2002:338). Ajarannya adalah menyembah Krishna. Bhakti mendalam kepada Krishna diwujudkan dengan menyerahkan badan, pikiran, dan kekayaan secara tulus kepada Krishna. Golongan ini meyakini Bhagawad Gita dan Bhagawatam Puranam sebagai kitab suci. Keadaan moksa (sorga) menurut Chaitanya adalah berada dekat dengan Krishna di alam rohani yang disebut Waikuntha. Sorga ini dapat dicapai hanya melalui bhakti, yaitu menyebut nama Krishna teru-menerus (Kirtanam), serta menyanyikan lagu dan menarikan tarian rohani (Sangkirtan). Setelah meninggal, Chaitanya dipuja sebagi Awatara dari Krishna, sedangkan kedua muridnya dianggap sebagai Angsa-awatara dari Krishna. Ketiganya diakuai sebagai Tritunggal. Chaitanya disebut juga Mahaprabhu, sedangkan guru-guru yang masih hidup dan meneruskan ajaran-ajarannya diberi gelar Goswami, Prabhu atau Acharya. Mereka kedudukan yang tertinggi dalam mazhab chaitanya, bahkan dianggap sedikit lebih rendah dari para Dewa. Mereka dipuja sebagai guru karena diyakini menjadi perantara antara manusia dan Krishna (Mahajan, 2001:396-397).
Gerakan Bhakti juga dilakukan oleh golongan Waishmnawa-Wedanta lainnya yang dipelopori oleh Tulsi Das. Tulasi Das adalah pendiri dari mazhab penyembah Rama (Religion of the Charit Manas). Ia menulis kitab suci untuk mazhabnya yang disebut Ramayana yang disebut Tulsi Das (Ramcharit Manas) (Luniya, 2002:392). Kitab ini menggunakan bahasa Hindi (bahasa nasionalIndia sekarang). Tulsi Das mengajarkan bahwa Rama adalah Tuhan yang tertinggi. Rama adalah Tuhan pencipta alam semesta dan juga memelihara alam semesta ini. Untuk menyelamatkan pengikutnya ia menjelma (awatara) sebagai Rama (Mahajan, 2001:399-400).
Di samping mazhab Waishnawa-Wedanta, kemudian juga muncul mazhab Gaudiya Waishnawa-wedanta. Menurut mazhab ini, Krishna adalah Tuhan Tertinggi. Mazhab ini meyakini bahwa Krishna berwujud Brahma untuk menciptakan alam semesta. Kemudian, Krishna mengajarkan ajaran-ajarannya kepada Narada. Narada mengajarkan kepada Wyasa mengenai kitab suci Catur Weda. Kemudian kitab suci ini diajarkan kepada Rsi Madhwa. Mazhab Gaudiya Waishnawa ini akan dilanjutkan oleh Thakur Bhakti Vinobha yang menghadirkan Gaudiya Waishnawa Mission yang melanjutkan ajaran dari Chaitanya Mahaprabhu. Murid yang terkenal dari Thakur Bhakti Vinobha adalah Swami Bhakti Siddhanta yang juga guru dari Swami Prabhupada Bhaktivedanta. Swami Prabhupada kemudian mendirikan Internasional Society for Krishna Consciousness (ISKCON) (kesadaran masyarakat Krishna internasional) di New York, Amerika Serikat. Mazhab ini menyebar dari Amerika ke seluruh dunia termasuk ke India dan ke Indonesia (Klostermaier, 1998:154-156). Di Indonesia mazhab ini disebut Hare Rama Hare Krishna atau Krishna Balaram, atau kesadaran Krishna.
Sementara itu, Gerakan Bhakti (Bhakti Movement) yang bergerak dalam bidang agama dan sosial yang terkena pengaruh Islam dipelopori oleh Guru Nanak dan Kabir. Guru Nanak (1.469 M) adalah seorang reformis dan pendiri agama Sikh dari mazhab Waishnawa. Ia mengajarkan ajaran Waishnawa yang bebas dari praktek penyembahan patung, bebas dari kasta (caste system), dan bebas dari segala takhayul. Guru Nanak mendirikan agama Sikh yang bertujuan untuk mempersatukan ajaran Islam dengan ajaran Hindu, sekaligus untuk mempersatukan kedua umat beragama itu (Mahajan, 2001:397 – 398; Luniya, 2002:339). Reformasi terkenal lainnya adalah Kabir. Ia mengajarkan ajaran agama berdasarkan cinta kasih dengan tujuan untuk mengembangkan persatuan antara semua kasta dan agama. Ia menentang Praktik penyembahan patung, upacara agama dan yajna (kurban suci), dan menekankan ajaran kesamaan hak di antara manusia (manusapada) (Macmillan (ed), 200: 397-398).
Selain nama-nama yang disebutkan di atas, masih banyak lagi tersapat cabang dari mazhab Waishnawa yang lain seperti, Aaul, Kartha Bhaja, Giri Waishnawa, Radha Ballabhi, Satnamis, Swami Narayana, dan Churadhari. Kelompok Waishnawa mengalami evolusi yang sangat signifikan dalam periode ini (Luniya, 2002:395-396; Tattwananda, tt. 54- 82). Oleh karena itu, zaman ini juga disebut zaman Neo Waishnawa. Tokoh-tokoh Neo Waishnawa yang lain adalah Mirabai, Surdas, Malukdas, dadu Dayal, Sunderdas, Raidas, Birban, Sangkardev, Jnaneshwara, Namdev, Ekanath, Tukaram, Ramdas, Bahina Bai, Chandidas, Vidyapathi (Luniya, 2002:340-401).
Adapun inti ajaran Waishnawa yang menjadi ciri zaman ini secara umum dapat diuraikan sebagai berikut.
- Kitab suci yang digunakan adalah Bhagavad Gita dan Bhagawatam Puranam.
- Semua sekte Waishnawa memuja pir atau Guru (pengganti pendeta).
- Semua pengikut Waishnawa melakukan diksa (Inisiasi) dengan mantra tertentu.
- Anak-anak usia 4 (empat) tahun memakai kalung Tulsi (Kanti) sebanyak 108 biji dan tasbih digunakan untuk mengucapkan mantra-mantra tertentu berkali-kali
- Vegetarian murni (lacto vegetarian, tidak makan daging dan telor)
- Harus memakai Urdhwa Pundra (Bhasma), di bawahnya berbentuk “U” atau “Garpu” (simbol tahta Dewa Wishnu atau Krishna)
- Memakai tatoo berbentuk Sangka atau Cakra.
- Sorganya disebut Waikuntha atau Goloka (tempatnya Krishna).
- Sekte Wallaba harus mengucapkan sumpah, diberi benang suci, dan mantra.
Menurut Madhwa bahwa atman tidak akan pernah bersatu dengan Krishna. Sekali keluar dari tuhan Krishna, atman akan tetap menjadi atman (tat twam dasi, artinya aku adalah pelayanmu).
Pada hari kiamat (pralaya) hanya Krishna yang abadi dan semuanya lebur (Luniya, 2002:323-341). Gerakan Waisnawa memang mendominasikan evolusi agama Hindu di India pada zaman ini. Namun demikian, secara umum dapat disimpulkan beberapa ciri penting ajaran Bhakti Movement, sebagai berikut.
- Percaya kepada Tuhan Yang Esa dan hanya kepadanya orang harus memuja;
- Moksa dicapai melalui bhakti
- Hanya Guru yang sejati yang dapat memberikan tuntunan untuk mencapi moksa;
- Mengutamakan pemujaan kepada Rama (Rama cult) atau Krishna (krishna cult);
- Semua manusia adalah sama (Brotherhood of Mankind);
- Menghilangkan kepercayaan yang membabi-buta (blind faith);
- menentang pelaksanaan upacara yang tidak berguna, ritual, dan persembahan yang bersifat pamer (showy) (Kundra, 1968:394-395).
GERAKAN HINDU MODERN
MODERN HINDU MOVEMENT (1.800 M – 1947 M)
Gerakan 1800M - 1905
Kedatangan orang-orang Inggris yang menaklukkan India dan sejak itu, sekitar tahun 1.754 M – 1.850 M, mengawali zaman penjajahan Inggris di India dari kota Delhi. Inggris menjajah India sampai tahun 1947 (Macmillan (ed), 2001:806). Melalui penjajahan ini, mereka juga membawa dan menyebarkan agama Kristen di India melalui misionaris-misionaris. Di samping itu, mereka juga menyebarkan kebudayaan Barat. Kedatangan misionaris dalam jumlah besar terjadi pada tahun 1813 masehi. Para misionaris ini mendiskreditkan agama Hindu dan berusaha mengkonversi orang-orang Hindu untuk masuk Kristen. Mereka mendirikan sekolah- sekolah, rumah sakit, dan pusat-pusat pelayanan umum lainnya dengan bantuan pemerintah Inggris. Upaya ini berhasil menarik simpati orang Hindu, terutama dari kasta Pariah (lower caste) untuk berpindah agama. Ini menjadi tantangan yang sangat berat bagi agama dan kebudayaan Hindu (Grover, 1998:365-366; Luniya, 2002:433; Sharma, 2002:195 dan 237).
Untuk melawan propaganda Kristen tersebut maka para cendikiawan Hindu yang telah menyelesaikan studinya di luar negeri mulai melakukan reformasi ajaran agama Hindu. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1850 M hingga 1950 M. Golongan cendikiawan dan sarjana-sarjana Hindu ini terutama belajar ke Inggris dan Negara-negara Eropa lainnya. Mereka ingin memberikan pengertian yang benar dan sejati mengenai agama Hindu dengan jalan menafsirkan agama Hindu secara modern. Penafsiran itu berdasarkan atas logika dan rasionalitas; mengajarkan prinsip-prinsip dan dasar-dasar agama Hindu yang praktis dan modern (modernized Hindu religion); sekaligus membangun kehidupan social sesuai dengan zaman modern (Macmillan (ed), 2001:868; Sharma, 2002:272-273).
Gerakan golongan rasional ini muncul secara serentak, terutama di India Timur yang berpusat di Kalkuta. Ini merupakan gerakan yang radikal dengan merombak agama Hindu sedemikian rupa. Mereka juga memasukan ajaran-ajaran yang baik dari agama Kristen, Islam, Buddha, Zoroaster, dan lain-lain menjadi ajaran agama Hindu (Upanisadic thought), sehingga agama Hindu menjadi lebih modern dan maju (Mahajan, 1990:641-643; Rajeev, 1990:36). Kaum rasional ini mengajarkan nilai-nilai universal dari Hindu; mengajarkan Hindu sebagai “way of life” (jalan hidup); menolak dogma-dogma agama dan takhayul; pemikiran yang bebas dan toleran, serta mengedepankan logika dan rasio (jnana kanda).
Periodisasi zaman Gerakan Hindu Modern (Neo Hinduism) (Narang, 1969:87) di India pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua yatu gerakan yang muncul sebelum India mereka (pre Indian Independence) dan gerakan muncul setelah India merdeka (Post Indian Independence). Namun demikian, berdasarkan pokok-pokok ajarannya gerakan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu golongan reformis (pembaharuan Hindu) dan golongan revivalis (kebabgkitan kembali Hindu) (Grover, 1998:382). Pemimpin gerakan reformasi yang terkenal adalah Raja Ram Mohan Roy, Mahatma Gandhi, Dewemdranath Tagore, dan lain-lain. Pemimpin-pemimpin gerakan revivalis adalah Swami Dayananda Saraswai, Ramakrishna Paramahamsa, Swami Wiwekananda, dan lain-lain (Grover, 1998:366; Luniya, 2002:434).
Gerakan Hindu modern dipelopori untuk pertama kali di India oleh Raja Ram Mohan Roy (1.772 M – 1.833 M). Ia mendirikan gerakan bernama Brahmo Samaj (1.828 M). Gerakan yang didirikannya merupakan gerakan perintis dalam pelaksanaan reformasi agama Hindu (Religious reform) (Mahajan, 1994:648; Macmillan (ed), 2001:83; Sharma, 2002:274). Gerakan ini berpandangan bahwa agama Hindu harus direformasi apabila ingin menghadapi penyerangan agresif dari agama-agama lain. Brahmo Samaj juga mengajarkan bahwa Hinduisme adalah “” a way of life” (jalan Hidup), bukan agama dalam pengertian yang sebenarnya. Agama bukanlah suatu sitem yang semata-mata bersifat dogmatis. Brahmo Samaj mendasarkan gerakannya dengan tidak menerima upacara adat agama Hindu. Ajaran ini juga menolak semua pelaksanaan agama Hindu yang tidak logis, tahayul, magis dan lainnya (Sharma, 2002:274) adat istiadat yang kaku yang tidak masuk akal dikalangan umat pendeta yang tidak masuk akal (Narang, 1969:88-89). Mengenai tradisi kuno dan adat istiadat. Brahmo Samaj berpendapat bahwa “menerima dan menjalankan begitu saja adat istiadat dan tradisi kuno merupakan suatu kesalahan besar”. Tradisi itu harus diterima dan dijalankan hanya berdasarkan nilai-nilai social dan spiritual. Demikian pula tradisi kepercayaan agama Hindu harus diuji dan dilaksanakan berdasarkan rasionalisme. Selain itu Brahmo Samaj berpendapat juga mendasarkan ajaran-ajarannya merupakan sistesis dari ajaran-ajaran Wedanta (Upanisad) dengan ajaran islam, Kristen dan pemikiran liberal dari orang-orang eropa modern, serta menentang pemujaan patung (Rajeev, 1990:36; Macmillan (ed) 2001; 868: mahajan, 2001; 512)
Gerakan Brahmo Samaj ini diikuti oleh Dewendranath Tagore (1.817 M-1.905 M) Ia mendirikan aliran (sect) Bharatiya Brahmo Samaj. Ajaran yang dianut aliran ini bersumber dari Wedanta yang bebas dari pemujaan patung. Aliran ini juga, tidak percaya dengan kemanjuran atau mukjizat dari upakara dan Upakara Yadnya. Kemudian, Keshabehand Sen juga mendirikan aliran Sadharana Brahmo Samaj of India. Ajaran aliran ini bersumber pada ajaran Wedanta dan agama Kristen (Mahajan, 2001:871; Sharma, 2002:274) dalam ceramah tersebut disebutkan beberapa hal, antara lain:
- alam semesta adalah Katedral;
- pemujaan kepada Tuhan tertinggi;
- kitab sucinya adalah Weda, Al-quran, Injil, Tripitaka, dan semua kitab suci agama-agama lainnya;
- Moksa dicapai dengan sembahyang dan berdoa;
- pembingbing spiritual yang harus diteladani adalah semua orang suci;
- Tuhan yang patut disembah adalah yang mencintai dan memenuhi keinginan manusia;
- mengaku dirinya sebagai Awatara; dan
- menyuruhpengikutnya untuk menyembah dirinya sebagai Awatara (Rajeev, 1990, Grover, 1994)
Gerakan 1905 M – 1947 M
Pemimpin lain yang terkenal dari golongan revivalis adalah Ramakrishna Paramahamsha (1.836 – 1.866 M). Nama kecilnya adalah Gadahar Chattopadyay.Dia berasal dari keluarga Brahmana di desa kamarmukur, Benggal. Pada usia 20 tahun menjadi Pujari (Sejenis Pemangku) di sebuah kuil. Ramakrishna adalah seorang revivalis yang lahir dalam kalangan tradisi, bukan dari pendidikan modern. Namun, dia mengakui bahwa dalam meditasinya telah berhasil merealisasikan berbagai wujud Tuhan seperti, Krishna, Rama, Yesus, dan lain-lain (Sharma, 2002:284). Ajarannya merupakan campuran dari ajaran Tantrayana, Waishnawa, dan mencampur ajarannya dengan ajaran Buddha, Islam, Kristen, dan agama lainnya (Rajeev, 1990:39). Ia mengajarkan Perealisasian Tuhan melalui ajaran agma masing-masing. Dari sinilah muncul ajaran Sarwa dharma (unity of all religion). Artinya, semua agama sama, hanya jalannya yang berbeda-beda, dengan nama apapun Tuhan dipanggil maka ia akan datang. Dia juga mengajarkan pelayanan kemanusiaan bahwa melayani sesama manusia sama dengan melayani Tuhan (manawa sewa madhawa sewa) (Rajeev, 1990:28-29); Macmillan (ed), 2001:874-875; Sharma, 2002:284).
Penerus dari Ramakrishna Paramahamsa adalah Swami Vivekananda. Lahir dari keluarga Ksatrya dengan nama kecil Narendra. Kehidupannya terbilang cukup singkat karena dia meninggal di usia 39 tahun (1.863 M – 1.902 M). Swami Vivekananda adalah pendiri Wedanta Samaj dan Ramakrishna Mission (1.897 M). Vivekananda mendapatkan pendidikan berbahasa Inggris dan mempelajari berbagai macam aliran filsafat, baik baratmaupun timur. Kecerdasan dan keberanian telah mengantarnya ke konferensi agama-agama (All Word Religious Conference) di Chicago dan berpidato di sana, pada tahun 1.893 M. Pidato ini menjadi rujukan untuk memahami ide-ide Swami Vivekananda tentang agama (Macmillan (ed), 2001:874).
Swami Vivekananda mengajarkan ajaran Neo Hinduisme untuk meninggalkan semua takhayul. Ajaran agama yang harus diikuti adalah ajaran yang rasional (Vedantic Doctrine). Bagi Vivekananda, kepercayaan kepada dogma-dogma agama adalah yang nomor dua, karena pelayanan dan pengabdian kepada sesama lebih utama dari itu (Rajeev, 1990:39; Grover, 1998:389; Sharma, 2002:285). Dia adalah pengikut fanatik ajaran Karma Marga. Menurutnya, setiap orang akan menjadi suci apabila orang mempersembahkan dirinya sendiri kepada Tuhan berdasarkan cinta kasih dan melayani sesamanya dengan penuh kasih sayang. Spiritualitas lebih penting dari upacara agama. Seperti juga gurunya, Vivekenanda meyakini bahwa semua agama (Sarwa Dharma atau The Truth of All Religions) mengajarkan jalan untuk bersatu dengan Tuhan. Untuk mencapai tujuan tertinggi orang tidak perlu beralih agama (Rajeev, 1990:31-32; Macmillan (ed), 2001:875).
Bersamaan dengan berlangsungnya gerakan Hindu Modern di India, rupanya juga terjadi gerakan kebangkitan agama Buddha (Narang, 1969:98). Seperti diketahui bahwa pada sekitar abad ke-14 Masehi, agama Buddha hampir sama sekali lenyap di India. Dr. B. R. Ambedkar (1.891 – 1.956 M), seorang sarjana hukum dari kasta Pariah (di luar catur warna) adalah pelopor pendiri gerakan Neo-Buddhisme di India. Gerakan B.R. Ambedkar ini dimulai dari Maharasta (Grover, 1998:402). Dari sini Ambedkar menyebarkan ajaran- ajaran barunya yang disebut Agama Buddha Baru atau Neo-Buddhisme ke seluruh India. Pada tahon lima piluhan, ia sudah mendapat pengikut lebih dari tiga puluh juta, terutama dari golongan Pariah atau orang-orang yang tidak boleh disentuh (untouchability). Ajaran-ajaran Neo-Buddhisme ini mengambil ajaran-ajarn dari agama Buddha Hinayana (Rajeev, 1990-66; Grover, 1998:402).Meskipun gerakan reformasi ini tampak berkembang pada zaman ini, tetapi sesungguhnya juga muncul penentangan dari kelompok Brahmanisme ortodoks. Salah satunya adalah gerakan Hindu Ortodoks yang dipimpin oleh Raja Radakant Deb yang d
isebut Gerakan Dharma Sabha (Dharma Sabha Movement) pada tahun 1.850 Masehi. Gerakan ini murni dilakukan untuk menentang ajaran agama Hindu dari kelompok reformis dan revivalis (Grover, 1998:384). Berikutnya juga, muncul gerakan Hindu Ortodoks lainnya. Gerakan ini selain menentang ajaran kelompok reformis dan revivalis, juga aktif dalam gerakan politik menentang penjajahan Inggris menjelang India merdeka.
Menurut Prof. Dr. Rao bahwa beberapa dari gerakan reformis (Reform Movement) seperti tersebut di atas, ada yang masih eksis dan berfungsi setelah India merdeka. Akan tetapi, kekuatan, kegiatan, dan tenaganya sudah mulai berkurang, tidak sepeti dahulu ketika dirintis. Kelihatannya semua gerakan itu luluh dalam arus umum dan menjadi kabur stelah diadakan Emergency oleh Partai Kongres yang dipimpin Indiara Gandhi. Setelah iti, mulailah gerakan Hindu Modern mencari daerah-daerah baru di luar India dan di sana orang-orang asing memberikan sokongan yang kuat, baik moral maupun material.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Gerakan Hindu Modern (Neo Hinduisme) muncul untuk melawan Kristenisasi di India dan pengaruh budaya Barat lainnya. Gerakan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gerakan dari golongan reformis dan golongan revivalis (Grover, 1998:381). Terdapat banyak kesurupan dari ajaran kedua golongan ini, tetapi ada ciri penting yang berbeda. Adapun ciri-ciri penting dari gerakan ini (Grover, 1998:382-383) adalah sebagai berikut.
Ciri penting ajaran golongan reformasi:
- Penafsiran terhadap kitab suci Weda secara rasional.
- Hindu sebagai way of life.
- Menolak adat istiadat, dogma, dan takhyul (superstitious beliefe an practics).
- Hindu bersifat toleran dan bebas di interpretasi.
- Penafsiran berdasarkan atas logika atau rasio.
- Menolak Upacara dan Upakara.
- Menolak ajaran thirta yatra.
- Menolak ajaran agama yang tidak logis.
- Menolak ajaran pendeta yang tidak logis.
- Mencampuradukkan ajaran agama-agama (Grover, 1998:384).
- Mengajarkan prinsip-prinsip agama universal (Mahajan, 2001:511; Luniya, 2002:436-437).
Ciri penting ajaran golongan revivalis:
- Hanya Catur Weda yang benar, kitab yang lain (seperti smrti, itihasa, purana) adalah tidak benar (Arya Samaj).
- Populernya gerakan back to veda (kembali ke Weda).
- Weda boleh dibaca siapapun, tanpa memandang kasta.
- Semua orang dari kasta apapun boleh menjadi pendeta.
- Menolak seluruh upacara dan upakara yang tidak logis.
- Munculnya ajaran sarwa dharma, semua agama sama saja.
- Ajaran kemanusiaan universal “melayani sesama manusia sama dengan melayani Tuhan” (Luniya, 2002:434-436).
- Pemurnian ajaran Hindu (purified Hinduism) melalui rasionalitas.
Setelah India merdeka (Post Indian Independence) pada 15 Agustus 1947, gerakan kebangkitan kembali agama Hindu (The Revival of Hinduism) mendapatkan spirit baru. Pada zaman ini muncul gerakan-gerakan teosofis yang luar biasa. Secara etimologis, ‘teosofis” berarti pemahaman tentang misteri-misteri ketuhanan yang diperoleh melalui pemikiran rasional, folosofis, dan mistis. Gerakan teosofi ini ditandai dengan bermunculannya orang-orang suci, swami, baba, dan lain-lain. Mereka mendirikan suatu organisasi, menyebarkan agama Hindu moden dalam wujud baru yang lebih segar dan berpandangan jauh ke depan. Sungguh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh penganut agama Hindu orthodoks (Smartha). Mereka membuat berbagai ashram untuk menyebarkan ajaran dan idenya masing-masing. Mereka mengajarkan agama Hindu berdasarkan tafsiran mereka sendiri. Kemudian mengolahnya dengan pandangan dan pola berpikir Barat, juga menurut pandangan Islam dan Kristen (Narang, 1969:98; Mahajan, 2001:650).
Agama Hindu umumnya tidak memiliki pusat agama (central religius authority). Walaupun telah ada pusat kekuasaan mazhab Shiwa yang didirikan oleh Sangkaracharya, namun keberadaannya ditentang dan tidak diakui oleh mazhab Waishnawa atau mazhab lainnya. Dengan munculnya gerakan Hindu Modern ini, gerakan teosofis seperti mendapatkan angina segar untuk mengembangkan organisasinya. Mereka mulai mendirikan organisasi dan ashram-ashram sebagai pusat studi dan perkembangannya. Organisasi ini menyebarluaskan ajarannya dengan cara-cara modern. Pemikiran agama yang muncul dari ashram-ashram ini adalah kepercayaan dan kebenaran yang ditafsirkan sendiri oleh pendirinya (guru, swami, baba, dan sebagainya). Ajarannya kemudian disebarkan ke seluruh dunia (Klostermaier, 1998:146). Selain itu juga, berdiri Wishwa Hindu Parishad pada tahun 1.964 M. organisasi ini didirikan oleh Rastriya Svayamseva Sangh (RSS) dengan tujuan untuk menghadapi pengaruh agama lain, dan tantangan dari perkembangan sains dan teknologi Barat.
Ajaran-ajaran agama yang muncul setelah India merdeka pada umumnya hanya memakai satu atau beberapa kitab suci saja. Ada yang menggunakan Catur Weda saja ada, ada yang menekankan pada kitab Upanishad dan Wedanta, ada pula yang mendasarkan ajarannya hanya pada kitab Purana dan Itihasa. Hal ini menyebabkan munculnya berpuluh-puluh orang suci, swami, baba, dan lain-lain yang menyatakan bahwa ajaran mereka adalah yang paling benar, sedangkan ajaran yang lain salah (Radakhrisnan, 1984:156). Organisasi keagamaan Hindu yang muncul pada zaman ini, antara lain: Sai Baba, Ananda Marga, Brahma Kumari, Babaji, Radhaswami Satsang, Mataji Shri Nirmala Devi, Shri Shri Ravi Shankar, Swami Dhananjoy Das Kathia Babaji, Mata Amritanandanayi Devi, Sadguru jaggi Vasudev, Bhagawan Rajneesh, Swami Chinmananda, dengan Chinmayananda mission, Babaji Haidakhana, dan lain-lain. Jumlah ashram yang muncul pada zaman itu ratusan jumlahnya dan tersebar ke seluruh dunia. Demikian juga dengan masyarakat kesadaran Kishna didirikan oleh A.C Bhaktiwedanta di New York, Amerika Serikat. Organisasi ini kemudian menyebarkan ke seluruh dunia (Klostermaier, 1998:156).
- Klostermaier (1990:31),
- Chattopadhyaya (1970:2),
- Majumdar (1998:20-21),
- Mahajan (2001:54-94),
- Luniya (2002:25),
- Phillips (1993:1),
- Mahajan (2001:68),
- Griswold (1999:102),
- Kundra (1968:36),
- Majumdar (1998:33-42),
- Klostermaier (1990:5),
- Macmillan (2001:38),
- Kundra (1968:220),
- Klostermaier (1990:32-33),
- Datta (1950:158-181),
- Kundra (1968:187),
- Mahajan (2001:385-408),
- Narang (1969:87-106),
- Rajeev (1990:36-38),
- Rao (1969:87-106),
- Mahajan (1960),
- Majumdar (1998),
- Macmillan (2001:22),
- Majumdar (1998:21-22),
- Mahajan (2001:54-94),
- Majumdar (1998:20-21),
- Kumar (1998:11-12)
- Majumdar (1998:27),
- Macmillan (1978:20-21),
- Mahajan (1960:67-68),
- Kundra (1968),
- Tripathi (1999:21-22),
- Majumdar (1998:25),
- Rajeev (1990:12),
- Mahajan (2001:71),
- Macmillan (2001:21),
- Mahajan (1960:21-23),
- Luniya (2002:31),
- Mahajan (2001:69),
- Luniya (2002:33),
- Mahajan (2001:63),
- Marshall (1931),
- Mackay (1935),
- Luniya (2002:28),
- Chattopadhyaya, Ksetresachandra. 1970. Vedic Religion. Varanasi.
- Griswold, H.D. 1999. The Religion of The Rigveda. New Delhi.
- Klostermaier, Klaus K. 1990. A Survey of Hinduism. New Delhi.
- Kundra, D.N. 1968. A Next Text Book of History of India. New Delhi.
- Luniya, B.N. 2002. Evolution of Indian Culture. Agra
- Macmillan (ed). 2001. An Advanced History of India. New Delhi.
- Mahajan, V.D. 1960. Ancient India. New Delhi.
- Mahajan, V.D. 2001. History of Medieval India. New Delhi.
- Majumdar, Ramesh Chandra. 1998. Ancient India. New Delhi.
- Narang, Kripal Singh. 1969. Hinduism. New Delhi.
- Phillips, Maurice. 1993. The Evolution of Hinduism. New Delhi.
- Rajeev, Rajendra Kumar. 1990. World-Famouse Religions and Sects. New Delhi.
- Rao, S.K. Ramachandra. 1990. Agama Kosha (Agama Encyclopedia Vol.II), Saiva and Sakta Agamas. Banglore.
- Tripathi, Ramashankar. 1999. History of Ancient India. New Delhi.
artikel ini merupakan ringkasan dari buku "Sekilas Sejarah Evolusi Agama Hindu" terbitan PT. Mabhati, Tahun 2010. Penulis buku ini adalah Lulusan S2 (M.A.) di Delhi University, S3 dan S4 (Dr.Litt.) dari Lucknow University (Uttar Paradesh). Beliau adalah Prof., Dr.Litt., Dr. I Gusti Putu Phalgunadi, MA.