GAMABALI | Tradisi Bali dan Budaya Bali

Kitab Bhagawad Gita

Tradisi Bali dan Budaya Bali

Bhagawad Gita

Bhagawadgita (Sanskerta: भगवद् गीता; Bhagavad-gītā) adalah sebuah bagian dari Mahabharata yang termasyhur, dalam bentuk dialog yang dituangkan dalam bentuk syair. Dalam dialog ini, Sri Krishna adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran filsafat vedanta, sedangkan Arjuna menjadi pendengarnya. Secara harfiah, arti Bhagavad-gita adalah "Nyanyian Sri Bhagawan (Bhaga = kehebatan sempurna, van = memiliki, Bhagavan = Yang memiliki kehebatan sempurna yang merupakan citra sang Diri atau Sang Hyang Atma).


Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada "Bhismaparwa". Adegan ini terjadi pada permulaan Baratayuda, atau perang di Kurukshetra. Saat itu Arjuna berdiri di tengah-tengah medan perang Kurukshetra di antara pasukan Korawa dan Pandawa. Arjuna bimbang dan ragu-ragu berperang karena yang akan dilawannya adalah sanak saudara, teman-teman dan guru-gurunya. Lalu Arjuna diberikan pengetahuan sejati mengenai rahasia kehidupan (spiritual) yaitu Bhagawadgita oleh Sri Krishna yang berlaku sebagai sais Arjuna pada saat itu. Kitab Bhagawad Gita diperkirakan masuk ke indonesia khusunya bali pada saat diakuinya agama nusantara menjadi agama hindu. Kitab Bhagawad Gita merupakan kitab filsafat agama.

Kontroversi Bhagawad Gita sebagai Pancamo Weda

Banyak kalangan menyebutkan bahwa Kitab Bhagawad Gita merupakan Kitab Weda ke-lima atau "Pancamo Weda", tetapi masih banyak kontroversi di kalangan penganut gama bali terhadap pandangan tersebut, karena banyak kalangan dibali menganggap kedua kitab (Bhagawad Gita dan Sarasamuscaya) tersebut turunan dari itihasa. Bhagawad Gita dan Sarasamuscaya merupakan sama-sama kumpulan sloka kesimpulan ajaran yang mengacu pada Itihasa Mahabharata, sehingga kurang elok kalau terlalu mengistimewakan salah satu turunan dari kitab itihasasaja.

Banyaknya sloka Kitab Bhagawad Gitajuga meninggalkan tanda tanya di kalangan umat yang kritis. umat yang mencoba mencari korelasi atau persamaan Kitab Bhagawad Gita dengan induknya yaitu Kitab Itihasa Mahabharata Bagian Bisma Parwa, belum ada bisa membuktikan bahwa kesemua sloka Kitab Bhagawad Gita tersebut merupakan asli yang di Bisma parwa. Dengan kata lain,belum ada yang bisa membuktikan bahwa isi Sloka Kitab Bhagawad Gita sama dengan yang tertulis dalam Kitab Bisma Parwa Mahabharata , mungkin karena Bisma Parwa yang lengkap belum beredar atau memang Kitab Bhagawad Gita hanyalah kumpulan sloka yang mengagungkan ajaran Weda yang bercermin dari itihasa Mahabharata ... semua masih menjadi pertanyaan ...

Sejarah Penerjemahan Bahasa Bhagawad Gitai

Dalam beberapa tulisan dikatakan bahwa Kitab Bhagawad Gita pertamakalinya diterjemahkan dimasa Gubernur Jenderal Inggris pertama di India, Warren Hasting (1732-1818), yang kemudian dari hasil terjemahan tersebut Kitab Bhagawad Gita menyebar keseluruh dunia hingga masuk ke indonesia. Warren Hasting sesungguhnya tenggelam dalam keindahan Bhagawad Gita dan dia mengatur terjemahan pertama dari Gita kedalam bahasa Inggris. Dia menulis dalam kata pengantar terjemahan ini (1875) bahwa Gita akan tetap hidup terus setelah matinya dominasi Inggris di India. Warren Hasting meminta para pandit untuk menyiapkan satu ringksan teks dari kode dan hukum Hindu yang berasal dari kitab-kitab kuno itu. Buku ini, aslinya ditulis dalam bahasa Sansekerta, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan pada tahun 1776 dengan nama A Code of Gentoo Law oleh Nathaniel Halhed.

Setelah Warren Hasting, banyak sekali sarjana dari Eropa tertarik dengan kitab-kitab suci Hindu, dan mereka mempelajari bahasa Sansekerta dan menerjemahkan banyak kitab-kitab dalam bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris. Seorang sarjana Jerman, Gundart, pergi ke Kerala dan menulis satu kamus bahasa Malayalam. Jerman adalah satu negara di dunia dimana Indology masih tetap populer. Philsuf seperti Max Muller dan ilmuwan seperti Oppenheimer (bapak bom atom) sangat tertarik dengan agama Hindu setelah mempelajari Indology. Ketika bom atom pertama meledak di gurun pasir Mexico, Oppenheimer yang sangat gembira menyambutnya dengan menyanyikan satu sloka dari Bhagawad Gita.

Isi Pokok Bhagavad Gita

Dalam waktu sekitar satu setengah jam, Sri Krishna mengayunkan posisi negatif ekstrem yang diambil Arjuna pada awal perang ke posisi yang sangat selaras, di mana ia setuju untuk melanjutkan perang.
Dialog historis antara dua insan Manusia utama inilah yang membentuk Gita. Dialog itu memiliki dua tujuan, diantaranya:
    1. Untuk meyakinkan Arjuna tentang perlunya bertarung dan tidak mundur atas permintaan belas kasihan (salah tempat).
    2. Untuk meninggalkan warisan dari khotbah ilahi tentang cara hidup sehingga seseorang tidak dilahirkan kembali untuk hidup.

Berikut ini sekilas isi Bhagawad Gita :




Bhagawad Gita 1(Arjuna-visada-yoga, 47 ayat)


Bab ini dimulai dengan keraguan yang timbul pada diri Arjuna setelah menyadari akibat peperangan yang dapat terjadi dan dinilai bertentangan dengan ajaran agama. Dalam bab ini diuraikan pula gambaran situasi di padang Kuru tempat terjadinya perang saudara. Masalah yang dihadapi oleh Arjuna adalah pertentangan nilai religi yang pada dasarnya agama mengajarkan ajaran ahimsa. Sehubungan dengan itu membunuh guru merupakan dosa besar maha pataka. Ajaran Vairagya sebagai sistem pencapaian tujuan moksa. Timbulnya kemerosotan moral dan musnahnya tradisi leluhur sebagai ekses terjadinya peperangan dan timbulnya kekacauan dalam sistem varnasrama dharma termasuk persepsi timbulnya kekacauan dalam jatidharma dan dharma. Arjuna juga melihat secara empiris pada hakikatnya banyak terjadi pertentangan di dalam penerapan ajaran moral agama. Dengan demikian bila tujuan hidup agama itu harus direalisasikan apa pun dalihnya peperangan itu bertentangan dengan agama. Akan tetapi Arjuna menyadari pula bahwa ia tidak mengingkari kemungkinan berbagai alternatif lain, tetapi untuk memantapkannya Arjuna mengharapkan bimbingan dari Krsna untuk keluar dari kebingungan itu.

Bhagawad Gita 2(Sankhya yoga, 72 ayat)


Krsna yang menanggapi pandangan dan perasaan yang dialami oleh Arjuna menjelaskan dasar pemikiran sebagai berikut. (1) Sifat lemah yang ada pada setiap diri manusia menyebabkan mudah menyerah pada keadaan. Sifat lemah ini disebut anarya. Sifat putus asa seperti ini pada hakikatnya bertentangan dengan ajaran agama Hindu yang mewajibkan agar tidak berputus asa dalam segala hal. (2) Kebodohan atau avidya pada hakikatnya menimbulkan kesalahan dalam memahami terutama masalah kirti dan yasa. Pada hakikatnya Krsna melihat bahwa masalah Arjuna bersumber pada masalah ini sehingga dicoba menjelaskan hakikat hidup dan tujuan hidup sebagaimana diajarkan oleh ajaran Sāmkhya -Yoga. Pada dasarnya Sāmkhya -Yoga adalah ajaran kefilsafatan (tattva darsana), yaitu Sāmkhya merupakan ajaran rasionalisme atau Jñāna-yoga. Yoga merupakan ajaran disiplin moral sebagai upaya untuk mencapai tujuan hidup beragama (moksa). Kedua dasar ajaran ini didasarkan pada konsep Upanisad yang menguraikan bahwa tujuan hidup manusia pada hakikatnya dapat dicapai melalui dua jalan, yaitu Pravrtti Marga dan Nivrtti Marga. Kedua dasar ajaran itu hendaknya dipahami dengan tepat agar tujuan hidup beragama dapat dicapai dengan baik, yaitu dharma, artha, kama, dan moksa.

Bhagawad Gita 3(Karmayoga, 43 ayat)


Bab ini membahas dasar-dasar pengertian Karma Yoga yang dibedakan dari ajaran Sāmkhya Yoga. Kedua ajaran ini dibahas dari aspek ajaran Sāmkhya dan Yoga. Dengan memahami kesalahan pengertian Karma Yoga sebagai satu sistem yang dianggap bertentangan dengan sistem samnyasa Krsna mencoba menegaskan makna ajaran karma yoga secara lebih mendetail. Jñāna dengan ajaran Jñāna Yoga merupakan inti ajaran Sāmkhya sebaliknya karma atau tindakan tidak harus berarti sama dengan Jñāna. Dalam Gita karma ini dibedakan dalam dua bentuk yaitu, Subba Karma ‘perbuatan yang baik’ dan Asubha Karma ‘perbuatan yang tidak baik’. Adapun perbuatan yang tidak baik dibedakan pula menjadi dua macam yaitu, Akarma dan Vikarma. Dengan demikian terdapat tiga macam bentuk sikap tindak kegiatan, yaitu Karma ‘perbuatan baik’, Akarma ‘perbutan tidak berbuat’, dan Vikarma ‘perbuatan yang keliru’. Apa yang diharapkan dari ajaran Karma Yoga ini adalah tercapainya tujuan kebebasan, yaitu moksa atau sidhi (kesempurnaan). Ada dua hakikat pengertian kata karma yang berkembang di dalam Gita yaitu Karma dalam arti ritual atau yadnya dan karma dalam arti tingkah laku perbuatan.




Bhagawad Gita 4(Jnana Yoga, 42 ayat)


Bab ini menguraikan Jñāna Yoga yang telah berkali-kali disampaikan Sri Krsna kepada umat manusia agar menjadi manusia-manusia bijak. Dikatakan pula manakala dharma terancam dan adharma merajalela beliau sendiri turun ke dunia dengan mengenakan badan jasmani untuk melindungi ajaran dharma dari kehancuran dan melindungi orang-orang bijak. Di samping itu ajaran tentang varnasrama dharma dan berbagai jalan yang ditempuh manusia dalam rangka pencariannya yang tertinggi juga diuraikan dalam bab ini. Jnana Yoga sebagai cara mencapai kelepasan (moksa) juga kembali ditekankan di sini. Di samping kegiatan kerja tanpa pamrih yang tidak membelenggu diuraikan pula tentang kurban kebijaksanaan sebagai kurban tertinggi. Dikatakan demikian karena kebijaksanaan itu sendiri akan membakar habis segala dosa dan akibat dari perbuatan. Selanjutnya secara panjang lebar Krsna juga menjelaskan kepada Arjuna kaitan Jnana Yoga dengan Yoga lain yang memberikan kemantapan kepada Arjuna dalam mengemban tugas sebagai seorang ksatria dalam menghadapi pertempuran ini.

Bhagawad Gita 5(Karma Samnyasa Yoga, 29 ayat)


Bab ini intinya membandingkan antara dua sistem jalan menuju kesempurnaan, yaitu karma samnyasa di satu pihak dan yoga di bagian lain. Penjelasan bab V merupakan pengembangan pengertian dari ajaran yang telah dijelaskan dalam bab IV tentang arti Jnana Yoga. Arjuna ingin penjelasan yang tegas mengenai jawaban atas pertanyaan, yaitu mana yang lebih baik membebaskan diri dari kerja (karma samnyasa) atau kerja tanpa kepentingan pribadi atau tanpa motif untuk mencari keuntungan pribadi. Sistem kerja yang kedua adalah lebih baik. Penampilan kedua macam pertanyaan ini tentunya dilakukan pada satu pengerttian dengan mengingat sistem catur asrama, yaitu Brahmacari-Grahasta-Vanaprasta-Samnyasa). Di dalam Yoga karma itu tetap ada, tetapi tidak dimotivasikan untuk kepentingan pribadi. Karma dimaksudkan untuk pelepasan keakuan terhadap benda-benda duniawi dengan memusatkan perhatian pada kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ber-samadhi. Yoga berarti menghubungkan (Yuj) pikiran kepada Tuhan sehingga segala sifat hakiki Tuhan dapat direfleksikan ke dalam jiwa. Dengan demikian berbuat itu tidak terikat oleh diri pribadi, tetapi didorong oleh kehendak Ilahi.

Bhagawad Gita 6(Dhyana Yoga, 47 ayat)


Bab ini menguraikan makna Dhyāna Yoga sebagai suatu sistem dalam Yoga. Yoga mengajarkan delapan macam disiplin, kedelapan disiplin itu adalah (1) Yama, (2) Niyama, (3) Asana, (4) Pranayama, (5) Pratyahara, (6) Darana, (7) Dhyāna, dan (8) Samadhi. Ajaran Dhyāna Yoga atau Dhyāna melakukan yoga dan bermeditasi yang baik, semua syarat harus dipenuhi, yaitu dimulai dari sikap asana yang baik. Walaupun demikian, Arjuna yakin bahwa pikiran itu bersifat seperti binatang liar yang sukar dijinakkan sehingga sangat sulit untuk dapat meninggalkan pikiran dalam mencapai tujuan. Krsna juga mengakui kesulitannya dan karena itu alternatifnya adalah mengarah kepada perbuatan kebajikan. Diuraikan pula bahwa manusia akan lahir kembali kedunia sesudah sampai di surga bila sudah selesai masanya penikmatan hasil kebajikan itu. Hal ini akan berulang sampai berhasil melepaskan diri dari sarang laba-laba karma, yaitu kelak kalau telah mencapai nirvana atau moksa atau brahma nirvana. Menurut Krsna, seorang yogi lebih besar, baik daripada pertapa maupun sarjana dan lebih besar pula artinya daripada pendeta yang melakukan upacara yadnya.




Bhagawad Gita 7(Jnana Vijnana Yoga, 30 ayat)


Jnana artinya pengetahuan dan Vijnana adalah serba tahu dalam pengetahuan. Tujuan atau objek Dhyāna yaitu Tuhan Yang Maha Esa yang dalam agama disebut Para Brahman, Para Atman, Parama Isvara. Oleh karena itu, Krsna mulai menjelaskan pengertian Atman dan hubungannya dengan Parama-atman atau Brahman yang absolut. Alam semesta dengan segala bentuk ciptaan itu disebut bhuta, yang mempunyai lima komponen dasar disebut Panca Maha Bhuta yang terdiri atas prthivi (tanah), apah (air), teja atau agni (api, panas), vayu (angin), dan akasa (ether). Kelima unsur dasar itu timbul dari prakrti dan sebagai akibat dari evolusi dari prakrti. Di samping unsur materi terdapat unsur rohani yang disebut Atman atau Jiva yang menyebabkan timbulnya ciptaan (srsti). Di dalam melakukan samadhi hakikat inilah yang harus dicapai dalam pengertian dan makna aksara mantra AUM atau Om Kara sebagai manifestasi wujud abadi. Di samping itu, Krsna juga menjelaskan pengertian triguna sebagai hakikat sifat dasar dari prakrti sehingga timbulnya proses evolusi sebagai akibat ketidakseimbangan triguna.

Bhagawad Gita 8(Samnyasa Yoga, 29 ayat)


Aksara Brahma Yoga berbicara tentang hakikat sifat kekekalan Tuhan Yang Maha Esa. Aksara berarti kekal. Inti bab ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan Arjuna tentang Brahman-Adhyatman dan Karma. Demikian pula tentang Adhibhuta, Adhidaiva, Adhiyadnya, dan hakikat kematian. Dijelaskan pula cara pendekatan pengertian yang dapat memberi uraian yang jelas tentang Brahman dengan Adhyatman yang pada hakikatnya sama dengan Parama Atman. Dikatakan bahwa Atman mempunyai basis Adhyatman (Brahman) demikian pula hakikat bhuta, yaitu panca mahabhuta dengan adhibhuta. Di samping itu, dijelaskan pula pengertian tentang adhiyadnya dan adhidaivata.

Bhagawad Gita 9(Rajavidya Rajaguhya, 34 ayat)


Bab ini membahas hakikat dasar-dasar ajaran Raja Yoga dengan judul Rāja Vidyā Rājaguhya Yoga. Dijelaskan hakikat raja hanya sebagai istilah untuk menunjukkan raja dari semua ilmu (Vidyā), yaitu ajaran ketuhanan. Dikatakan demikian karena segala hal yang ada berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, mempelajari Ketuhanan Yang Maha Esa dianggap sangat mulia dan ilmunya merupakan ilmu tertinggi dari semua ilmu. Dalam hubungan ini Krsna tidak saja menjelaskan arti dan kedudukan Tuhan sebagai Brahman, sebagai Bapak atau sebagai Pelindung dan Pencipta, tetapi dijelaskan juga bagaimana alam semesta ini diciptakan. Bila hendak melakukan bhakti atau sembahyang, maka tujuan sembahyang adalah kepada Tuhan Yang Maha Esa itu apa pun gelar yang diberikan kepada Nya. Semua harus mencari perlindungan kepada Nya, karena itu, Krsna mengajarkan bahwa Tuhan sebagai pusat dari semua ciptaan dan kebaktian.




Bhagawad Gita 10(Vibhuti Yoga, 42 ayat)


Bab ini menjelaskan sifat hakikat Tuhan yang absolut secara empiris. Dikatakan bahwa hakikat absolut transendental sebagai akibat hakikat tanpa permulaan, pertengahan, akhir. Demikian pula manifestasi Brahman dalam alam semesta, sebagai kitab suci, Devata, manusia, dan huruf yang semuanya memerlukan pengertian dan dasar-dasar keimanan yang kuat.

Bhagawad Gita 11(Visvarupa Darsana Yoga, 55 ayat)


Visvarupa Darsana Yoga sebagai penjelasan lebih lanjut dari ajaran Vibhuti Yoga yang mencoba menjelaskan bentuk manifestasinya secara nyata. Dengan menyadari persamaan itu, maka terjawablah misteri yang ada pada Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai hakikat yang Mahaada.

Bhagawad Gita 12(Bhakti Yoga, 20 ayat)


Di dalam bhakti yoga manusia bersembah sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada dua hal yang ingin dipertanyakan oleh Arjuna, yaitu (1) menyembah Tuhan dalam wujudnya yang abstrak, dan (2) menyembah Tuhan dalam wujud nyata, misalnya menggunakan nyasa atau pratima berupa arca atau mantra. Sehubungan dengan kedua pertanyaan ini, Krsna menegaskan bahwa kedua-duanya baik. Penyembahan Tuhan dalam wujud abstrak, yaitu dengan menanggalkan pikiran kepada yang disembah merupakan amat baik. Akan tetapi, hambatan dan kesulitan itu tetap banyak karena Tuhan yang tanpa wujud, kekal abadi, tak berubah sangat sulit untuk dicapai oleh akal pikiran. Sebaliknya, dengan Yoga biasa diperlukan sarana pratima atau arca sehingga lebih mudah untuk mewujudkan rasa bhakti, tetapi itu belum nyata.




Bhagawad Gita 13(Kshetra-Kshetrajña Yoga, 34 ayat)


Bab ini membahas hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa yang dihubungkan dengan hakikat purusa dan prakrti (pradana) sebagai nama rupa. Kebutuhan nama rupa yang digelari dengan purusa dan prakrti adalah untuk memberi landasan dalam penjelasan bagaimana mengenal Tuhan Yang Maha Esa sebagai hakikat yang maha mengetahui. Demikian pula, bagaimana proses kejadian ini dari purusa dan prakrti sampai pada segala bentuk ciptaan alam semesta. melalui proses kejadian dari 24 macam elemen. Di samping itu, dijelaskan pula tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh orang yang dapat dikategorikan sebagai arif bijaksana. Oleh karena itu, Krsna menguraikan kebaikan dan sifat rendah hati, tidak cepat marah, sabar, tawakal, adil, jujur, beriman, suci lahir batin dengan selalu mengendalikan pikiran, tutur kata dan tingkah laku sehingga terkendalinya ego dan makin bertambah baiknya budi manusia.

Bhagawad Gita 14(Gunatraya Vibhaga Yoga, 27 ayat)


Bab ini membahas triguna atau guna traya, yaitu tiga macam guna yang terdiri atas sattvam, rajas, tamas. Manifestasi guna pada diri manusia dapat dilihat dari bentuk tingkah laku mereka sebagai refleksi dari triguna. Sebaliknya, yang menjadi tujuan pembahasan guna traya ini adalah bagaimana seseorang dapat mengatasi ketiga guna itu sehingga dapat mengatasi segala-galanya. Khusus untuk sifat-sifat manusia yang telah dapat mengatasi pengaruh triguna digambarkan sebagai seseorang yang memiliki watak tidak membenci, selalu hidup dalam keadaan tenang, tidak memiliki pertentangan batin sebagai akibat pengaruh sifat-sifat yang bertentangan dalam diri pribadinya, tidak mudah goyah atau berubah-ubah pendirian, tetapi selalu mengabdi dan berbakti tanpa pamrih.

Bhagawad Gita 15(Purusottama Yoga, 20 ayat)


Bab ini membahas pengertian purusa sebagai asal dari semua ciptaan. Purusattama atau purusa utama adalah purusa yang Maha Tinggi, yaitu hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dan hakikat Aku yang transendental. Ia adalah Brahman. Bahasan ini menggambarkan hakikat hubungan antar Sang Pencipta dengan segala ciptaannya. Krsna mengibaratkannya sebagai pohon asvattha atau ficus religiose (semacam pohon beringin). Kalau pohon itu berakar, berbatang, berdaun, dan lain-lainnya, maka akarnya (asalnya) adalah purusa itu sebagai kejadian lainnya adalah batang, dahan, dan daun-daunnya. Akan tetapi, diajarkan pula bahwa Tuhan ada di atas dan karena itu pohon asvattha dikatakan akarnya ada di atas yang kemudian batangnya yang berjuruai ke bawah dengan sifat-sifatnya adalah semua ciptaannya. Purusottama adalah adhyatman, yaitu atman yang menghidupi makhluk ciptaan bertebaran ke bawah.




Bhagawad Gita 16(Daivasura Sampad Vibhaga Yoga, 24 ayat)


Bab ini intinya membahas hakikat tingkah laku manusia yang dikenal sebagai perbuatan baik dan buruk. Kedua hal ini merupakan inti pertanyaan Arjuna. Dalam menjawab pertanyaan itu, Krsna menggambarkan sifat-sifat baik yang disebut sifat Devata dan sifat-sifat jahat sebagai sifat-sifat raksasa atau asura. Mulai dari seloka 1 sampai dengan 3 adalah gambaran tentang sifat-sifat mulia, sedangkan sifat-sifat asura adalah yang berlawanan dan diperinci dalam seloka 4. Dikemukakan pula bahwa secara empiris tidak ada manusia yang hidupnya sempurna. Oleh karena itu, Krsna mendesak agar Arjuna atau siapa saja agar tidak berputus asa dan tidak pula merasa takut. Seloka 24 yang terakhir pada bab XVI, Krsna menegaskan agar kitab sastra dan Veda digunakan sebagai pedoman hidup.

Bhagawad Gita 17(Sraddhatraya Vibhaga Yoga, 28 ayat)


Sraddha Traya Vibhaga Yoga bertujuan untuk meyakinkan agar manusia berkeyakinan akan tiga hal, yaitu triguna. Penekanan ini dimaksudkan sebagai penanggulangan terhadap pengaruh yang timbul karena triguna dengan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesempurnaan hidup. Bagian ini merupakan landasan etika atau dharma. Keyakinan yang kedua adalah hakikat ucapan AUM (OM) Tat Sat sebagai pengakuan adanya Tuhan Yang Mahaada, tiada lain, kecuali Yang Mahaabadi yang disebut pula Aksara Brahman. Ketiga adalah keyakinan akan tercapainya moksa yang juga disebut brahma nirvana.

Bhagawad Gita 18(Moksha Samnyasa Yoga, 78 ayat)


Bab ini merupakan bab terakhir dan simpulan dari semua ajaran yang menjadi inti tujuan pelaksanaan agama yang tertinggi, yaitu brahma nirvana. Dengan simpulan ini maka menjadi jelas bahwa Gita mencoba mendorong Arjuna untuk bertindak tanpa ragu-ragu dan tidak mengikatkan diri pada kewajiban dan akibat-akibatnya. Sebaliknya, bertindak dan pasrah kepada Tuhan sebagai Yang Maha Mengatur sehingga rasa berdosa dapat diatasi.

Tattwa Jnana: Konsep Ketuhanan

Konsep ketuhanan dalam agama Hindu disebut brahmawidya dari bahasa Sanskerta yang artinya sama dengan teologi. Kata Teologi dalam bahasa Yunani theologia dibentuk dari kata theos berarti Tuhan dan logos berarti wacana atau ilmu. Secara keseluruhan teologi berarti wacana atau ilmu tentang Tuhan memiliki pengertian seperti berikut.
    1. Ilmu tentang hubungan dunia Ilahi (atau ideal, atau kekal tak berubah) dengan dunia fisik.
    2. Ilmu tentang hakikat Sang Ada dan kehendak Allah (atau para dewa).
    3. Doktrin-doktrin atau keyakinan-keyakinan tentang Allah (atau para dewa) dari kelompok-kelompok keagamaan tertentu atau dari para pemikir perorangan.
    4. Kumpulan ajaran mana saja yang disusun secara koheren menyangkut hakikat Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan alam semesta.
    5. Usaha sistematis untuk menyajikan, menafsirkan, dan membenarkan secara konsisten dan berarti keyakinan akan para dewa dan atau Allah.

Dengan demikian, teologi adalah ilmu tentang Tuhan yang ssungguhnya merupakan bagian dari metafisika yang menyelidiki hal eksisten menurut aspek dari prinsipnya yang terakhir – suatu prinsip yang luput dari indreawi tunggal. Objeknya adalah Tuhan, yaitu eksistensiNya, esensiNya, dan aktivitasNya. Dengan begitu, ilmu tentang Tuhan tidak memberikan pengetahuan tentang Tuhan yang dalam setiap hal sama dengan pengetahuan yang diperoleh dari ilmu tentang objek-objek pengalaman indrawi. Pengetahuan yang bersifat analogis dalam kitab suci Hindu disebut brahmawidya atau Brahmatattva Jnana. Brahma berarti Tuhan, gelar yang diberikan kepada Tuhan sebagai yang memberikan kehidupan pada semua ciptaanNya, Yang Mahakuasa. Widya atau Jnana kedua-duanya berarti ilmu. Tattva berarti hakikat tentang Tat (Itu, yaitu Tuhan dalam bentuk Nirguna Brahman). Tattva Jnana artinya sama dengan ilmu tentang hakikat, yaitu ilmu tentang Tuhan. Inti dari Tattva adalah Panca Srada, yaitu kepercayaan atau keimanan dalam agama Hindu.

Berdasarkan tattwa weda, keimanan agama Hindu adalah Panca Sraddha, yaitu percaya kepada Sang Hyang Widhi Wasa, Atman, Karma Phala, Punarbhawa, dan Moksa. Kelima aspek Sradha Tattwa ini menjadi landasan berdirinya Susila Hindu, yaitu lima keimanan pokok agama Hindu yang harus diyakini oleh umat Hindu. Kelima aspek Sradha Tattwa tersebut terdapat dalam Weda, yaitu Rg. Weda, Yajur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda. Tiap-tiap bagian dari Weda terdiri atas Samhita (syair-syair pujaan), Brahmana (aturan hidup keagamaan dan upacara), Aranyaka dan Upanisad (filsafat pengetahuan tentang hubungan antara roh dan Tuhan, penjelasan, dan kelepasan). Ajaran Weda ini juga disebut Agama Sruti yang artinya wahyu suci yang diucapkan, diceritakan, dan ditulis oleh orang-orang yang suci pribadinya, serta wajar dipercaya. Ajaran yang tercantum di dalamnya menyebutkan bahwa alam akhirat dan wujud rohaniah sebagai Brahman, yaitu Tuhan sumber semesta alam atau Parameswara. Tuhan Raja Alam, Pelindung Agama, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta Pelindung Kebenaran yang mengadili semua makhluk berdasarkan amal dan dosanya.

Adanya Atman, yaitu roh yang menjadi sumber hidup setiap makhluk dan tunggal wujudnya dengan Bhrahman sebagai sumber alam semesta. Adanya hukum Karma yang menimbulkan Karmaphala, yaitu phala atau hasil subha asubha karma atau subha asubha prawerti. Inilah amal-dosa perbuatan yang berupa surga-neraka, kebahagiaan-penderitaan akhirat yang mempengaruhi penjelmaan berikutnya yang akan datang. Adanya punaryanma (samsara), yaitu menjelmanya Atman atau roh ke dunia lagi. Adanya moksa, yaitu kebahagiaan yang langgeng berupa ketenteraman rohani, bebas dari penjelmaan, serta menunggalnya Atman atau roh dengan Brahman. Artinya, konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita adalah ilmu tentang Tuhan yang umumnya dimengerti dan dipahami sebagai teologi. Inti dari konsep ketuhanan adalah tattwa yang dalam agama Hindu dipahami sebagai ilmu tentang hakikat – Tuhan. Inti dari tattwa adalah Panca Sraddha merupakan lima kepercayaan pokok dalam agama Hindu. Dengan demikian, konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita adalah teologi Hindu, yaitu ilmu tentang Hyang Widhi Wasa. Konsep ketuhanan sebagai ilmu tentang Hyang Widhi Wasa adalah ilmu yang bersifat subjektif yang lahir dari dalam diri dan dari dalam jiwa yang beriman dan bertaqwa. Artinya, sradha menjadi hal prinsip yang mutlak diperlukan bagi penjelasan tentang suatu kepercayaan yang hanya hadir bagi subjektivitas. Sradha sebagai keimanan yang tulus menegaskan kebenaran dan hukum untuk mengikat nilai-nilai spiritual pada diri manusia.

Sradha atau kepercayaan sebagai keimanan merupakan sifat dasar manusia. Dalam Bhagawad Gita 18.3 ditegaskan, kepercayaan tiap-tiap individu, tergantung kepada sifat wataknya; manusia terbentuk oleh kepercayaannya, apa pun kepercayaannya demikian pulalah dia adanya. Sradha seseorang terbentuk berdasarkan sifat dan wataknya, juga begitu seseorang dibentuk oleh sradhanya. Begitu sradhanya, begitu pula orangnya. Artinya, sradha adalah esensi dari setiap sifat sejati individu yang sudah diatur oleh karmanya. Dengan demikian, sikap dan perbuatan seseorang sesuai dengan sifatnya. Berbagai pengalaman, baik suka maupun duka akan meninggalkan berbagai kesan (baik atau buruk) pada manusia dan akhirnya, itu yang membentuk watak orang. Jadi, watak seseorang dibentuk dan ditentukan oleh karmanya. Watak manusia berdasarkan sradhanya menurut Gita ada tiga macam, yaitu satva, rajah, dan tamah. Seperti dijelaskan Bhagawad Gita 17.2, ada tiga macam keyakinan dan kepercayaan, yang tergantung kepada watak perwujudan badan, yaitu bersifat satva, rajah, dan tamah. Ini berarti bahwa antara kepercayaan dan watak memiliki hubungan yang erat sesuai dengan perwujudan badan. Berikutnya, sifat kepercayaan dan perilaku pemujaan ini dijelaskan dalam Bhagawad Gita 17.4, orang yang bersifat satva memuja pada devata, yang bersifat rajah memuja yaksa dan raksasa, sedangkan lainnya yang bersifat tamah memuja roh orang mati dan para bhuta. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa sifat kepercayaan manusia sesuai dengan sifat prakerti, yaitu triguna.Sifat kepercayaan yang dibentuk oleh sradha inilah yang dijadikan landasan untuk mengungkap esensi, eksistensi, dan aktivitas Tuhan dalam Bhagawadgita. Ini menegaskan bahwa pengungkapan konsep ketuhanan dalam Bhagawadgita dilakukan dengan bertumpu pada konsep panca sradha. Walaupun demikian, penelusuran konsep ketuhanan dalam Bhagawagdgita dalam tulisan ini lebih ditekankan pada Widhi Sradha.

Ketuhanan dalam Bhagawadgita

Tuhan dalam agama Hindu disebut Hyang Widhi Wasa khususnya umat Hindu di Bali (Indonesia). Kata “widhi” berasal dari bahasa Sanskerta, yakni dari urat kata “wi“ sempurna, tuntas; dhà “meletakkan, menaruh. Widhi artinya takdir, hukum, aturan, penguasa tertinggi, pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa. Kata “wasa” berasal dari bahasa Sanskerta berarti kuasa. Dengan demikian, Widhiwasa berarti Tuhan Yang Mahakuasa. Sementara itu, kata “ida sang hyang” adalah kata hormat. Ida “beliau”, sang “ia yang dihormati”, dan hyang “dewa’ Tuhan”. Jadi, Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah nama untuk menujuk Tuhan Yang Maha Esa.
Terdapat tiga paham besar yang membentuk sistem pemikiran Hinduisme:
    1. Paham dwaita (dualis) yakni paham pemikiran yang memahami bahwa azas segala sesuatu ini ada dua: Puruûa “azas roh” dan Prakåti “azas materi”. Paham ini terdapat dalam ajaran samkya yang pada mula diajarkan oleh Maharsi Kapila.
    2. Paham wasisthadwaita (monisme terbatas) yakni paham pemikiran yang memandang bahwa azas segala sesuatu ini matunggal namun dalam Tuhan. Dengan kata lain, sistem pemikiran ini memandang bahwa dunia manunggal dengan Tuhan.unggalannya seperti hubungan antara jiwa dengan badan. Paham ini dianut oleh Ramanuja.
    3. Paham adwaita (monisme, non-dualis) yakni paham pemikiran yang memandang bahwa azas segala ini adalah tunggal. Tidak ada sesuatu apapun selain Dia. Segala sesuatu yang berada di luar hakikat yang mutlak hanya merupakan maya “semu dan dan impian” yang dihasilkan oleh awidya “pengetahuan yang tidak lengkap”. Paham ini dianut oleh Sangkara.

Dari pembicaraan tentang teologi di atas bahwa Tattwa Jnana membicarakan bahwa Yang Mahakuasa yang tidak terjangkau dengan pikiran. Dia yang gaib ini dipanggil dengan berbagai nama sesuai dengan batasan pemikiran, walaupun Ia hanya satu dan Tunggal adanya. Selain itu, juga Bhagawadgita merupakan satu kitab di antara banyak kitab agama Hindu yang mengajarkan tentang Tuhan dan cara mengenalNya. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada kata penutup setiap babnya, yaitu iti srimad Bhagavadgītāsupanisatsu brahmavidyā yam yogasastre sri Krishnarjunasamvade… nama…’dhyayah-disinilah berakhir bab ke… dari Upanisad Bhagawadgita ajaran tentang Brahmavidyā dan Yogasastra, berupa percakapan antara Sri Krsna dan Arjuna yang berjudul,…". Artinya, Bhagawadgita adalah kitab Brahmavidya dan Yogasastra yang berisi ajaran tentang Tuhan, yaitu esensiNya, eksistensiNya, dan aktivitasNya.

Tuhan dalam agama Hindu bersifat monoteistis, Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kitab-kitab suci, seperti Chandogya-Upanisad IV.2.1 dijelaskan, Ekam Eva Advityam Brahmanhanya ada satu Tuhan atau Brahman tak ada yang kedua. Mantram Trisandhya disebutkan Eko Narayanaa na dwityo’sti kaccit-Tuhan hanya satu, sama sekali tidak ada duanya (yang kedua).Rig Veda 1.164.46ditegaskan, Ekam Sat Viprah bahudha vadanti-hanya terdapat satu Kebenaran Yang Mutlak, orang bijaksana (resi) menyebut dengan banyak nama.Kakawin Arjuna Wiwaha disebutkan, Wahyadhyatmika sembahing hulun i jong ta tan hana waneh-lahir batin sembah hamba ke hadapan Tuhan tak ada yang lainnya". Kekawin Sutasoma disebutkan Bhineka Tunggal Ika, tan hana Dharma mangrwa-Berbeda-beda tetapi satu tidak ada Dharma yang dua.

Tuhan Yang Maha Esa dalam Weda dipadankan dengan Brahman. Dalam kitab Weda dijelaskan bahwa Brahman yang pertama ada, satu adanya, bersifat kekal, pencipta, pemelihara, pelebur, raja alam semesta, cahaya tertinggi, pelindung, dan inti alam semesta. Kitab-kitab Upanisad menyatakan realitas dari Brahman Tertinggi sebagai satu tanpa yang kedua, tanpa atribut, tanpa penetapan-penetapan yang identik dengan Sang Diri terdalam manusia. Brahman merupakan subjek murni yang eksistensinya tidak dapat ditolak menjadi dunia eksternal yang objektif. Dalam hal ini Brahman memiliki dua aspek, yaitu Nirguna Brahman dan Saguna Brahman. Kedua aspek Brahman diperjelas lewat pertanyaan Arjuna dalam Bhagawad Gita 12.1, bhakta yang mantap senantiasa menyembahMu demikian dan yang lain lagi menyembah yang Yang Abstrak, Yang Kekal Abadi; yang manakah dari keduanya ini yang lebih mahir dalam yoga. Seloka ini menyatakan bahwa terdapat dua macam pemusatan pikiran dalam bhakti, yaitu kepada Tuhan yang berwujud dalam aspek Saguna Brahman dan kepada Tuhan yang abstrak dalam aspek Nirguna Brahaman. Demikian juga dengan jawaban Yang Kuasa dalam Bhagawad Gita 12.2, mereka yang memusatkan pikirannya padaKu, dengan senantiasa mengendalikannya dan dengan penuh kepercayaan, merekalah yang Aku anggap terbaik pelaksanaan yoga. Ini berarti memuja Tuhan yang berkepribadian, yaitu Saguna Brahman merupakan cara terbaik dalam pelaksanaan bhakti. Sebaliknya, Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman dijelaskan dalam Bhagawad Gita 12.3, mereka yang memuja Yang Kekal Abadi, Yang Tak Terumuskan Yang Tak Nyata, Yang melingkupi segalanya, dan Yang Tak terpikirkan, Yang Tak Berubah, Yang Tak Bergerak, Yang Abadi.

Tuhan dalam aspek Saguna Brahman, juga dijelaskan dalam Bhagawad Gita 12.4, dengan mengendalikan seluruh indera, berpikiran tetap dan tenang, berusaha guna kesejahteraan semua insani, sebenarnya mereka juga sampai kepadaKu. Memuja Tuhan dengan cara ini lebih mudah dibandingkan dengan memuja Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman. Sebaliknya, menyembah Tuhan dalam aspek Nirguna Brahman merupakan jalan bhakti yang lebih sulit dibandingkan dengan memuja Tuhan dalam aspek Saguna Brahman. Seperti dijelaskan dalam Bhagawad Gita 12.5,bagi mereka yang pikirannya dipusatkan kepada Yang Tak Berwujud, kesulitannya lebih besar, karena sesungguhnya jalan dari Yang Tak Termanifestasikan sukar dicapai oleh orang yang mempunyai badan jasmani. Artinya, kepada bhakta sangat dianjurkan memuja Tuhan yang berwujud dan berkepribadian dalam aspek Saguna Brahman karena lebih mudah dibandingkan dengan memuja Tuhan yang tak berwujud dan tak berkepribadian dalam aspek Nirguna Brahman. Artinya, Arjuna mengakui aspek Nirguna Brahman sebagai esensi Tuhan. Begitu juga sekaligus menyatakan bahwa mereka yang menyembah aspek Saguna, yaitu eksistensi Tuhan yang berwujud dan berkepribadian lebih baik dalam yoganya. Bhakti kepada Tuhan dalam aspek Saguna Brahman akan lebih mudah, karena itu paling cocok untuk Arjuna dan umat manusia. Hal ini seperti Dia katakan dalam Bhagawad Gita 5.6,untuk alasan yang sama karma yoga lebih baik dari jñāna yoga. Akan tetapi, samyasa tanpa yoga sungguh sukar dicapai, seorang muni yang dilengkapi dengan karma yoga mencapai Brahman dengan segera. Sloka ini hendak menjelaskan bahwa penyerahan diri secara total tidak begitu saja dapat dicapai. Akan tetapi, harus ditempuh dengan kerja keras dalam proses yang berlangsung secara progresif terutama bagi orang-orang yang telah melepaskan egonya dan mengabdi kepada Yang Maha Esa. Jadi, ego pribadi merupakan elemen yang paling tidak mudah dikendalikan dan selalu hadir pada setiap orang dalam berbagai bentuk seakan-akan tidak ada habis-habisnya.

Sementara itu, Nirguna Brahman atau Para Brahman, yaitu Brahman Tertinggi adalah Brahman yang bebas dari guna, yang tidak terbatas, tidak terkondisikan, dan tanpa sifat. Hal ini ditegaskan dalam Bhagawad Gita 10.12,Engkau adalah Para Brahman, tempat kediaman tertinggi, pensuci tertinggi, Purusa Ilahi, kekal, Devata pertama, tak terlahirkan, mahakuasa, meliputi segalanya.Dalam seloka ini Arjuna secara tegas menyatakan bahwa Engkau adalah Para Brahman. Pernyataan ini merupakan pengakuan yang hendak menunjukkan kedudukan Brahman dalam aspeknya sebagai Nirguna Brahman – seperti banyak diuraikan oleh Shankara dalam filsafat Vedanta. Nirguna Brahman juga dijelaskan dalam Bhagawad Gita 13.12, Brahman tertinggi yang tanpa awal, yang dikatakan bukan ‘Sat’ atapun ‘Asat’. Dalam Bhagawad Gita 13.15 ditegaskan,Dia disebut sebagai keberadaan atau bukan keberadaan, ada di luar dan di dalam semua insani, tak bergerak, tetapi bergerak, terlalu halus diketahui, jauh nian, namun juga dekat sekali. Dalam Bhagawad Gita 13.16 dinyatakan,Dia tak terbagi, tetapi seperti terbagi-bagi, tak dapat dibagi-bagi namun ada dalam setiap insani, seakan-akan terbagi-bagi dan diketahui sebagai pemelihara semua makhluk memusnahkan dan menciptakan mereka. Selanjutnya, dalam Bhagawad Gita 8.3 ditegaskan lagi,Dia adalah aksaram brahma paranam svabhāvo, Yang Kekal Abadi maha Agung adalah Brahman. Seloka ini sesungguhnya hendak menjelaskan bahwa Brahman tanpa atribut, Yang Tunggal Kekal, tampak seakan-akan terbagi-bagi menjadi banyak, tetapi dalam kenyataannya tidak. Oleh karena itu, Bhagawad Gita 13.16 kembali menegaskan, Dia sendiri pemelihara, pemusnah, dan pencipta semua makhluk. Di sini Brahman dalam aspekNya sebagai Saguna Brahman.

Saguna Brahman juga disebut Apara Brahman sebagai Yang Mahatahu, Yang Mahakuasa, Yang Mahakarya, dan Yang Mahasempurna yang tersangkut dalam dunia pengalaman dan jiwa perorangan. Ia adalah isvara. Ia yang menggunakan kekuatan Maya. Hal ini ditegaskan dalam Bhagawad Gita 4.6,Walaupun Aku tak terlahirkan, kekal, Aku adalah Isvara dari semua makhluk, Aku menjadikan diriKu sendiri dan menjadi ada dengan kekuatan Maya-Ku. Jadi, Tuhan tidak lahir dan tidak binasa. Ia pencipta semua makhluk dan alam semesta, mengendalikan Sang Maya, bereinkarnasi sesuai dengan kehendakNya yang bebas dengan MayaNya. Yang Maha Pencipta ini Mahasempurna dalam segala hal, tetapi dalam reinkarnasi dibatasi oleh kaidah-kaidah duniawi yang sifatnya tidak sempurna. Walaupun untukNya tidak pantas ditinjau dari segi duniawi, tetapi juga dilakukan olehNya demi menyelamatkan makhluk dan alam semesta. Inilah kebesaranNya, kasihNya yang mahasempurna. Dengan kasihNya, Tuhan hadir untuk menyempurnakan keberadaan yang tidak sempurna. Kasih inilah tuntunan menuju kepada kesempurnaan. Walaupun kasih sejati tidak pernah lahir dan diadakan dengan disengaja. Keberadaan Iswara dapat diidentifikasi melalui Bhagawad Gita7.4,Tanah, air, api, udara, ether, pikiran, bhudi, dan ego merupakan delapan unsur alam-Ku yang terpisah. Tuhan menjelaskan tentang DiriNya sendiri, seperti apa adanya. Sifat prakertiNya dijelaskan ada dua bagian, yaitu sifat luar dan sifat dalam sebagai sifat yang lebih rendah dan sifat yang lebih tinggi. Sifat yang rendah terdiri atas benda (apara-prakrti) yang terbagi menjadi delapan unsur, yaitu tanah, air, api, ether, dan udara; dan tiga lagi, yaitu pikiran (manas), pengertian (budhi), dan ego (ahankara). Kedelapan unsur ini dapat binasa dan juga semuanya sebagai unsur inti terdapat dalam manusia yang dapat binasa. Segala kebinasaan atau apapun yang dapat binasa dalam kemusnahan, bukanlah hakikat dari keberadaan. Hakikat keberadaan adalah sesuatu yang selalu ada, tak pernah berhenti ada, dan tidak mengalami perubahan.

Keberadaan yang kekal seperti itu dijelaskan dalam Bhagawad Gita 7.5,Inilah prakrtiKu yang lebih rendah, tetapi berbeda dengannya ketahuilah prakrtiKu yang lebih tinggi. Unsur hidup, yaitu jiwa yang mendukung alam semesta ini. SifatNya yang lebih tinggi disebut para-prakrti, yaitu Jiwa sebagai inti kekuatan dari penunjang hidup yang terdapat dalam diri setiap makhluk yang menyatu dengan dunia. Tanpa Sang Jiwa, dunia benda dan makhluk hidup tidak akan ada. Sang Jiwa inilah sebenarnya napas dari kehidupan, yaitu inti asal-mula dari semua makhluk di alam semesta. Jadi, esensi keberadaan bukanlah pada bentuk fisiknya, tetapi pada hidup yang mendukung keberadaan itu. Esensi keberadaan ini dalam Bhagawad Gita 7.6 dijelaskan,Ketahuilah bahwa keduanya ini merupakan kandungan dari semua makhluk; dan Aku adalah asal-mula dan leburnya alam semesta ini. Jadi, semua benda dan makhluk hidup dalam alam semesta berasal dari Yang Maha Esa. Ibarat sinar surya tetap merupakan bagian dari Sang Surya, juga begitu semua makhluk dan benda-benda berasal dari Yang Maha Esa. Setiap jiwa adalah sinar surya, bagian dari Yang Maha Esa, karena itu Yang Maha Esa adalah sumber atau inti dari setiap jiwa. Alam semesta bergerak terus-menerus dalam gerakan melingkar dan memutar, yaitu lingkaran manifestasi dan kemusnahan kehidupan. Semua itu terserah kepadaNya untuk mengatur sesuai dengan kehendakNya sehingga makhluk dan benda-benda di alam semesta ini datang, tinggal, dan kembali kepadaNya. Yang Maha Esa itu Satu untuk semuanya dan hadir untuk semuanya.

Artinya, sesuatu manifestasi bermula dari ketika Yang Satu menjadi dua, yaitu benda dan kehidupan, kesatuan raga-jiwa. Raga adalah bentuk fisik dan jiwa adalah hidup. Semua mahkluk yang eksis dalam manifestasi akan hidup dan bergerak karena ada Sang Jiwa. Pada setiap permulaan kehidupan akan diikuti dan diakhiri oleh kemusnahan. Ini sudah menjadi hukumnya. Kehidupan berlangsung secara evolusi dari tahapan-tahapan kehidupan dalam masa tertentu. Seperti masa kanak-kanak sampai dengan lanjut usia hingga mati yang harus dilalui dalam musim kemarau, musim dingin, dan musim semi. Hal ini dijelaskan dalam Bhagawad Gita 2.13,sebagaimana halnya sang roh itu ada pada masa kecil, masa muda, dan masa tua demikian juga dengan diperolehnya badan baru, orang bijaksana tidak akan tergoyahkan. Masa-masa ini merupakan saat penyempurnaan nilai-nilai yang sudah gugur. Proses penyempurnaan ini berlangsung sedemikian rupa secara susul-menyusul dan silih-berganti. Proses susul-menyusul dan silih-berganti ini menyebabkan alam semesta memiliki pagi dan malam. Pada pagi kehidupan bangkit dengan segala aspeknya, seperti peradaban, kebudayaan, seni, dan ilmu pengetahuan. Setelah pagi berlalu muncullah malam yang berarti kehancuran dan kemusnahan segala sesuatu. Semua benda dan makhluk menjadi musnah, kecuali yang telah mengabdi tanpa pamrih kepadaNya. Mereka ini telah terbebaskan dari lahir dan mati menyatu denganNya, yang Mahaabadi. Begitulah lila Tuhan atau permainanNya, kemahakuasaanNya. Kemahakuasaan ini juga dijelaskan dalam Bhagawad Gita 7.7,tak ada yang lebih tinggi daripadaKu, yang ada disini semua terikat padaKu bagaikan rangkaian mutiara pada seutas tali. Jadi, segala realitas sebagai keberadaan, baik alam maupun makhluk bergantung pada keterikatan, yakni pada seutas tali yang tiada lain adalah Tuhan. Artinya, kewajiban manusia adalah melepaskan diri dari ikatan itu sehingga menjadi mutiara-mutiara mandiri yang lepas dan bebas dari rangkaiannya. Kebebasan ini menjadi mungkin karena usaha manusia tergantung pada kesadarannya untuk mewujudkan keilahian dalam dirinya. Wujud keilahian sebagai kemanusiaan di dalam diri manusia ditegaskan dalam Bhagawad Gita7.8,Aku adalah rasa dalam air, Aku adalah cahaya pada bulan dan matahari, Aku adalah pranava dalam semua Weda, Aku adalah suara di ether dan kemanusiaan pada manusia. Dalam hal ini, Yang Mahakuasa adalah pengawas dan pengendali sifat-sifat alam (triguna) yang membangun manusia. Akan tetapi, Yang Mahakuasa berada di atas sifat-sifat ini dan tidak terpengaruh oleh triguna, walaupun Yang Mahakuasa secara imanen dan trasendental menguasai alam dan manusia. Yang Mahakuasa menguasai alam dan manusia melalui kekuatan ilusiNya, Maya.

Ajaran Maya yang dalam Maya Tattwa disebut sebagai Acetana, yaitu azas ketidaknyataan atau khayal. Ajaran maya dijelaskan dalam Bhagawad Gita 5.15 sebagai pengetahuan yang tertutupi kebodohan sehingga manusia terbingungkan dan tersesat,ajñānenāvrtam jñānam tena muhyanti jantavah-budi pakerti yang diselubungi ketidaktahuanlah yang menyebabkan makhluk tersesat di jalan. Artinya, ketersesatan makhluk hidup terutama manusia disebabkan oleh kebodohan, yaitu salah satu dari sifat prakterti. Manusia yang belum sadar akan Sang Diri Sejati senantiasa akan berputar-putar dan tersesatkan dalam lingkaran kebodohan. Jadi, kebodohan sebagai salah satu dari sifat prakerti menyebabkan manusia bingung dan tersesat. Ketersesatan tidak akan pernah mengantarkan manusia mencapai tujuannya sehingga manusia tetap dan selalu berada dalam lingkaran kelahiran. Lingkaran kelahiran ini disebabkan oleh kekuatan triguna, seperti dijelaskan dalam Bhagawad Gita 7.13,dikelabui oleh ketiga guna dari prakrti ini, kiranya seluruh dunia tidak mengetahui, sesungguhnya Aku ini lebih tinggi daripada mereka, dan kekal abadi. Artinya, membatasi diri dengan pengetahuan dari pemahaman konvensional yang sebenarnya diciptakan oleh Maya, yaitu melalui identifikasi bentuk-bentuk dan kepemilikan telah menyebabkan manusia tidak dapat mengetahui Sang Jiwa yang kekal sebagai esensi dari pengada. Kekuatan Maya tersebut sesungguhnya disebabkan oleh kekuatan triguna yang terdapat dalam setiap materi termasuk di dalam manusia. Hampir seluruh indera manusia dibatasi oleh selubung Maya, karena itu manusia berputar-putar dalam dunia bentuk yang begitu terukur dengan pembatasan normatif. Ini sebabnya manusia mengalami kesulitan mengatasi kekuatan triguna.

Kecerdasan dan kesadaran manusia yang masih dihalangi oleh Maya, seperti dijelaskan dalam Bhagawad Gita 7.25, terselubungi oleh kekuatan yogamaya-Ku, Aku tak kelihatan oleh semuanya; dunia yang terkecoh ini tak mengetahui Aku yang tak terlahirkan dan kekal abadi. Seloka ini hendak mendorong kesadaran manusia bahwa kewajibannya adalah membuka tabir misteri Yang Maha Esa yang sesungguhnya berdiam di dalam diri setiap insan. Akan tetapi, ilusi sebagai bagian dari realitas pikiran yang menyebabkan manusia tidak dapat melihat realitas hidup yang sesungguhnya. Dunia bentuk dan kepemilikan begitu indah dan menawan secara indrawi. Jadi, kewajiban utama manusia adalah melepaskan diri dari Maya yang disebabkan oleh kekuatan Triguna untuk mencapai realisasi diri yang paling dalam, yaitu Atman.Untuk itu diperlukan “kesadaran lain” bahwa sebenarnya semua perbuatan manusia adalah kehendak Yang Mahakuasa yang berdiam di dalam diri pada setiap makhluk. Manusia dibuat sama sekali tidak berdaya untuk menentang kehendakNya karena manusia begitu menyatu dalam pikirannya sehingga takluk di bawah sihir Maya. Dalam hal ini, Yang Maha Esa ibarat dalang atau sutradara dalam pertunjukkan yang mengatur segala-galanya, baik pemeran, lakon yang dimainkan, tata ruang atau panggung, aturan, gerak-gerik, dialog, dan jangka waktu permainan. Akan tetapi, sesungguhnya Yang Maha Esa bermain dengan diriNya sendiri dalam waktuNya sendiri. Pemain, Jenis Permainan, Tempat Bermain, Waktu Bermain adalah diriNya sendiri. Yang Maha Esa mewujud ke dalam Yang Banyak dan Yang Banyak mewujud ke Yang Satu. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara konsep Yang Satu dan Yang Banyak, walaupun dalam faktanya begitu sulit menyatakan bahwa Yang Satu adalah Yang Banyak.

Catatan Penting tentang Bhagawadgita

banyak pembaca yang kurang mengerti alur Kitab ini, sehingga ada yang keliru memahami bahwa sosok Sri Krisna dianggap sebagai Tuhan (Brahman) karena ada sloka yang kenggunakan frase kata AKU. Untuk itu, berikut ini beberapa catatan yang hendak dimengerti oleh pembaca kitab Bhagawadgita ini;Kreshna Baru muncul di Jaman MahabarataTidak ada literatur yang dapat di cross check di dalam Catur Veda, Upanisad maupun kitab weda lainnya yang menunjukkan keberadaan Kreshna pada saat memberikan pelajaran Bhagavad Gita kepada Dewa Vivasvan (BG 4.1). Bhagawadgita merupakan Pengetahuan tentang Brahman (Tuhan) bukan tentang Kreshna (sang Awatara Wisnu) Orang Suci dalam ulasan Bhagavad Gita selalu memberikan ulasan dengan mengatakan: Om Tat Sad iti srimad-bhagavad-gitasupanisatsu (Ajaran Bhagavad Gita bersifat Kekal dan sari-sarinya Upanisad. (SARIPATI UPANISAD)). brahma­vidyayam yoga-sastre sri krsnarjuna-samvade. (brahma­vidyayam yoga-sastre = Berisi tentang rahasia ajaran Brahmavidya(ilmu ke-TUHAN-an/Brahman) dan di dalamnya tersembunyi ajaran Yoga Sastra atau ajaran2 rahasia tentang Yoga.sri krsnarjuna-samvade = yang adalah percakapan Kreshna dengan Arjuna.). Kedua point diatas dapat di cross check melalui sastra bahwa Kreshna dipakai Raganya atau Transmitter dari Dewa Shiva sbebagai berikut: paraṁ hi brahma kathitaṁ yogayuktena tanmayā itihāsaṁ tu vakṣyāmi tasminnarthe purātanam, (Mahabarata, 14:16:12 (Aswamedha Parva)). I cannot discourse on it again in detail (Bhagavad Gita). I discoursed to thee on Supreme Brahman, having concentrated myself in Yoga. ( Saya tidak bisa mewacanakan kembali hal datas lagi secara rinci (Bhagavad Gita). Saya sampaikan kepadamu tentang Brahman yang Agung, setelah mengkonsentrasikan diri di dalam Yoga ). ekapādena tiṣṭhaṃś ca ūrdhvabāhur atandritaḥ tejaḥ sūryasahasrasya apaśyaṃ divi bhārata (Mahabharata 13:15:1-51). I stood all the while, supporting myself upon one foot and with my arms also raised upwards, and foregoing sleep all the while I then beheld, O Bharata, in the firmament an effulgence that seemed to be as dazzling as that of a thousand Suns combined together. (Aku berdiri sambil, mendukung diri pada satu kaki dan dengan tangan saya juga mengangkat ke atas, dan tidur di atas semua saat aku kemudian melihat, O Bharata, di cakrawala sebuah cahaya yang tampaknya sebagai menyilaukan seperti yang seribu Matahari gabungan bersama ).

Krishna berdoa "Shive Sarvadhi Sadhike" berarti tidak ada yang terjadi tanpa kehendak Shiva. KESIMPULANnya "Kreshna di dalam wejangannya kepada Arjuna hanyalah sebagai Messenger atau Sebagai Alat Transmitter dari Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menyampaikan ajaran-ajaran Brahmavidya".

Pada akhirnya dapat dipahami bahwa ajaran ketuhanan dalam Bhagawadgita terindentifikasi melalui nirgnuna brahman dan saguna brahman. Kedua konsep ini memang tidak mudah dipahami karena maya meliputi kemurnian manusia. Dalam Bhagawad Gita 15.19 dinyatakan bahwa dia yang tidak tersesatkan oleh ilusi mengetahui Aku sebagai sang Diri tertinggi. Artinya, mereka yang bertekuk-lutut di hadapan ilusi Maya akan semakin jauh diseret dari Yang Mahakuasa, sedangkan mereka yang ingin ke jalanNya hendaknya secara total dan tulus menyerahkan diri kepadaNya. Manusia harus dapat melepaskan diri dari pemahaman bahwa realitas yang tampak merupakan bentuk-bentuk yang begitu terukur dan teridentifikasi melalui indra-indra. Realitas bukan kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, perasaan-perasaan, tetapi “bukan ini”, yaitu realitas penyerta yang ada di balik realitas yang hadir secara konvensional. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Gita mengajarkan dunia adalah satu ilusi, tidak masuk akal, yaitu persepsi yang salah mengenai realitas. Akan tetapi, ilusi hampir lebih banyak disamakan dengan kata halusinasi atau delusi sehingga mengaburkan pemahaman seolah-olah Gita menyatakan bahwa dunia ini palsu. Kebingungannya adalah dalam pendapat bahwa kata ilusi berarti sama dengan “halusinasi” atau “delusi”, yaitu satu isapan jempol imajinasi yang tidak punya dasar apa pun dalam realitas. Contoh klasik untuk menggambarkan hal ini adalah tentang seutas tali yang terbentang di rumput. Seorang mungkin secara mudah mengira seutas tali itu adalah seekor ular. Itulah ilusi. Akan tetapi, itulah tali. Ilusi bukan apakah tali ada atau tidak. Ilusinya adalah bahwa orang secara salah menganggap tali itu sebagai seekor ular. Dengan demikian, ketika Gita berbicara tentang dunia material sebagai sebuah ilusi, Gita tidak mengatakan bahwa dunia material tidak ada. Akan tetapi, Gita berbicara persepsi yang salah tentang dunia, yaitu pemikiran bahwa dunia material terpisah dari Tuhan. Sebaliknya, realitas merupakan realisasi dari Yang Maha Esa.